GALANGAN kapal lokal kini tak perlu was-was menggunakan pelat baja keluaran Krakatau Steel (KS). Lloyd's Register of Shipping, yang pekan lalu memberikan stempel dan sertifikat katcgori A untuk pelat itu, telah menganggap produk tadi layak dipakai guna membangun kapal dengan bobot mati sampai 3.500 ton. Keputusan biro klasifikasi perkapalan international di London itu ditelurkan sesudah sekelompok ahlinya meneliti proses pembuatan pelat tadi selama lima bulan di pabrik KS, Cilegon. Dengan mengantungi sertifikat itu, kini terbuka pula kescmpatan bagi KS untuk memasarkan pelat bajanya ke galangan kapal di luar negeri. Sertlfikat Lloyd, yang menyatakan kualitas bahan baku pembuatan kapal sudah memenuhi standar, memang diminta pihak galangan jika pabrik baja ingin produknya laku dijual. Maklum, hanya dengan jaminan cap Lloyd itulah pihak galangan dan operator kapalnya kelak bisa mengasuransikan risiko pembuatan dan pengoperasiannya kepada perusahaan asuransi. Sebagai kompensasi, pihak KS harus membayar semacam upah Rp 2,25 untuk setiap kilo pelat - berukuran maksimal panjang 6 mcter, lebar 1,8 meter, dan tebal 16 mm - yang bisa dijualnya. Jika diminta lagi, Lloyd bisa pula mengeluarkan sertifikat kategori B, D, dan E, untuk pelat baja bagi pembuatan tubuh kapal 3.500 ton ke atas. "Untuk kategori A (tingkat awal), baja Krakatau Steel sudah memadai," ujar C.l. Neogi, ahli metalurgi Lloyd, yang melakukan pengujian itu. Dia menilai pabrik baja itu, yang punya fasilitas dan perlengkapan modern, "punya prospek baih." Tapi jalan ke sana tampaknya masih panjang, mengimgat usia imdustri baja yang besar itu masih muda. Sebagai pendatang baru, sesudah Februari 1983 diresmikan oleh Kepala Negara, unit produksi hot rolled mills (HRM) - yang, aotara lain, menghasilkan pelat baja untuk kapal dengan proses penggilingan panas - tahun ini baru bisa bekerja 40% dari kapasitas terpasang. Dengan kata lain, umit ini - yang mendapat bahan siap baja juga dari KS - belum bis memenuhi seluruh kebutuhan galangan kapal akan pelat itu. Tahun lalu, menurut Tungky Ariwibowo, presiden direktur Krakatau Steel, keperluan pelat dan lembaran baja itu sekitar 45.000 ton. "Separuh dari kebutuhan itu dipenuhi Krakatau, yang memproduksinya sejak Juni 1983, sedang sisanya diimpor," katanya. KINI, sesudahl sertifikat Lloyd diperoleh, semakin kuat posisi KS dalan menganjurkan galangan kapal memakai produksi lokal. Hanya soal harga jual pelat itu, yang Rp 425 per kg, cukup merepotkan pihak galangan. Skala produksi KS masih kecil, sehingga sulit bersaing dengan produk serupa eks Brazil, yang bisa diimpor dengan harga hanya Rp 230 per kg. Tapi perbandimgan itu dianggap Ariwibowo kurang fair. Sebab, harga yang dipasang Brazil di pasar internasional adalah harga dumping. "Seyogyanya, kita membandingkan harga Indonesia dengan harga di pasaran domestik, seperti di Amerika, atau Brazil sendiri," katanya. Kendati kelak galangan kapal PT Koja di Tanjung Priok, Jakarta, harus membeli pelat baja itu Rp 425, perusahaan ini menganggap harga itu wajar saja. Tahun lalu, Koja mengimpor pelat baja 1.000 ton dengan harga Rp 380 per kg di tempar. Galangan milik pemerintah ini sedang mengerjakan pembuatan tujuh kapal - dua di antaranya pesanan Pertamina. "Kalau Kl-akatau Steel sudah bisa memenuhi keperluan pelat itu, kami tentu lebih senang membeli buatan sendiri," kata Irawan, direktur produksi boja. Tapi Irawan khawatir jika kelak Koja harus bersaing dengan galangan luar negeri dalam memperebutkan tender di simi, yang dibiayai dengan valuta asing. Maklum, katanya, mereka bisa membeli pelat baja murah di pasar bebas. "Tentu kami sulit bersaing dengan mereka dalam memenangkan tender internasional," ujarnya menambahkan. Soalnya tinggal apakah pemberi kredit itu bisa mentolerir harga kapal buatan lokal, yang pasti lebih mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini