IKLAN setengah halaman koran itu menampilkan foto kerimbunan pohon buah-buahan, dengan huruf besar-besar di atasnya yang berbunyi, "Investasi Abad 21." Setelah ditelusuri, ternyata iklan itu mengajak warga Indonesia berinvestasi di perkebunan anggur di Mildura, Australia. Selain itu, ada tawaran investasi di perkebunan lengkeng di Huazhou, Guangdong, Cina. Keduanya di seberang lautan, tapi mungkin bisa menjadi alternatif lebih baik daripada deposito di negeri sendiri.
Di iklan disebutkan juga, dengan menanamkan US$ 36 ribu (Rp 342 juta dengan kurs Rp 9.500 per dolar AS), Anda menjadi pemilik 300 pohon anggur di Australia. Atau Anda bisa menanamkan US$ 7.900 untuk 40 pohon lengkeng di Cina. Dan itu belum semua. Bagi 100 pendaftar pertama, diberikan tiket gratis untuk meninjau perkebunan tersebut selama tiga hari.
Ternyata, investasi dengan pola yang hampir sama juga ditawarkan di sini. Tak percaya? PT Qurnia Alam Subur Raya di Sukabumi menawarkan berbagai alternatif bisnis: tanaman sayur pola kapling dan bagi hasil, hidroponik, peternakan, kelautan, madu lebah, dan air mineral. Untuk investasi selama tiga-empat bulan, investor bisa mendapatkan hasil rata-rata 5-6 persen tiap bulannya?berarti 60 persen setahun. Fantastis. Dan yang paling menarik, risikonya nol. Sebab, kalau panen gagal, uang akan dikembalikan seratus persen. Cukup menjanjikan, tapi jaminannya tak ada.
Hal itu dikatakan sendiri oleh Melly, Direktur Investasi PT Qurnia Alam Subur Raya. Yang ada hanya surat kesepahaman antara perusahaan dan calon investor. Toh, kendati jaminannya tak ada, investor datang berduyun. Menurut Melly, jumlah investor lama di perusahaannya lebih dari 500 orang, sementara 200 calon investor masih menunggu giliran.
Kini penawaran terbaru datang dari bisnis ikan gurame di Sawangan, Bogor. Menurut Elman Sitorus, Komisaris PT Alamsito Tohorindo, jika menanamkan Rp 10 juta, investor bisa mendapatkan Rp 300 ribu atau tiga persen tiap bulannya. Kalau gagal, uang kembali utuh. Gurame berusia tiga bulan akan ditampung oleh PT Tirtamas Ciseeng Gurame?perusahaan pembesaran ikan dengan lahan 30 hektare. Tapi, sekali lagi, jaminannya tidak ada. Jaminan baru diberikan, berupa agunan rumah, kalau investornya membeli 10 paket sekaligus senilai Rp 100 juta.
Nah, ini gejala apa? Menurut Direktur Riset dan Pengembangan Centre Policy for Agro Studies (CPAS), Muslich Zainal Asikin, tidak berfungsinya bank sebagai lembaga penyalur kredit mendorong pengusaha mencari alternatif pendanaan. Satu di antaranya berupa tawaran investasi yang langsung melibatkan pemilik modal dengan iming-iming hasil yang lumayan besar. Banyak yang tergiur karena deposito atau bentuk investasi lainnya hanya memberikan bunga 13-14 persen per tahun.
Praktisi pertanian F. Rahardi menyarankan agar tidak percaya begitu saja dengan tawaran seperti ini karena angka-angkanya tidak masuk akal. Angka investasi untuk jagung, misalnya, disebut Rp 30 juta per hektare per tahun, padahal wajarnya cuma Rp 5 juta. Harga jualnya juga digelembungkan menjadi Rp 7.000 per kilogram, padahal di pasar swalayan, sekilo jagung manis dihargai Rp 3.000. Di tingkat petani berarti hanya laku dijual Rp 600 per kilogram jagung manis?itu pun masih dengan kulitnya.
Melihat angkanya yang fantastis, Rahardi curiga jangan-jangan ini sama saja dengan arisan berantai model lama, yang akhirnya bermasalah karena tidak bisa mengembalikan uang pemodal. Hal itu terjadi karena arisan tersebut didasarkan pada sistem gali-tutup lubang, membayar peserta lama dari uang anggota baru.
Benarkah demikian? Sebenarnya tidak juga. Menurut Muslich, margin keuntungan sektor pertanian cukup besar. Dengan cara yang paling konvensional pun, margin itu bisa mencapai 100 persen asalkan waktu penanamannya tepat. Jadi, membagi keuntungan 15-20 persen kepada pemilik modal dalam sekali panen bukan hal yang sulit. Mengembalikan uang investor secara utuh, kalau gagal panen, juga bisa dilakukan karena biasanya kegagalan tidak terjadi di semua lahan. Untuk satu jenis tanaman, pengusaha biasanya menanam di 20-an lahan, sehingga kalau ada satu atau dua lahan gagal, itu bisa ditutup dari lahan lain yang berhasil.
Bagi investor yang berminat, Muslich menyarankan agar melihat siapa pengelolanya. Apakah mereka mempunyai keahlian dan jalur pemasaran yang bagus. Kalau ya, tak salah menjadikannya sebagai alternatif investasi baru.
Sebenarnya, pola bagi hasil seperti ini bukan barang baru. Secara konvensional, pola bagi hasil sudah berlangsung puluhan tahun dan berhasil. Bedanya, dulu pengelola dan pemilik modal sudah saling kenal dan saling percaya. Sekarang lain. Pengelola dan pemilik modal tidak saling kenal, sehingga diperlukan faktor lain yang bisa menjamin keamanan investasi. Nah, justru jaminan itulah yang tidak ada. Atau tidak perlu, karena memang begitulah bisnis investasi abad ke-21 itu.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini