Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA saat sebagian orang menikmati liburan Paskah, Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, Direktur Energi Primer Nur Pamudji, dan Manajer Senior Pe ngadaan Minyak dan Gas Suryadi Mardjoeki terbang ke Iran, April lalu. Mereka membawa misi penting: mencari bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga gas.
Rombongan PLN itu menuju Assaluyeh, kota kecil tak jauh dari Teluk Persia—sekitar 1.300 kilometer dari Teheran arah ke selatan. Di sini Iran LNG Company sedang mengembangkan mega proyek gas alam cair. Perusahaan yang 49 persen sahamnya dikuasai pemerintah Iran itu pernah ke Jakarta menawarkan gas alam cair. “Kami ingin membuktikan benar atau tidak presentasi mereka,” kata Nur Pamudji, Rabu pekan lalu.
Ternyata benar. Iran LNG Company sedang membangun kilang gas alam cair dan fasilitas ekspornya. Gasnya diperoleh dari lapangan South Pars Phase 12 di tengah Teluk Persia. Ladang ini dimiliki bersama oleh pemerintah Iran dan Qatar, karena tepat berada di perbatasan kedua negara.
Cadangan gas di area milik Iran diperkirakan 494 triliun kaki kubik. Dari situlah Iran LNG Company akan mengolah gas bumi menjadi gas alam cair tiga miliar kaki kubik per hari. Dua pertiga di antaranya akan diekspor mulai tahun depan ke beberapa negara Eropa dan Asia.
Bagi PLN, pencarian gas jauh-jauh ke negeri mullah itu sangat penting. Sebab, sudah lebih dari sepuluh tahun pembangkit tenaga gas milik perusahaan setrum pelat merah ini tak mendapat asupan gas yang cukup. Dari total kebutuhan 1,8 miliar kaki kubik per hari, PLN hanya memperoleh 800 juta kaki kubik per hari. Walhasil, PLN terpaksa menggunakan bahan bakar solar untuk keperluan pembangkit tenaga gasnya. Kebetulan pembangkit listrik itu bisa disetel atau diubah menggunakan solar.
Indonesia sebenarnya kaya gas bumi. Rata-rata produksi di dalam negeri 2,9 triliun kaki kubik. Ironisnya, banyak industri, termasuk PLN, berteriak kekurangan gas lantaran tak ada lapangan baru atau gas sudah dikontrak buat keperluan lain, seperti ekspor. Kondisi memprihatinkan ini diperkirakan tetap akan terjadi dalam lima tahun mendatang.
Kontrak jual-beli gas baru paling cepat terealisasi akhir tahun ini dari Blok Jambi Merang (milik Pertamina- Talisman) 65 juta kaki kubik per hari. Gas dari lapangan Terang Sirasun Batur (Kangean Energy) 130 juta kaki kubik juga baru masuk tahun depan.
Celakanya, gas dari Mobil Cepu Limited dan Blok Tangguh Train 3 (BP Indonesia), yang semula diharapkan memasok PLN, belum jelas nasibnya. Pasokan 116 juta kaki kubik gas per hari dari Blok Kepodang (Petronas Carigali) juga molor tiga tahun. Adapun gas Blok Masela (Inpex Corp) diperkirakan baru mengalir setelah 2018.
Seretnya gas harus dibayar mahal dengan solar. Defi sit 1 miliar kaki kubik gas per hari setara dengan kebutuhan 27 juta liter minyak diesel. Dengan harga solar sekitar US$ 1 per liter—patokan 2011—PLN kudu mengeluarkan US$ 27 juta (sekitar Rp 240 miliar) saban hari, atau sekitar Rp 88,6 triliun setahun. Ongkos itu tiga kali lebih tinggi dibanding menggunakan gas. “Apa boleh buat, terpaksa kami mengimpor gas,” kata Dahlan, pekan lalu.
PLN juga sedang mengkaji impor gas dari Australia dan Papua Nugini. Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Herawati Legowo, harga gas dunia kini mulai stabil, sehingga pas buat PLN mengimpor gas atau meneken perjanjian bisnis jual-beli gas dengan produsen lain. “Kami siap memberi bantuan,” katanya.
Agoeng Wijaya, Nur Rochmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo