Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHADIRAN Emil Salim semestinya jadi bekal buat anggota Komite Ekonomi Nasional. Senin sore pekan lalu, di ruang rapat lantai 25 gedung Menara Bank Mega, Jakarta, ia menurunkan segudang pengalamannya, sejak menjadi menteri di era Presiden Soeharto hingga posisinya kini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang ekonomi. Tujuannya, ”Agar Komite Ekonomi Nasional bisa belajar dari pengalaman masa lalu,” kata Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional.
Kebetulan, Emil pernah memimpin lembaga yang fungsinya serupa dengan Komite Ekonomi Nasional. Sebelas tahun lalu, pria yang empat kali menjadi menteri di era Soeharto itu ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Tujuan dibentuknya lembaga ini: memberikan nasihat kepada Gus Dur—sapaan Abdurrahman Wahid—untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat pukulan krisis moneter 1997-1998.
Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil di era Soeharto, ditunjuk sebagai wakil ketua. Sekretarisnya Sri Mulyani Indrawati. Beberapa tokoh ikut duduk di situ. Di antaranya Boediono (kini wakil presiden), Bambang Subianto, Kuntoro Mangkusubroto, Hadi Susastro (almarhum), Anggito Abimanyu, H.S. Dillon, dan Theodore Permadi Rachmat. ”Ini lembaga terbaik yang pernah saya masuki,” kata H.S. Dillon pekan lalu.
Menurut Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri saat itu, keberadaan lembaga ini untuk memberikan pendapat kedua tentang masalah ekonomi kepada presiden. ”Presiden tidak hanya mendapat masukan dari menteri, tapi ada pemikiran lain, sehingga dapat menimbang yang terbaik,” kata Kwik ketika itu.
Meski diisi nama-nama beken, perjalanan lembaga ini penuh gonjang-ganjing. Dari awal, Gus Dur ingin Subiakto Tjakrawerdaya dan Fuad Bawazier—Menteri Keuangan di akhir pemerintahan Soeharto—masuk lembaga ini. Bahkan Subiakto diplot oleh Gus Dur menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Namun dua nama itu mendapat penolakan dari para ekonom muda Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Di antaranya Sri Mulyani dan Anggito Abimanyu.
Anggito ketika itu berpendapat orang yang duduk di Dewan Ekonomi Nasional harus orang baru, yang lepas dari persoalan masa lalu. Hal itu penting agar kepercayaan terhadap lembaga ini tinggi. Sedangkan Sri Mulyani mengatakan masuknya dua orang itu akan menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat. ”Keputusan tersebut akan menimbulkan pertanyaan bahwa kebutuhan untuk memasukkan orang-orang yang kredibel menjadi terhambat,” ujarnya. Bisa dimaklumi, sosok Subiakto—yang bukanlah seorang ekonom—saat itu dikenal dekat dengan Siti Hardijanti Rukmana, putri pertama Soeharto.
Akhirnya, dipilih jalan kompromi. Emil Salim ditunjuk sebagai ketua. Posisi Subiakto digeser menjadi wakil ketua. Nama Fuad Bawazier dibuang dari susunan anggota. Sedangkan Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana sejak awal menolak menjadi anggota. ”Karena kami berdua sudah tua,” kata Widjojo, tiga pekan sebelum Dewan Ekonomi Nasional diumumkan. Adapun Faisal Basri menolak bergabung karena menilai konsep lembaga ini belum jelas.
Kehadiran lembaga ini bukan tanpa kritik. Ekonom senior M. Sadli dan Frans Seda—keduanya kini almarhum—pernah berpendapat Dewan Ekonomi Nasional tidak diperlukan.
Sayang, lembaga ini belum sempat menunjukkan taringnya karena keburu dibubarkan oleh Gus Dur. Dihubungi pekan lalu, H.S. Dillon berkeberatan bila lembaga ini dinilai gagal menjalankan tugas. ”Kami sudah bekerja,” katanya. ”Tapi Gus Dur tidak pernah spesifik menyampaikan apa yang dia inginkan.” Sejarah mencatat, Dewan Ekonomi Nasional cuma bertahan sembilan bulan.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo