Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI tiang flare stack setinggi 30-an meter itu, api masih menjilam berkobar-kobar. Di kilang Balongan, Indramayu, Jawa Barat, ini PT Pertamina mengolah minyak mentahnya. Kobaran api dari gas buangan itu seperti hendak menjilati langit pantai utara, Rabu petang pekan lalu.
Mulai Oktober tahun lalu, Pertamina mestinya memproses gas ini menjadi propilen, bahan baku industri petrokimia. Namun, hingga akhir pekan lalu, kilang pengolah gasnya (RCC Off Gas to Propylene Project/ROPP) belum juga beroperasi. ”Masih ada masalah,” kata juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, Selasa pekan lalu.
Balongan ditargetkan menjadi kilang nomor wahid se-Asia Pasifik pada 2015. Pabrik yang dibangun dengan biaya US$ 2,6 miliar ini diresmikan Presiden Soeharto pada Mei 1995. Dibandingkan dengan kilang Pertamina lain, Balongan lebih istimewa. Kilang ini punya fasilitas penghasil bensin ramah lingkungan, alias bensin tanpa timbel, seperti Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex.
Pembangunan kilang ROPP merupakan upaya Pertamina melakukan efisiensi memanfaatkan gas buang dari unit pemisahan katalis residu (residue catalytic cracking/RCC). Saban hari, unit ini memproduksi gas sisa 513 ton. Di dalamnya terkandung etilen, yang diperkirakan mencapai 50 ribu ton per tahun.
Senyawa etilen yang dicampur dengan senyawa cyclonite (C4) bisa diolah menjadi propilen bahan baku plastik. Inilah kilang pengolah propilen pertama di kawasan Asia Tenggara. Konsorsium PT Rekayasa Industri dan Toyo Engineering, sebagai pelaksana proyek, memenangi tender dua tahun lalu, dengan kontrak senilai US$ 238 juta (sekitar Rp 2,13 triliun).
Pembangunan dimulai pada Januari 2008, dan ditargetkan rampung akhir Juli 2010. Bila sesuai dengan jadwal, semestinya Oktober tahun lalu kilang ini sudah bisa beroperasi. Tapi, hingga pekan lalu, pengolahan gas sisa belum bisa diwujudkan.
Menurut sumber Tempo, kilang pengolah gas bocor pada tahap uji coba. Gas tetap merembes kendati katup tertutup. Beberapa alat di kilang pengolah juga rusak ringan dan berat, yang membutuhkan waktu perbaikan cukup lama. Tim investigasi internal Pertamina kini sedang menyelidiki penyebabnya.
Pertamina telah melayangkan protes kepada kontraktor, September tahun lalu. Rekayasa berjanji memperbaiki delapan katup bocor dan mengganti katup pengontrol dengan barang baru. Belakangan, temuan tim Pertamina mengejutkan: dari 173 unit katup pengisolasi khusus, 129 gagal berfungsi.
Hasil uji Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung terhadap salah satu katup mengindikasikan komposisi materi tidak sesuai dengan spesifikasi. Kandungan kromium pada komponen disc, misalnya, cuma 16,8 persen, padahal seharusnya 18-21 persen. Begitu pula kandungan karbon pada komponen seat yang 0,03 persen dari seharusnya 0,04-0,10 persen.
Molornya fase uji coba dan pengoperasian proyek ini tentu merepotkan Pertamina. Menurut Harun, tim pengawas internal terus mengaudit kesesuaian antara realisasi proyek dan spesifikasi dalam kontrak. ”Kami akan memberi penalti bila ditemukan penyimpangan,” katanya.
Juru bicara Rekayasa Industri, Tutut Handayani, mengatakan Rekayasa belum bisa menanggapi bocornya katup di kilang Balongan. ”Direksi kami masih sedang mempelajarinya,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tampaknya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai pemilik kedua perusahaan tersebut tak mau banyak ikut campur. ”Itu urusan korporasi,” ujar Deputi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Irnanda Laksanawan kepada Evana Dewi dari Koran Tempo pekan lalu.
Retno Sulistyowati, Ivansyah (Indramayu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo