Duit US$ 400 juta itu belum juga turun. Padahal, menurut jadwal, Dana Moneter Internasional (IMF) sudah harus mengucurkannya Desember tahun lalu, sebagai bagian dari komitmennya menyalurkan US$ 5 miliar kepada pemerintah Indonesia. Mengapa IMF mengulangi sikap yang terkesan arogan itu? Dan, apa lagi "dosa" pihak Indonesia?
Para petinggi IMF tampaknya khawatir menyaksikan tiga masalah yang kini sedang berproses di Indonesia: amandemen UU Bank Indonesia, penjualan aset di BPPN, dan desentralisasi fiskal. Kepada para pejabat Indonesia, IMF sudah mengusulkan agar mempelajari praktek bank sentral di negara-negara lain, sebelum melanjutkan pembahasan amandemen undang-undang tersebut. Pemerintah pusat di Jakarta juga diminta IMF agar melarang daerah menerbitkan surat utang, supaya tak memperburuk kondisi keuangan. Terhadap BPPN, mereka menyarankan supaya membuat panduan penjualan aset dan restrukturisasi utang perusahaan.
Namun, penanganan tiga masalah itu ternyata tak seperti yang diharapkan. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda pemerintah akan merealisasi penjualan saham BCA dan Bank Niaga yang tertunda sejak tahun lalu. Pemerintah juga tak mengacuhkan pesan IMF perihal amandemen UU BI dan desentralisasi keuangan daerah. Akibatnya, Kepala Perwakilan IMF untuk kawasan Asia Pasifik, Anoop Singh, mengancam akan membatalkan pencairan dana yang US$ 400 juta itu. "Proses itu bisa merusak kemandirian BI," katanya memberi alasan.
Tentang penundaan pencairan US$ 400 juta, Menko Perekonomian Rizal Ramli telah menanyakannya kepada Deputi Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer. Intinya, pihak Indonesia keberatan. "IMF terlalu keras menekan kita," katanya. Padahal, menurut Rizal, ia telah berupaya menjelaskan duduk perkaranya. Proses amandemen UU BI berjalan lambat karena diharapkan hasil yang optimal. Soal desentralisasi fiskal, Menteri Keuangan bersama Gubernur BI bahkan telah mengeluarkan surat edaran yang melarang pemerintah daerah menerbitkan obligasi selama tahun 2001.
Bila pemerintah terkesan lamban, menurut Rizal, itu tak lain karena kondisi sekarang berbeda dengan zaman Orde Baru. "Kami bukan lagi rezim otoriter," katanya. Sekarang, setiap keputusan harus diambil lewat kompromi atau titik temu dengan DPR. Senada dengan Rizal, ekonom Nomura Securities Singapura, Adrian Panggabean, menilai kekhawatiran mandor IMF tak beralasan. Ekonom ini menilai, pemerintah telah melaksanakan apa yang diminta IMF.
Selain melarang penerbitan obligasi, pemerintah juga tak memperbolehkan daerah memungut pajak secara semena-mena. Nah, kalau mereka tetap ribut dan menekan pemerintahan Abdurrahman Wahid, "Berarti IMF sudah berpolitik," Adrian menandaskan. Campur tangan terlalu jauh ini kabarnya juga menjengkelkan Rizal.
Sumber TEMPO mengungkapkan bahwa Rizal sudah sampai pada batas kesabaran menghadapi lembaga internasional itu. Dan ia sudah tak lagi bersemangat untuk melobi dan berbaik-baik dengan mereka. Masalahnya, apakah perseteruan itu akan pecah menjadi konflik terbuka. Mudah-mudahan tidak. Dubes Indonesia di AS, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, menyayangkan bila sampai terjadi gangguan besar dalam hubungan pemerintah dengan IMF.
Dalam pandangan Pak Dubes, sulit untuk membuktikan bahwa IMF campur tangan terhadap politik dalam negeri Indonesia. Diingatkannya, Indonesia adalah anggota IMF yang rajin membayar iuran. "Tapi kita jarang meminjam dari sana," ujarnya. Sejak peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, inilah untuk kedua kalinya Indonesia meminjam duit dari IMF. Dan, dana tersebut berbunga murah, cuma 4,5 persen per tahun. Bandingkan dengan pinjaman komersial yang bunganya mencapai 12 persen.
Betul, untuk memperoleh pinjaman tersebut pemerintah harus memenuhi beberapa persyaratan. Tapi Dorodjatun menilai, tak ada yang aneh di situ. "Mereka juga minta persyaratan yang sama kepada Rusia, Argentina, Nigeria, Korea, dan Brasil," katanya. Namun, bila ada silang pendapat dengan IMF, Dorodjatun menganjurkan agar diselesaikan lewat negosiasi. Soal jangka waktu pengembalian utang, misalnya. "Kita bisa minta pembayarannya diperpanjang atau ditunda. Yang penting, hubungan dengan IMF harus tetap dipelihara." Selanjutnya Dorodjatun, yang juga pakar ekonomi ini, mengingatkan bahwa IMF sebagai lembaga donor merupakan benchmark bagi lembaga keuangan internasional lainnya seperti Bank Pembangunan Asia, Paris Club, atau Bank Exim seluruh dunia. Mereka akan sulit memberi pinjaman bila hubungan Indonesia dan IMF tegang seperti saat ini.
Dilihat dari situasi dalam negeri, peluang pemerintahan Abdurrahman juga tak banyak. Ada gempuran keras, baik dari parlemen gedongan maupun parlemen jalanan. Dan kalau situasi kian meruncing gara-gara hubungan tegang dengan IMF, apakah bukan pemerintah juga yang kelak dirugikan?
Nugroho Dewanto, Iwan Setiawan, Supriyono (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini