Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAKHIR sudah masa terpanjang Bank Indonesia menahan diri tidak menaikkan suku bunga acuan. Jumat dua pekan lalu, otoritas moneter ini menaikkan BI Rate atau bunga acuan 25 basis point menjadi 6,75 persen, setelah 18 bulan mendiamkannya di level 6,5 persen. ”Ini saatnya bunga acuan dinaikkan karena proyeksi inflasi semakin tinggi,” kata Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu.
Hanya dalam hitungan menit setelah bank sentral mengumumkan kenaikan BI Rate, pada 4 Februari, nilai tukar rupiah langsung menguat di bawah Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat. Begitu pula indeks harga saham gabungan ditutup menguat 15,34 poin atau 0,44 persen ke posisi 3.496,17. Reaksi ini, menurut ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, menunjukkan pasar kembali percaya bank sentral ”ada” di pasar dan responsif terhadap ekspektasi inflasi.
Fauzi memperkirakan Bank Indonesia akan menaikkan bunga acuan lagi lantaran faktor pemicu inflasi terlihat kuat, seperti kenaikan harga komoditas, ketidaklancaran distribusi pangan, dan rencana pemerintah membatasi bahan bakar bersubsidi. ”Saya perkirakan masih naik 50 sampai 100 basis point,” katanya. Darmin juga mengakui inflasi semakin sulit dikendalikan. Indikasinya, inflasi tahunan (year on year) Februari 2011 terhadap Februari 2010 mencapai 7,02 persen dan nilai tukar rupiah rada gawat, melemah rata-rata 0,1 persen.
Toh, Bank Indonesia tetap dinilai terlambat mengantisipasi inflasi. Bank sentral negara-negara di Asia Tenggara dan Timur yang juga dihadang persoalan suplai dan tingginya harga komoditas pangan sudah lebih dulu menaikkan bunga. Cina, misalnya, sejak awal tahun sudah menaikkan bunga dua kali. Suku bunga pinjaman dinaikkan menjadi 6,06 persen dan bunga simpanan naik menjadi 3 persen. India tercatat paling sering menaikkan bunga: tujuh kali sejak Maret tahun lalu hingga kini menjadi 6,5 persen.
Menurut Kepala Perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia, Milan Zavadjil, Bank Indonesia seharusnya sudah menaikkan bunga pada Januari lalu. Terlebih, kata dia, rupiah sempat melorot ke level Rp 9.144 per dolar. ”Itu kurs terendah dalam tujuh bulan terakhir di saat inflasi seharusnya sudah direspons,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg News.
Direktur Riset Ekonomi dan Kurs DBS Bank David Carbon akhir Januari lalu mengingatkan BI agar mewaspadai inflasi ini. Hingga akhir tahun ini, kata dia, inflasi bisa mencapai 7 persen lantaran tingginya harga komoditas dan semakin derasnya modal masuk.
KEPUTUSAN Kebon Sirih—istilah lain bagi Bank Indonesia sesuai dengan nama alamatnya—menaikkan bunga acuan cukup mengejutkan. Sebab, dalam setiap kesempatan, Dewan Gubernur BI kompak dan kukuh tak akan serta-merta mengambil kebijakan bunga untuk mengantisipasi lonjakan inflasi. Dalam meredam inflasi, BI cenderung mengatasinya dari sisi perbankan sebagai ”ladang” uang. Caranya? Menaikturunkan rasio giro wajib minimum (GWM) alias cadangan perbankan.
Menurut seorang bankir, sejak Darmin masuk bank sentral, pendekatan BI dalam mengantisipasi potensi tekanan inflasi memang cenderung melalui kebijakan perbankan. Contohnya, awal September lalu, BI menaikkan giro wajib minimum primer dari 5 persen menjadi 8 persen terhadap dana masyarakat yang dimiliki bank. ”Jujur saja, aturan ini membuat kami tidak happy,” katanya.
Bank tentu saja lebih suka menempatkan kelebihan duitnya dalam Sertifikat Bank Indonesia dengan bunga 6,5 persen ketimbang menyetorkannya ke dalam rekening GWM hanya dengan imbalan bunga 2,5 persen. ”Ada peluang pendapatan yang hilang 4 persen,” kata bankir tadi. Untuk menutupnya, hanya ada dua pilihan, yakni menekan margin keuntungan atau menaikkan bunga kredit. Gara-gara kebijakan ini, hubungan BI dan perbankan panas-dingin. BI ingin bank tak menaikkan bunga kredit meski rasio giro wajib minimum dinaikkan.
Seorang analis perbankan punya cerita lain. Sikap tak mau menaikkan BI Rate sebenarnya sudah terlihat dalam pertemuan dengan Dewan Gubernur pada pekan kedua Januari lalu. Dalam pertemuan itu, Dewan Gubernur mengisyaratkan belum mau menaikkan bunga meski ancaman inflasi di depan mata. Padahal saat itu imbal hasil (yield) surat utang negara berjangka 10 tahun telah naik 150 basis point. ”Imbal hasil naik karena investor merasa bank sentral tidak ada di pasar,” ujarnya.
Kukuhnya Dewan Gubernur menahan bunga acuan, kata dia, mengherankan karena pemerintah bisa terkena imbasnya. Kementerian Keuangan akan menjual surat utang negara senilai Rp 200 triliun. Bila BI tidak menaikkan bunga acuan, imbal hasil surat utang negara bisa melonjak lagi. ”Imbal hasil yang tinggi merupakan beban berat bagi anggaran,” tuturnya. Masih menurut sumber ini, dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati pada 10 Januari lalu, para analis pasar modal mengingatkan soal BI Rate itu.
Ketika BI menaikkan bunga acuan Jumat dua pekan lalu, sejumlah kalangan menilai keputusan itu diambil karena bank sentral berada di bawah tekanan analis, investor asing, perbankan, dan pemerintah. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan kedatangan Direktur Pengelola Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—termasuk bertemu dengan Darmin—Jumat siang dua pekan lalu. ”Kenaikan BI Rate hanya menguntungkan investor asing dan perbankan,” ujar sumber Tempo di Jakarta. Mereka bisa mendapat untung dari kenaikan bunga Sertifikat Bank Indonesia dan penguatan rupiah.
Darmin tak setuju disebut terlambat menaikkan bunga acuan. Dia juga membantah telah ditekan asing dan perbankan. Menurut dia, penilaian itu muncul karena ada beda persepsi. Meredam potensi inflasi, kata dia, memang tak melulu harus dengan menaikkan BI Rate. Menaikkan giro wajib minimum bank menjadi 8 persen pun cara menekan ekspektasi inflasi lantaran bank mengalami kelebihan dana. ”Cuma menaikkan GWM lebih keras dari yang lain (menaikkan BI Rate),” ujarnya.
Pada Januari lalu, Bank Indonesia melihat masih ada kesempatan inflasi diredam dengan penurunan bunga kredit yang diikuti pengucuran pinjaman perbankan. Kebetulan BI sudah punya strategi baru dalam menggenjot kredit perbankan. Mulai Maret nanti, bank-bank harus mengumumkan tingkat bunga pinjamannya. Itu sebabnya BI tidak menaikkan suku bunga pada awal Januari. ”Kami menjaga agar biaya dana perbankan tidak naik,” ujar Darmin.
Sialnya, kata Darmin, ketika pihaknya memutuskan mempertahankan BI Rate 6,5 persen pada Januari lalu, bank sentral negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia, Korea, bahkan Cina menaikkan suku bunganya. Harga komoditas seperti minyak sawit, gula, dan beras di pasaran dunia semakin bergerak liar. ”Saya akui, ini tidak menguntungkan BI,” ujarnya.
Menurut Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan, dalam mengelola moneter, BI punya tiga tujuan: mengendalikan inflasi, menahan efek negatif dari derasnya modal masuk, dan mendorong intermediasi perbankan. ”Tinggal pilih mana yang mau dimainkan, satu per satu atau dikombinasikan,” tuturnya.
Pemerintah menilai langkah BI sudah tepat. Menurut Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Sasmito Bambang Brojonegoro, kenaikan bunga acuan ini akan menormalkan yield surat utang negara dan meringankan anggaran. Tahun ini, menurut dia, risiko terburuk inflasi mencapai 6,1-6,2 persen. Potensi tekanan inflasi berasal dari pembatasan konsumsi Premium dan pencabutan batas atas (capping) kenaikan tarif dasar listrik industri sebesar 18 persen.
Kebijakan ini dinilai analis perbankan dan pasar modal, Mirza Adityaswara, justru untuk melindungi masyarakat kecil, bukan investor asing. Ekspektasi inflasi akan menurunkan daya beli. Inflasi juga akan menggerus pendapatan penabung kecil. ”Mereka inilah yang akan menjadi korban inflasi,” ujarnya.
Anne L. Handayani, Padjar Iswara, Febriana Firdaus, Iqbal Muhtarom, Evana Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo