DALAM usahanya untuk lebih memeratakan pendapatan untuk
golongan pengusaha kecil pribumi, pemirintah baru-baru ini
mengeluarkan suatu keputusan yang kini menjadi buah bibir di
kalangan pengusaha. Keputusan tersebut, yang kemudian terkenal
dengan Keppres 14/1979 pada dasarnya menunjukkan itikad
pemerintah untuk memberi lebih banyak bisnis kepada pengusaha
kecil pribumi, dan lebih mengutamakan penggunaan barang hasil
dalam negeri untuk segala keperluan pemerintah. Untuk pekerjaan
borongan atau pembelian bernilai sampai Rp 10 juta, pengusaha
ekonomi lemah akan diutamakan, sedangkan untuk pembelian atau
borongan antara Rp 25 - Rp 50 juta, pengusaha lemah ini juga
akan diutamakan, sekalipun bila mereka mengajukan tender yang 5%
lebih mahal dari pengusaha kuat saingannya.
Nampaknya pemerintah serius dengan tekadnya ini, dan itu
ditunjukkan lewat suatu pertemuan antara Menteri Keuangan Ali
Wardhana dan Menpan Sumarlin dengan para direksi perusahaan
negara se-Indonesia yang akan dilakukan dalam waktu dekat.
Dengan kata lain, para pejabat instansi, baik departemen maupun
PN yang menguasai dana negara, mendapat perintah yang tegas
untuk melaksanakan Keppres 14 tersebut.
Sebagai rumah tangga dan konsumen terbesar, pemerintah memang
bisa banyak berbuat untuk memajukan pengusaha pemberi barang dan
jasa, terutama yang tergolong ekonomi lemah. Dalam tahun
anggaran 1978/1979 yang baru berakhir Maret kemarin, pemerintah
mengeluarkan Rp 491 milyar untuk pembelian barang dan peralatan
yang diperlukan. Dan sebanyak Rp 2.555 milyar telah keluar dari
anggaran pembangunan. Jumlah ini belum termasuk dana-dana yang
dikeluarkan oleh PN-PN untuk belanja keperluannya. Dengan sumber
dana yang besar ini dapatlah dimengerti kalau setiap rekanan
atau pemborong selalu mengincer bisnis dengan pemerintah.
Sistim Koneksi
Di lain pihak, bukan menjadi rahasia lagi untuk mendapat bisnis
dengan pemerintah sulit sekali, terutama bagi mereka yang baru
ingin masuk. Sistim koneksi dengan pejabat yang masih
merajalela, merupakan hambatan yang sukar sekali ditembus.
Order diberikan bukan atas dasar harga atau kwalitas yang
diajukan rekanan atau pemborong, tapi kepada siapa yang bersedia
memberi komisi dan uang pelicin yang paling besar.
Sekalipun Keppres 14 ini ditujukan untuk membantu pengusaha
kecil, tapi sukar dielakkan kesan di belakang maksud pemerintah
tersebut terkandung maksud untuk mengurangi peranan pengusaha
non-pribumi yang memperoleh bisnis dari pemerintah. Menpan
Sumarlin, yang menandatangani surat edaran tentang pelaksanaan
Keppres 14, menyanggah bahwa langkah pemerintah ini berbau
rasistis. Tapi dalam surat edarannya tersebut justru dia
tegaskan keharusan peranan pribumi yang besar dalam setiap
perusahaan yang mengajukan bisnis dengan pemerintah.
Kenyataannya banyak juga perusahaan pribumi yang bermodal kuat.
Kurang jelas apakah mereka ini akan dikesampingkan bila mereka
mesti bersaing dengan pengusaha rekannya yang lemah dalam
berebut order sesuatu instansi. Yang jelas pemerintah telah
memberi melampaui Rp 50 juta. Akibatnya, golongan ekonomi lemah
tak kebagian kesempatan."
Rasa tak yakin seperti ini memang bisa dimengerti kalau diingat
aparat kontrol pemerintah sendiri masih kesempatan kepada
pengusaha lemah pribumi, dan sudah selayaknya apabila uluran
tangan pemerintah ini juga disambut oleh mereka dengan berusaha
menjadi pengusaha yang lebih bertanggungjawab. Sudah menjadi
anggapan umum bahwa pengusaha kecil pribumi kurang mampu menjaga
kwalitas, kurang memperhatikan unsur efisiensi dan kurang luwes
dalam pendekatan. Sebaliknya, pengusaha non-pribumi jauh lebih
cekatan dan profesionil.
Pardon, Was-was
Reaksi terhadap Keppres 14 ini umumnya positip tapi dengan
beberapa catatan. Fahmi Idris, tokoh Angkatan 66 dan sekarang
tokoh HIPMI bilang: "Keppres itu cukup memberi angin." Tapi
Fahmi juga skeptis akan pelaksanaannya. Dia percaya permainan
oleh golongan ekonomi kuat akan terus dilakukan. "Pengusaha
ekonomi lemah yang tak berpengalaman dalam permainan ini akan
tersisih," katanya.
Soedardji, Ketua Komisi VII DPR dari fraksi PPP menilai Keppres
tersebut sebagai langkah positif Presiden dalam menjabarkan
strategi pemerataan. Tapi dia juga khawatir kemungkinan
terjadinya permainan. Katanya: "Bisa terjadi permainan akal
bulus pos belanja barang dan pemborongan digabung hingga tak
mampu melihat penyimpangan-penyimpangan dari peraturan yang
ditetapkan sendiri. Karena itu tak ada salahnya kalau pemerintah
merumuskan sanksi yang tegas terhadap pejabat yang melakukan
penyimpangan dari Keppres 14 ini tanpa alasan yang bisa
diterima. Dan Menpan Sumarlin sendiri, sudah memperingatkan
"Pejabat yang melanggar Keppres ini, tanpa pardon (ampun), akan
ditindak tegas."
Perasaan belum siap untuk menerima "rezeki" itu terasa juga di
kalangan pribumi. "Untuk langkah pertama kami kalian memilih
proyek-proyek yang bernilai Rp 25 juta ke bawah." ujar
Soebandono B. Riyadi, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi
(HIPPI) Jawa Timur. Bekas Ketua Bappeda Ja-Tim itu masih akan
pilih-pilih dulu proyek yang di atas Rp 25 juta. "Selama ini
sulit juga untuk menilai apakah pengusaha pribumi sudah cukup
mampu mengerjakan proyek-proyek itu," ujarnya kepada Ibrahim
Husni dari TEMPO.
Untuk menyambut Keppres 14 itu pula HIPPI Ja-Tim akan
mengumpulkan anggotanya yang ratusan itu pertengahan Juni ini
juga. Dalam pertemuan itu Soebandono akan menyarankan kepada
para kontraktor yang lemah supaya bergabung saja suatu hal yang
diidam-idamkan oleh pemerintah. Dengan begitu dia berharap
kredit pun akan lebih mudah diperoleh. "Sekarang ini HIPPI juga
sedang mendekati BI untuk memecahkan soal kredit untuk
anggotanya," katanya. "Di samping itu juga untuk membicarakan
rencana pendirian Bank Koperasi yang modalnya dimiliki para
pengusaha pribumi lemah yang direncanakan juga bisa menyediakan
kredit untuk pengusaha anggotanya."
Perasaan was-was itu juga tersirat dalam ucapan K. Pri Bangun,
Ketua Asosiasi Pengusaha Kabel (Apkabel). "Ini merupakan
tantangan berat, pengusaha lemah diberi kepercayaan besar,"
katanya pekan lalu kepada TEMPO. Dia beranggapan, kalau sekali
ini kepercayaan itu tak dimanfaatkan dengan baik, "barangkali
pribumi akan kehilangan kesempatan untuk selamanya." Tapi yang
juga penting, menurut direktur pabrik kabel pribumi PT Terang
Kita itu, perlunya diarahkan perhatian pada para penyalur yang
bermodal lemah di daerah.
Menpan Sumarlin sendiri mengakui kemungkinan timbulnya Ali-Baba
baru tidaklah terelakkan dalam masa permulaan pelaksanaan
Keppres itu. Tapi bagi Bupati Lumajang Kol. Soewandi, sejak 6
bulan lalu di daerah kekuasaannya sudah berlaku kebijaksanaan
untuk menyerahkan proyek-proyek Pemda kepada pribumi. "Di sini
tidak ada proyek yang ditangani non-pribumi," begitu katanya.
Bahkan para pengusaha non-pribumi, menurut bupati, tak diberi
izin untuk bergerak di bidang pertanian dan peternakan.
"Cukuplah jika mereka yang mengurus bidang perdagangannya," kata
Soewandi.
Dari Medan ada juga suara tegas dari Gubernur Sumatera Utara EWP
Tambunan. "Akan saya pertaruhkan jabatan saya untuk pelaksanaan
Keppres ini," kata Tambunan dalam rapat pembangunan dengan
segenap KDH tingkat II baru-baru ini. Tak heran kalau Dalmi
Iskandar, bekas tokoh Kappi Sum-Ut yang kini mengetuai himpunan
kontraktor di sana (Hiknasu) optimis "itulah nafas baru buat
kontraktor pribumi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini