Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF9900>WARALABA </font><br />Bukan Toko tapi Resto

Konsep retail 7-Eleven Indonesia mengundang polemik. Dianggap tak cocok, izin teknis dipertanyakan.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA muda-mudi berpakaian rapi asyik menyantap hidangan di deretan bangku bulat gerai 7-Eleven, Jalan Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Paket nasi ayam, spaghetti, dan roti lapis menjadi penawar lapar di siang yang panas itu. ”Sesekali makan di toko, bukan di resto,” kata Rani, salah seorang dari mereka.

Sejak dibuka 12 Februari lalu, 7-Eleven Menteng selalu dipadati pekerja kantoran, terutama pada jam makan siang. Menjelang malam hingga pagi, pengunjung pun berganti. Giliran ”anak gaul” yang nongkrong sembari menenggak es soda, kopi, atau ngemil keripik kentang. Beberapa di antaranya sibuk dengan laptop, memanfaatkan jaringan Wi-Fi gratis.

Di Indonesia, 7-Eleven bukan lagi sekadar toko. Gerai retail kelas dunia yang didirikan pada 1927 di Texas, Amerika Serikat, itu berubah jadi tempat jajan dan kongko. Setelah sempat datang dan pergi pada dekade 1980, 7-Eleven kembali ke Indonesia melalui sistem waralaba yang dipegang PT Modern Putra Indonesia. Ini adalah anak usaha Grup Modern International, yang juga pemilik lisensi Fuji Film.

Neneng Sri Mulyati, juru bicara Modern International, menuturkan ikhtiar kerja sama sudah dimulai pada 1998. Kala itu, 7-Eleven mendekati Modern untuk menjadi mitra dengan dua opsi, waralaba atau joint venture. ”Namun rencana itu batal gara-gara krisis moneter,” ujarnya.

Pada 2006, terjadi titik balik pada bisnis fotografi. Era digitalisasi foto membuat penjualan film lesu. Ketika itulah manajemen Modern melirik kembali 7-Eleven, dengan niat menyulap gerai foto yang mulai kembang-kempis. Setelah bernegosiasi selama enam bulan, pertengahan April 2009, Modern mengumumkan di Bursa Efek Indonesia sebagai penerima waralaba 7-Eleven selama 20 tahun. Hanya dalam lima bulan, delapan gerai dibuka di Jakarta.

Namun ada sandungan di tengah ekspansi itu. Penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba atau STPW sempat terhambat. Kementerian Perdagangan rupanya mempertanyakan jenis izin teknis Modern sebagai operator 7-Eleven. Dede Hidayat, Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan Kementerian Perdagangan, mengatakan STPW tak segera diterbitkan pada 2009 lantaran diperlukan klarifikasi ulang.

Pemerintah Jakarta selaku penerbit izin teknis menggolongkan toko kecil sebagai kafetaria atau kantin. Padahal 7-Eleven kadung dikenal sebagai peretail mini. Selain itu, izin teknis dari Dinas Pariwisata Jakarta baru terbit pada awal April 2010. ”Kami ingin urusan pemerintah daerah selesai dulu,” katanya. Sumber Tempo membisikkan, klarifikasi ulang diminta lantaran dugaan izin restoran dikeluarkan untuk mengakali sejumlah aturan. ”Ekspansi akan sulit jika digolongkan sebagai retail,” ujarnya.

Memang ada sejumlah ganjalan bagi 7-Eleven untuk melenggang sebagai peretail kecil. Dalam Peraturan Presiden tentang Daftar Usaha Terbuka atau Tertutup untuk Investasi, toko dengan luas di bawah 400 meter persegi wajib dimiliki pemodal dalam negeri. Selain itu, pendirian gerai bisa tersandung batasan zonasi yang tercantum dalam Peraturan Daerah Jakarta tentang pasar swasta. Dalam beleid tahun 2002 itu disebutkan toko dengan luas di bawah 200 meter persegi wajib berada di jalan arteri dan di luar radius setengah kilometer dari pasar lingkungan.

Dede Hidayat menampik dugaan bahwa pihaknya seolah curiga pada penerbit izin teknis. ”Izin teknis itu kewenangan pemerintah daerah. Mereka yang menentukan,” ujarnya. Toh, masalah ini kelar dan STPW pun terbit pada 12 April 2010. Namun Dede tetap meminta pemerintah Jakarta terus memantau operasional 7-Eleven agar berjalan sesuai dengan izin.

Kepala Dinas Pariwisata Jakarta Arie Budiman pun menolak jika dikatakan sembarang mengeluarkan izin. Ia punya alasan kuat dalam menetapkan 7-Eleven sebagai kantin. Mengacu pada Peraturan Daerah Jakarta tentang Pariwisata, 7-Eleven memenuhi batasan 90 persen dagangan berupa makanan dan minuman serta luas bangunan di bawah 400 meter persegi. ”Mestinya tak ada polemik,” katanya.

Direktur 7-Eleven Indonesia Anthony Chandra menegaskan perusahaannya sudah menyelesaikan seluruh perizinan. Sejak awal, 7-Eleven Indonesia sudah memposisikan diri sebagai penyedia makanan dan minuman siap saji. Pemegang waralaba pun tak berkeberatan dengan perubahan konsep itu. ”Jangan karena beberapa atribut di gerai, seperti rak atau gondola, kami salah diposisikan.”

Agar masalah ini tak terulang, Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia atau Wali, meminta pemerintah lebih jeli melihat inti permasalahan, bukan semata memandangnya sebagai persoalan administrasi. ”Jangan sampai gara-gara itu, jadi tak ada inovasi dan investasi,” ujarnya.

Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus