PERUSAHAAN pers daerah ternyata tidak semuanya mendendangkan kesulitan percetakan atau pemasaran. Harian Suara Merdeka, Semarang, misalnya berhasil mengembangbiakkan usahanya. Koran daerah itu, yang pekan ini merayakan ulang tahunnya ke-34, sejak lima tahun lalu menerbitkan pula majalah Andalan. Tiga tahun kemudian beranak lagi, sebuah majalah pendidikan, Mop, dan sejak tahun lalu berkembang ke radio swasta niaga, Suara Sakti. Tidak hanya di sektor usaha komunikasi massa, September lalu keluarga Haji Hetami, pendiri dan pemilik koran itu, membuka bisnis baru: . . . pabrik pembalut wanita - dengan investasi sebesar Rp 2,9 milyar. Didirikan di masa sulit, 11 Februari 1950 Suara Merdeka (SM) berhasil menjadi koran terbesar di Jawa Tengah dengan oplah 15C.000 eksemplar, 12 halaman, dan terbit tujuh kali seminggu. "SM bukan lagi surat kabar daerah, tapi surat kabar nasional yang terbit di daerah," ujar pemimpin redaksinya, Soewarno, S.H., bangga. Didukung sekitar 400 orang karyawan, Suara Merdeka Press, yang mengelola koran itu, berkembang menjadi industri penerbitan modern. Bulan ini, percetakan SM yang sudah memiliki 16 unit mesin akan dilengkapi lagi dengan delapan unit mesin cetak baru seharga Rp I milyar. Seperti penerbitan-penerbitan besar di Jakarta, SM juga melengkapi diri dengan perabotan radiophoto, bahkan juga mesin set modern. Para wartawan, yang jadi tulang punggung perkembangan koran itu, juga boleh berbangga dibanding rekannya sesama pers daerah. Sebagian besar reporternya mendapat fasilitas kendaraan beroda dua dan yang senior dlberl kesempatan mencicil mobil. Untuk memudahkan komunikasi dengan kantor, sepuluh orang reporter kota dilengkapi handy talky. Menurut Soewarno, semua wartawan akan diberi secara bertahap fasilitas telepon di setiap rumah mereka. Selain fasilitas kerja, kesejahteraan para karyawan pun memadai. "Saya mendapat gaji 18 bulan setahun," ujar koresponden SM di Tegal, Harun Abdi Manap. Gaji minimal karyawan perusahaan itu Rp 100.000. Selain itu, menurut pemimpin umumnya, Budi Santoso, para karyawan mendapat tunjangan perumahan, kesehatan, jaminan hari tua, dan asuransn. Untuk mencapai kejayaan seperti itu, SM mengalami pasang surut dalam sejarahnya selama 34 tahun. Tahun 1965, misalnya, oplah SM pernah anjlok dari 60.000 menjadi 15.000 eksemplar akibat sanering uang yang dilakukan pemerintah. Selama enam tahun, koran yang pernah menjadi tiga terbesar di Indonesia itu terpaksa merangkak kembali. Perusahaan itu mulai berkembang di tangan pemimpin perusahaan, Budi Santoso, 35, insinyur sipil dari Universitas Diponegoro. Di tangan Budi pula, yang kemudian "diangkat" menantu Haji Hetami, SM menjadi multiusaha komunikasi massa. Usaha di luar bidang komunikasi massa, rupanya, dimiliki Haji Hetami sekeluarga. "Pabrik pembalut wanita itu milik istri saya," ujar Budi Santoso. Menurut putri pertama Hetami, Nyonya Sarsa Winiarsih Santoso, 34, direktris PT Usaha Wanodya, sejak September lalu telah beredar di seluruh Pulau Jawa: pembalut wanita yang bisa larut dalam air sepertl agar-agar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini