Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Adi Sasono:

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Adi Sasono, tidak ada yang salah dengan kebijakannya menyalurkan kredit usaha tani (KUT) Rp 8,3 triliun pada 1998/1999. Dia melihat justru pemerintah yang salah, karena tidak bisa menahan harga gabah sehingga petani tidak mampu membayar utang. Berikut wawancara Leanika Tanjung dari TEMPO melalui saluran telepon ke Malaysia, dengan mantan ketua Partai Daulat Rakyat (PDR) yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden RI ini.
Pemerintah merestrukturisasi KUT 1998-1999 yang dikatakan macet. Komentar Anda? Saya tidak tahu maksud Rizal Ramli. Tapi, kalau dilihat, yang tidak kembali itu justru kredit yang tahun 2000. Ketika panen Februari-April dan Agustus-September 2000, pemerintah tidak membeli gabah petani sehingga harganya jatuh sampai 60 persen. Akibatnya, petani tidak mempunyai uang untuk membayar utangnya. Menurut BPK, penyimpangan sampai tahun 1999 cuma 5 persen. Departemen Keuangan mengatakan KUT yang kembali baru 30 persen. Mengapa serendah itu? KUT Rp 8,3 triliun itu jatuh tempo terakhir Oktober-November 2000. Petani tidak bisa membayar karena harga gabah jatuh. Daripada mengejar petani, lebih baik pemerintah me-roll over, karena petani tidak membawa duit KUT itu ke Hong Kong atau Singapura seperti konglomerat. Tahun 1999, pembayaran KUT yang jatuh tempo lancar, karena waktu panen pemerintah menyediakan kredit pengadaan pangan Rp 7,5 triliun. Pembayarannya lancar, kecuali di Irian, Timor Timur, Maluku, Kalimantan Barat, dan Aceh, karena masalah keamanan. Jadi, kalau Rizal Ramli ngomong seperti itu, dia tidak tahu persoalan. Saya kasihan dia, ngomong tanpa dasar. Harusnya, dia tahu persoalan dulu sebelum berbicara, jangan semangatnya menyalahkan orang lain. Kenapa Anda menaikkan KUT dari Rp 350 miliar menjadi Rp 8,3 triliun? Karena waktu itu krisis gawat. Inflasi 77 persen, rupiah melemah, PHK massal, persediaan beras pegawai negeri tinggal tiga bulan, dan ada kelangkaan bahan kebutuhan makanan karena distribusi ambruk. Kebijakan pemerintah, menarik tenaga produktif masuk ke lapangan kerja di desa agar mereka tidak lari ke kota. Duit Rp 8,3 triliun itu baru 30 persen dari kebutuhan petani. Di luar negeri seperti Thailand, kredit tani diberikan 100 persen. Tapi kenapa harus disalurkan melalui LSM? LSM hanya menyalurkan kurang dari 10 persen dari Rp 8,3 triliun. Ada yang nakal, memang. Saya setuju mereka diproses secara hukum. Tapi jumlahnya tidak dominan. Benarkah penyimpangan penyaluran terjadi karena fungsi bank diubah dari executing menjadi channeling? Bank sebagai executing berarti harus ada agunan. Orang kecil dimintai agunan. Dari mana? Wong, untuk makan saja susah. Konglomerat, dengan pola executing, utangnya macet 65 persen dari Rp 930 triliun. Jadi, masalahnya bukan channeling atau executing, untuk rakyat tetap channeling. Dengan executing, dari Rp 2 triliun kredit ketahanan pangan (KKP), yang keluar baru 0,3 persen. Benarkah kredit diberikan kepada mereka yang mau masuk Partai Daulat Rakyat? Fitnah, tidak mungkin dan tidak terbukti karena RDKK didasarkan survei yang dikendalikan bupati dan gubernur. Mereka tidak ditanya apa partainya. Itu omong kosong orang sentimen. BRI sukses dengan Kupedes walaupun sebagai executing, dan yang dilayani orang kecil. Komentar Anda. BRI itu bukti orang kecil bisa bekerja baik, Kupedes cuma macet 4 persen. Tapi, harus diingat, Kupedes diberikan ke sektor perdagangan, yang sifat kreditnya lebih mudah dan yang menerima middle class pedesaan. Sedangkan KUT diperuntukkan bagi orang paling miskin di negeri ini. Yang mempersoalkan channeling atau executing tidak mempunyai hati nurani dan akal sehat. Orang miskin dengan kepemilikan tanah rata-rata 0,3 hektar, kok, dimintai agunan. Tapi program KUT sebelumnya mengandalkan bank sebagai executing dan berjalan baik?. Oh, itu masalahnya juga banyak. Yang memperoleh hanya sebagian kecil masyarakat, sekitar 250 ribu dari 12 juta petani kita. Sebagian besar KUT di masa saya tersalur dengan baik. Kalau tidak, mana mungkin produksi naik, inflasi turun, rupiah menguat. Rizal Ramli akan mengejar pembuat kebijakan KUT ini. Bagaimana menurut Anda? Silakan saja. Mudah-mudahan dia ngomong karena tahu persoalan. Sebab, saya khawatir, dia tidak mengerti persoalan. Saya tidak marah, cuma kasihan saja sama Rizal. Sinar Mas dibantu US$ 1,3 miliar, lalu Texmaco, tempat Rizal Ramli menjadi konsultannya, utangnya diperpanjang 15 tahun. Itu siapa mastermind-nya? Apakah restrukturisasi ini akan menggembirakan petani? Tidak sesederhana itu, karena di beberapa provinsi sudah ada yang membayar hampir 100 persen. Contohnya di beberapa kabupaten di Bali. Di Tapanuli juga sudah tidak ada masalah. Ini harus adil. Sebab, kalau tidak, bisa membuat orang tidak mau membayar di kemudian hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus