Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Program makan bergizi gratis (MBG) telah berjalan sejak 6 Januari 2025, termasuk di Sumatera Selatan. Nyaris sebulan berjalan, program ini masih menghadirkan berbagai tantangan dan pengalaman bagi para pelaksana di lapangan. Yayasan Vieki Indira Sriwijaya yang berada di bawah naungan Perkumpulan Penyelenggara Jasa Boga Indonesia (PPJI), merupakan mitra pertama dalam pengolahan dan distribusi program MBG di Sumsel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua PPJI Sumsel, Evie Hadenli, mengungkapkan pihaknya telah menerima kontrak untuk 23 titik dapur di berbagai daerah. “Namun sampai saat ini baru 10 yang resmi beroperasi,” tutur Evie kepada Tempo, Jumat, 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahap awal MBG di Sumsel dimulai dengan satu titik dapur di Kecamatan Ilir Barat I, melayani lima sekolah dengan total 2.944 siswa. Kemudian, pada 13 Januari, sembilan titik dapur tambahan mulai beroperasi di berbagai kabupaten dan kota, seperti Lubuklinggau, Musi Rawas, dan Ogan Ilir. Selanjutnya, pada 17 Februari, delapan titik dapur baru dijadwalkan beroperasi di wilayah lain, termasuk Pagar Alam dan Prabumulih. "Nanti, kami akan luncurkan fase ketiga pada 17 Febuari. Ada delapan titik dapur di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, PALI, Empat Lawang, Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Prabumulih dan Tanjung Enim," kata Evie.
Pelaksanaan MBG di Sumsel tidak lepas dari kendala. Salah satunya adalah kurangnya edukasi menu di sekolah, yang sempat menimbulkan kesalahpahaman. Saat peluncuran perdana, menu olahan ikan gabus yang dikukus dan dipotong menyerupai tahu sempat viral karena dikira hanya menyajikan tahu dan tempe.
Evie menjelaskan, dalam menyiapkan makanan untuk ribuan siswa, efisiensi waktu menjadi prioritas. "Awalnya kami ingin membuat sate ikan, tapi karena jumlahnya sangat banyak, akhirnya dibuat dalam bentuk seperti tahu," ujarnya.
Tantangan lain datang dari keterbatasan tenaga kerja. Di satu titik dapur, hanya ada 47 pekerja yang harus memastikan makanan tersaji tepat waktu. Selain itu, banyak kritik terkait rasa makanan yang dianggap hambar dan variasi menu yang kurang menarik bagi anak-anak. Menanggapi hal ini, Evie menegaskan bahwa MBG berfokus pada gizi seimbang, bukan sekadar kelezatan rasa. "Kami mengikuti standar dari ahli gizi dan Dinas Kesehatan. Selain itu, anggaran yang tersedia juga terbatas," katanya.
Meski dihujani kritik, program ini tetap mendapat apresiasi dari beberapa sekolah. Di salah satu sekolah di Kecamatan Sukarame, para siswa justru antusias dan mengirimkan "surat cinta" berisi permintaan menu. Ada juga tantangan logistik, seperti di Kecamatan Rupit, Musi Rawas Utara, makanan harus dikirim menggunakan perahu untuk menjangkau sekolah-sekolah terpencil.
Dari segi kualitas, MBG menerapkan proses ketat sebelum makanan didistribusikan. Bahan baku diperoleh dari pasar tradisional dan pemasok lokal, sementara setiap menu diperiksa oleh ahli gizi sebelum disajikan. "Setiap pagi, sebelum makanan didistribusikan, ahli gizi memastikan semua sudah sesuai standar. Kami juga menyisakan tiga sampel untuk dicek oleh Dinas Kesehatan," ujar Rizki, Sekretaris PPJI Sumsel.
Ke depan, PPJI Sumsel berharap kritik yang ada dapat menjadi bahan evaluasi agar MBG semakin baik. Sementara itu, permintaan siswa terkait variasi menu juga akan dipertimbangkan untuk minggu-minggu berikutnya.
Pegawai menyiapkan makan bergizi gratis untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah di dapur SPPG Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 6 Januari 2025. TEMPO/Septhia Ryanthie
Di Solo, Jawa Tengah, sejak program makan bergizi gratis (MBG) diluncurkan pada 6 Januari 2025, dapur SPPG Gagaksipat telah mendistribusikan makanan bergizi gratis bagi sekitar 12.000 pelajar dari jenjang TK hingga SMA/SMK di sekitar wilayah tersebut. Dapur ini dikelola Yayasan Bangun Gizi Nusantara yang dimotori Wong Solo Group, milik pengusaha kuliner Puspo Wardoyo.
Kepala SPPG Gagaksipat, Ghani Prasetia menjelaskan persiapan makanan dimulai sejak H-1 pengiriman dengan penerimaan bahan baku dari pemasok. "Sayur dan buah biasanya datang pukul 16.00 WIB, sementara bahan lain sekitar pukul 21.00 atau 22.00 WIB. Pemotongan dimulai pukul 17.00 WIB agar bahan selalu segar," ujarnya.
Pada hari H, kegiatan memasak dimulai pukul 05.00 WIB. Pendistribusian dilakukan dua kali: pukul 07.00 WIB untuk TK dan SD serta pukul 09.00 WIB untuk SMP dan SMA/SMK. "Jadi pengiriman dua kali, pagi dan siang," kata Ghani.
SPPG Gagaksipat memiliki dua dapur berkapasitas 6.000 porsi per dapur. Setiap dapur melibatkan 78 pekerja dari berbagai divisi, mulai dari kepala dapur, tukang masak, bagian gudang, hingga pengemudi. Bahan baku diprioritaskan dari pemasok lokal. "Kami ingin bahan benar-benar fresh, jadi kami utamakan petani sekitar sini," kata Ghani. Penentuan menu dilakukan sebulan sebelumnya dan difinalisasi setiap minggu. "Kami harus kontak supplier maksimal H-2 agar bahan datang tepat waktu," tambahnya.
Setiap porsi makanan bergizi gratis memiliki takaran berbeda sesuai jenjang pendidikan. "Untuk TK dan SD, nasi 100 gram, sayur dan lauk masing-masing 50 gram, serta buah 50 gram. Untuk SMP dan SMA/SMK, nasi 200 gram, lauk dan sayur masing-masing 100 gram, serta ada tambahan protein pendamping," jelasnya. Susu juga diberikan, tetapi tidak setiap hari, sesuai rekomendasi Badan Gizi Nasional (BGN).
Pemerintah menetapkan harga satu porsi makan bergizi Rp10.000. Untuk menyesuaikan anggaran, SPPG Gagaksipat menerapkan subsidi silang. "Misalnya, dalam satu minggu ada hari dengan menu Rp6.000 per porsi, lalu hari lain lebih dari Rp10.000 tanpa mengurangi nutrisi. Ahli gizi menentukan menu, sedangkan asisten lapangan menyurvei harga bahan baku," jelas Ghani.
SPPG Gagaksipat memiliki empat mobil boks per dapur dengan kapasitas angkut 1.888 porsi. Sebelum distribusi, tim memastikan kualitas makanan dengan mengambil sampel. "Alhamdulillah, tiga minggu berjalan tanpa kendala atau keterlambatan karena kami sudah mengantisipasi sejak H-1," ujarnya.
Seorang guru di SDN 06 Bengkong membagikan makan bergizi gratis kepada siswa, Jumat 24 Januari 2025. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Sebuah restoran di Bengkong Laut, Batam, yang sebelumnya dikenal sebagai Surga Mie kini beralih fungsi menjadi dapur umum untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bangunan milik keluarga Ketua Apindo Batam, Ir. Cahya, ini masih mempertahankan ornamen lamanya, tetapi kini dihiasi logo Badan Gizi Nasional (BGN).
Saat Tempo berkunjung pada Kamis, 30 Januari 2025, suasana tampak lengang dari luar. Hanya ada satu mobil dan satu gerobak roda tiga yang digunakan untuk mengantar makanan ke sekolah-sekolah. Dari balik kaca kantor, terlihat belasan pekerja mengenakan masker dan penutup kepala tengah menyiapkan makanan yang terdiri dari ayam, pisang, daun kol, dan susu. "Ini untuk SMP 30 Bengkong, kalau tidak muat di mobil, pakai motor ini," ujar salah satu petugas dapur yang mengantar makanan. Ia mengaku pindah kerja dari galangan kapal ke dapur umum karena pekerjaan di sini lebih ringan.
Kepala Dapur Umum SPPG MBG Bengkong Laut, Defri Frenaldi, tidak memberikan komentar saat dikonfirmasi. Namun, ia menyarankan Tempo mewawancarai pihak sekolah penerima manfaat. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, Tri Wahyu Rubianto, menjelaskan, program MBG di Batam menjangkau 3.294 siswa dari empat sekolah: SDN 06, SDN 10, SDN 03, dan SMP 30 Bengkong. "Tahap awal ini sekolah yang dekat dulu, karena menyesuaikan kapasitas dapur," katanya, Jumat, 24 Januari 2025.
Saat ini, Batam baru memiliki satu dapur umum di Bengkong Laut dengan kapasitas 3.500 porsi per hari. Rencananya, empat dapur tambahan akan dibangun, salah satunya di Makodim. "Butuh 109 dapur agar semua siswa di Batam bisa menerima MBG," ujar Tri.
Pelaksanaan MBG melibatkan berbagai pihak, termasuk BGN, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, BPOM, Kodim, dan Polresta Barelang. Dengan sistem dua shift belajar di sekolah negeri, pengiriman makanan dilakukan dalam beberapa trip: tiga kali untuk SD dan dua kali untuk SMP. Polisi juga membantu pengamanan jalur distribusi.
Evaluasi program dilakukan setiap dua minggu. Tri mengungkapkan, sebelumnya ada kendala keterlambatan pengiriman, tetapi kini sudah diperbaiki. "Kalau terlambat, waktu makan siswa terganggu dan berdampak pada jadwal pembelajaran," katanya. Tahun 2025 ini, program MBG di Batam baru menjangkau 19 persen siswa atau sekitar 57.000 anak, sesuai target pemerintah.
Yuni Rahmawati (Palembang), Septia Ryanthie (Solo), Yogi Eka Sahputra (Batam) berkontribusi dalam laporan ini.