Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar ka meraih laba

Pjka berganti status menjadi perumka. diharapkan tak mengalami difisit. perumka diberi kebebasan mencari mitra usaha, dan punya wewenang mengambil kredit investasi dari bank.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"NAIK kereta api tut...tut...tut.../siapa hendak turut....". Keceriaan naik kereta api, seperti dikesankan pada lagu anakanak ciptaan Ibu Sud itu, agaknya, sebentar lagi akan terwujud. Di samping ceria, juga nyaman, dan aman, dan banyak lagi. Setidaknya itulah yang ditunggu-tunggu, sejak angkutan rakyat yang murah ini berganti status dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perusahaan umum (perum), 2 Januari lampau. Kini Perumka -- nama yang baru untuk PJKA -- tengah sibuk berbenah, terutama dalam hal manajemen (agar lebih profesional) dan penataan pegawai. Perubahan status BUMN yang berdasarkan PP No. 57/1990 ini, seperti diharapkan Menteri Perhubungan Azwar Anas di Bandung -- saat apel pegawai Perumka awal Januari silam -- adalah agar BUMN itu bisa meringankan beban pemerintah, yang selalu memberi subsidi besar. Memang dari tahun ke tahun subsidi itu menurun jumlahnya, tapi cukup memberatkan bagi Pemerintah, yang semakin susut potensi penghasilannya. Tahun 1987/1988, PJKA menerima subsidi Rp 34,8 milyar. Tahun 1988/1989 berkurang menjadi Rp 32,8 milyar, sedangkan tahun 1989/1990 subsidinya turun lagi menjadi Rp 31,5 milyar. "Dari 17 BUMN di lingkungan Departemen Perhubungan, hanya PJKA yang belum meraih keuntungan," ujar Azwar Anas. Namun, kelemahan itu diimbangi oleh BUMN ini dengan peningkatan produksi angkutan. Jumlah penumpang dan barang yang diangkut meningkat. Dari 55,4 juta orang dan 11,7 juta ton barang pada 1989, naik menjadi 56,1 juta orang dan 12,4 juta ton pada 1990. Dalam soal cari duit, dengan status perjan, PJKA memang kurang gesit. Pengelolaannya pun selama ini dilakukan secara birokrasi jawatan. Asetnya senilai Rp 796,7 milyar, tapi operasinya masih terus tekor. Tahun lalu Perumka baru mampu menghasilkan Rp 177 milyar, padahal biaya operasionalnya mencapai Rp 207 milyar (termasuk subsidi Pemerintah). Menurut Dirjen Perhubungan Darat Giri Suseno, Perumka tidak bisa disamakan dengan BUMN lain di lingkungan Departemen Perhubungan, seperti DAMRI, Pelni, atau Garuda Indonesia, karena semua sarana dan prasarana (seperti rel, telekomunikasi, dan jembatan) dibiayai sendiri oleh Perumka. "Biaya operasional banyak tersedot untuk pemeliharaan infrastruktur," katanya. Dengan status perum, Direktur Utama Perumka, Ir. A. Harbani, optimistis perusahaan yang dipimpinnya tak akan mengalami defisit seperti sekarang ini. Kelak, Perumka tidak hanya mengandalkan kereta api, seperti dahulu. Ruang geraknya lebih longgar. Pemerintah, misalnya, sudah mengizinkan Perumka menambah kapasitas angkut komersial menjadi 40 persen. "Sekarang sektor angkutan komersial baru 15 persen," kata Harbani. Jika target 40% tercapai, hasilnya diharapkan bisa menutup beban sosial - untuk melayani kepentingan umum -- yang mencapai 60 persen itu. Dalam kata lain, Perumka akan sukses bertahan dengan melakukan subsidi silang. Tidak itu saja. Perumka juga diberi kebebasan mencari mitra usaha, dan punya wewenang mengambil kredit investasi dari bank. Tanah-tanah yang selama ini banyak telantar pun boleh dialihkan untuk kepentingan bisnis, misalnya untuk mendirikan hotel, restoran, atau pusat perbelanjaan. Selain itu, Harbani gembira karena ada sejumlah pengusaha swasta yang sudah menyatakan minatnya untuk membangun hotel dan balai sidang di sekitar stasiun Bandung. Apakah Perumka siap menyambut perubahan mendadak itu? Jawab yang dicetuskan Harbani adalah "ya". BUMN yang dipimpinnya siap memasuki manajemen modern, dengan persiapan matang. Sejak dua tahun lalu, pihaknya telah mendidik 170 tenaga ahli (manajemen dan teknologi) yang kelak ditugasi mengendalikan manajemen secara profesional. Perubahan manajemen itu bukannya tak mengundang keresahan. Di kalangan karyawan, muncul isu akan adanya pengurangan pegawai secara masal. Kabar ini segera dibantah Direktur Operasi Perumka, Anwar Supriyadi. "Rasionalisasi jelas ada, tapi itu bukan berarti PHK," katanya kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Dengan jumlah pegawai 41 ribu, Perumka memang terasa kelebihan tenaga. "Kalau ada kelebihan, akan disalurkan ke usaha lain yang tengah dirintis Perumka. Prinsipnya, tak akan ada PHK," demikian janji Anwar. Aries Margono, Sugrahetty Dyan K., Hassan Srukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus