PERUM Pegadaian, yang low-profile itu, tiba-tiba membuat kejutan. Sebuah iklan warna, berukuran 1/2 halaman yang dipasang di surat kabar Ibu Kota, telah menampilkan sosok Pegadaian yang lain dari biasa. Lebih komersial, lebih profesional. Memang, foto empat ekor anak ayam yang merupakan ilustrasi iklan tampak tidak istimewa. Tapi kalimat di bawahnya cukup memancing rasa ingin tahu pembaca. Bunyinya, "Ada satu yang jantan ... yang mana?" Menurut Direktur Operasi Pegadaian Pusat, A.R. Sutalaksana A.H., gagasan di balik iklan itu ialah merintis pembentukan citra baru bagi Perum Pegadaian. Ternyata BUMN yang tergolong paling sehat berdasar penilaian Departemen Keuangan ini - sejumlah besar BUMN lain dinyatakan tidak sehat atau kurang sehat -- akhirnya memerlurkan "baju" baru. "Kami juga sedang mempertimbangkan adanya logo yang tepat, yang tampaknya penting sebagai corporate identity," Sutalaksana menegaskan. Semula berstatus perjan (perusahaan jawatan), berdasarkan PP 10/1990, Pegadaian berubah menjadi perum (perusahaan umum). Dan kini, BUMN itu mulai mengambil langkah-langkah penyesuaian. Segi manajemen, yang selama ini terabaikan akan dibenahi. "Kami berupaya mengadakan perombakan total di semua sektor, antara lain pengembangan sumber daya manusia, perbaikan sarana fisik dan fasilitas permodalan yang disempurnakan," kata direktur itu dengan rinci. Selama ini Pegadaian berfungsi sebagai sahabat bagi pedagang dan pengusaha kecil, di samping menjadi "juru selamat" bagi orang-orang "terjepit", para mahasiswa dan penganggur musiman. Mereka itu dilayani oleh pegawai Pegadaian (jumlahnya sekitar 6.000 orang) di kantor-kantor Pegadaian yang umumnya bersuasana kumuh, tanpa air conditioning tapi kasnya selalu likuid. Di situlah kelebihannya. Tidak pernah tidak likuid, selalu mudah (dalam 15 menit uang yang diperlukan sudah bisa diperoleh) dan murah (bunganya rendah). Padahal, Pegadaian cuma beroperasi dengan dana sekitar Rp 30 milyar, para pelanggannya bukan konglomerat, barang-barang yang dikelolanya adalah barang bekas. Mobil yang sudah tidak mulus, misalnya, bisa saja digadaikan. Begitu juga barang-barang lain seperti mesin jahit, mesin motor kapal, TV, kulkas, radio, sepeda, mesin ketik. Berbagai perhiasan dari logam mulia ditampung, asal bukan sepuhan. Kain batik juga boleh, tapi pakaian jadi ditolak. Kalau mau diukur dari misinya yang dilaksanakan dengan baik dan kondisi keuangannya yang terbilang sehat, Pegadaian sama sekali tidak punya cacat. "Tapi kami ingin mengubah citra buruk Pegadaian ... kami ingin dianggap setara dengan lembaga keuangan lainnya yang melayani kebutuhan masyarakat akan uang tunai," ujar Sutalaksana bergelora. Dengan tujuan mengangkat citra, Pegadaian akan memperluas pelanggannya ke masyarakat menengah ke atas. "Sekarang kami bisa melayani pinjaman yang setengah juta ke atas," Sutalaksana berkata sedikit bangga. Padahal, Pegadaian juga masih memiliki sejumlah nilai tambah lainnya yang juga layak dibanggakan. Pelayanannya cepat, pengembalian utang bisa diperpanjang waktunya, pembayaran cicilannya luwes, sistem bunganya diterapkan berdasar sisa utang, bukan sistem flat. Daftar ini masih akan disambung dengan beberapa produk baru. Misalnya, paket kredit pendidikan. "Kami akan mencoba untuk tahun ajaran mendatang," kata Sutalaksana optimistis. "Tentu ada batas minimal untuk agunannya, tapi dengan bunga lebih rendah dari biasa." Tapi, masih ada kejutan lain. Melalui telepon, misalnya, nasabah bisa meminta juru taksir Pegadaian datang ke rumahnya untuk menaksir barang yang akan digadaikan. Juru taksir ini juga bisa diminta untuk menguji keaslian barang. Selain itu, demi peningkatan efisiensi, Pegadaian akan lebih efektif memanfaatkan lahanlahan luas miliknya yang tersebar di seluruh Indonesia. Kalau Pegadaian kini tampak berambisi agaknya memang sesuai dengan indikator yang menunjukkan bahwa kini banyak juga pelanggannya yang berasal dari kalangan menengah atas. Menurut Sutalaksana, mereka biasanya menggadaikan mobil, perhiasan, dan arloji mewah. Indikator lain adalah omset tertinggi per hari (Rp 20 juta) dicatat oleh Kebayoran, satu kawasan yang tergolong mapan di Ibu Kota. Ini diungkapkan oleh Dudung Suwanda, Kepala Cabang Pegadaian Salemba, Jakarta. Anehnya, yang mencatat omset terbesar adalah Ujungpanjang -- omsetnya empat kali lebih besar dari cabang-cabang di Jakarta. Tapi, apa maksud pertanyaan "yang mana yang jantan" seperti tertera dalam iklan? Pertanyaan ini tidak dijawab secara eksplisit oleh Sutalaksana. Hanya ia merasa perlu mengungkapkan bahwa sejak berlakunya Pakto 1988, diam-diam ada sejumlah bank yang sudah memberikan jasa layanan pegadaian. "Kami saat ini bersaing ketat dengan mereka," ujarnya tajam. "Padahal, lewat PP 10/90 sudah ditegaskan bahwa satusatunya badan yang berhak memberikan jasa layanan gadai adalah Perum Pegadaian." Sekalipun bank-bank itu belum ditindak, Perum Pegadaian tidak akan berdiam diri. "Kami siap bersaing," tantang Sutalaksana. Laporan Nunik Iswardhani TABEL ------------------------------------------------------------ . JUMLAH NASABAH PERUM PEGADAIAN ------------------------------------------------------------ . TAHUN NASABAH ------------------------------------------------------------ . 1984/1985 1.715.350 . 1985/1986 2.276.925 . 1986/1987 2.233.573 . 1987/1988 2.169.929 . 1988/1989 2.255.427 . 1989/1990 2.297.000 ------------------------------------------------------------ . . PERSENTASE NASABAH ------------------------------------------------------------ . Perdagangan 48,26% . Petani 23,4 % . Nelayan 6,57% . Industri Rumah Tangga 3,76% . Lain-lain 8,37% ------------------------------------------------------------ . Sumber: Perum Pegadaian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini