KAYU cendana dari NTT tidak bisa lagi diharapkan mengharumkan devisa. Sejumlah 140 ton kayu cendana yang sudah digarap menjadi barang kerajinan -- dari patung, kipas, tasbih, sampai aneka dupa -- dan siap diekspor ke Taiwan, kini teronggok di gudang. Para eksportirnya memang harus mematuhi SK Menteri Keuangan (19 Oktober 1990), yang menetapkan bahwa barang jadi, kayu cendana yang boleh dilepas ke pasar internasional adalah yang per satuan berat maksimalnya 0,5 kg. Selama ini cendana adalah primadona PAD (Pendapatan Asli Daerah). Menurut Kabiro Pengembangan Produksi Daerah NTT, Drs. F.C. Matutina, hampir separuh atau Rp 3,9 milyar PAD NTT, yang berjumlah Rp 8 milyar, sumbernya dari hasil penjualan olahan cendana, yang tiap tahunnya rata-rata 600 ton. Dengan adanya SK Oktober itu, yang ikut terancam adalah bermilyar-milyar dana bank yang dipinjam oleh industriawan cendana. Antara lain pinjaman Rp 2,5 milyar yang diberikan BRI dan Bank Danamon kepada CV Daito Indah. Atau pinjaman Rp 200 juta (belum termasuk bunga) dari BRI ke CV Vada. Mereka sekarang rata-rata mengalami kesulitan untuk membayar cicilan utangnya ke bank. Rupanya, barang-barang kerajinan yang satuannya tak lebih dari 0,5 kg (berupa tasbih dan rosario), nilai tambahnya tidak sebanyak kalau bobotnya lebih, misalnya dalam bentuk patung Budha atau ukiran lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini