Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGERAS suara itu berteriak-teriak memanggil pengurus Golkar Sulawesi Selatan. Di depan peserta rapat pleno Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golkar, Jumat petang pekan lalu, mestinya pengurus Golkar itu menyampaikan pemandangan umum. Tapi tak ada yang maju ke podium. Orang-orang saling pandang.
Lalu ruang pertemuan Hotel Borobudur Jakarta itu gaduh. Ada yang berteriak, ”Huuu.…” Seseorang yang duduk kursi belakang menggerutu, ”Mereka kalah, sih, jadi malu.” Karena yang dipanggil tak kunjung maju, pimpinan rapat lalu menyilakan pengurus Golkar Bali naik mimbar, menggantikan jadwal yang semestinya milik Sulawesi Selatan.
Kekalahan pasangan calon Golkar, Amin Syam-Mansyur Ramly, dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada 5 November lalu, memang menyakitkan. Ini sekaligus membuktikan target Golkar memenangkan 60 persen pemilihan kepala daerah kian sulit dikejar.
Lihat catatan berikut. Dari 323 pemilihan gubernur dan bupati/wali kota sejak 2005, Golkar hanya menang 39,9 persen. Rinciannya, Golkar menang 7 pemilihan gubernur dari 19 pemilihan. Sedangkan pemilihan bupati/wali kota, Golkar menang 122 dari 304 pemilihan. Angka ini membikin kecut Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat Golkar, Rully Chaerul Azwar. Di depan peserta rapat pleno Rapimnas Golkar, ia menyampaikan analisisnya. Salah satu penyebab remuknya Beringin, menurut Rully, adalah tidak bergeraknya mesin partai di daerah. Salah memilih figur calon kepala daerah menjadi faktor lain. Sebab lainnya adalah mekanisme survei untuk menjaring calon kepala daerah, menurut peraturan Golkar Pusat, dilakukan tidak cermat.
Ia juga menuding sejumlah kader Golkar daerah terburu-buru minta survei, dua tahun sebelum pelaksanaan coblosan. Alasan mereka, kata Rully, biar punya cukup waktu untuk menggarap pemilih. Karena pada saat survei itu kandidat Golkar unggul, kader Beringin itu tidur akibat kelewat percaya diri. ”Padahal saat itu pemilih belum menentukan pilihan,” kata Rully.
Biang kerok lain atas seretnya kemenangan Golkar dalam pemilihan kepala daerah adalah persaingan sesama kader Golkar. Ada banyak kasus kader Golkar mencalonkan diri menjadi kepala daerah menggunakan tiket partai lain. Sehingga suara Golkar terbelah dan ujung-ujungnya calon yang didukung partai lain yang menang. Memang, tidak ada aturan partai yang dilanggar jika kader Golkar dicalonkan partai lain. Namun Rully melihat hal ini buruk bagi konsolidasi dan keutuhan partai.
Semua analisis tadi membuat pengurus Golkar saling tuding. Sumber Tempo, pengurus Golkar Jawa Timur, menyatakan bahwa Golkar pusat juga punya andil atas kegagalan itu. Ia menuding pola penjaringan yang mengawinkan metode survei dan konvensi, sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan Nomor 05/2005 tentang pemilihan kepala daerah yang dibikin Golkar pusat, menciptakan perpecahan di kalangan kader. Soalnya, Golkar pusat meminta jatah 40 persen suara untuk menentukan calon kepala daerah. Sisanya dimiliki Golkar daerah. Meski daerah mengantongi saham 60 persen suara, jatah itu masih dibagi-bagi lagi antara Golkar tingkat provinsi, kabupaten, dan organisasi massa penyokong Beringin. Akibatnya, suara pusat tetap lebih dominan. ”Ini tak adil,” kata sumber itu.
Komposisi ini, kata dia, berbeda dengan aturan konvensi sebelumnya, yang menentukan pengurus Golkar provinsi dan kota/kabupaten memiliki hak otonom untuk menentukan calon. Sumber itu menuding jatah suara 40 persen untuk Golkar pusat menegaskan dominasi Jakarta dalam menentukan pimpinan daerah—praktek yang dulu diterapkan di era Orde Baru. Ketika itu, calon bupati, wali kota, atau gubernur yang telah mendapat restu Dewan Pertimbangan Partai tidak bisa ditolak oleh pengurus Golkar provinsi atau kabupaten.
Contoh paling nyata komplikasi konvensi ala Golkar ini adalah terpilihnya Ketua Golkar Jawa Tengah, Bambang Sadono, sebagai calon Golkar dalam pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada Juni 2008 nanti. Dalam konvensi 24 Oktober 2007 Bambang menang mutlak: 100 persen. Rival satu-satunya, Muhammad Hakim, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Kebumen, hanya kebagian nol besar.
Absennya suara yang memilih Hakim, kata sejumlah sumber di Jawa Tengah, cermin konvensi hanyalah akrobat politik untuk melegalkan kemenangan Bambang. Kecurigaan lain datang dari bekas Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Chaerul Rasjid.
Ia semula mendaftar di konvensi Golkar Jawa Tengah, tapi mundur dua hari sebelum konvensi dilangsungkan. ’’Saya tak mau ribut-ribut. Saya hanya ingin fair play. Golkar ternyata sudah menampik saya sebelum bertanding,’’ kata Chaerul. Jadi, ”Lebih baik saya mundur.”
Di Sumatera Utara, Bupati Langkat Samsul Arifin memilih maju menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan kendaraan Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang. Padahal ia tercatat sebagai Dewan Penasihat Golkar Kabupaten Langkat.
Contoh lain terjadi di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Ketua Golkar Labuhan Batu, H.T. Milwan, melawan keputusan Golkar Sumatera Utara yang menetapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar H.M. Ali Umri sebagai calon gubernur. Milwan memilih ikut bersaing dalam pemilihan April 2008 dengan menumpang gerbong PPP.
Bekas Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung menilai ambrolnya target Golkar membuktikan Jusuf Kalla, Ketua Umum Golkar saat ini, tidak becus mengurus partai. Ia menuding Kalla malas turun ke daerah untuk menggarap dukungan.
Pendukung Kalla di Golkar pusat, Firman Subagyo, membalas tudingan Akbar. Ia menyalahkan surat edaran bikinan Akbar—sewaktu ia menjadi Ketua Umum Beringin—yang jadi biang keladi.
Surat itu memerintahkan agar ketua Golkar tingkat provinsi siap bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Pada era Kalla, surat itu dicabut. Namun, kata Firman, surat itu telanjur meracuni otak sejumlah ketua Golkar daerah. Mereka merasa berhak mencalonkan diri meski sepi dukungan.
Sunudyantoro, Sohirin (Semarang), Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo