Berita seputar Perusahaan Listrik Negara (PLN) tampaknya tak jauh dari kisah-kisah pilu. Tahun lalu perusahaan milik negara ini membukukan kerugian paling besar sepanjang sejarahnya: Rp 22,5 triliun. Jadi, bila angka itu dirata-rata, setiap bulan PLN rugi Rp 1,8 triliun. Atau, kalau dihitung harian, setiap hari pabrik setrum ini harus nombok Rp 62 miliar. Luar biasa.
Jumlah itu setara dengan bunga utang luar negeri Indonesia yang harus dibayar pemerintah tahun lalu. Untuk PLN, jumlah ini naik hampir dua kali lipat dari tahun 1999 yang cuma Rp 11,37 triliun. Rupanya, pendapatan operasi Rp 22,7 triliun tidak mampu menutup pengeluaran operasi yang mencapai Rp 30,3 triliun. Kondisi buruk itu diperparah oleh subsidi pemerintah Rp 3,9 triliun yang tidak turun tahun lalu, ditambah harga jual gas ke PLN yang lebih mahal ketimbang ke pabrik pupuk.
Kalau subsidi pemerintah itu tetap tak dibayarkan, artinya dua kali berturut-turut subsidi itu tidak dikucurkan. Padahal, menurut Direktur Keuangan PLN, Parno Isworo, subsidi tahun 2001 besarnya akan sekitar Rp 4,1 triliun?dengan asumsi ada kenaikan harga minyak dan penyusutan aset PLN. "Akan sangat berat untuk operasi PLN jika subsidi pemerintah tidak diberikan," katanya.
Toh, kondisi PLN itu tak membuat semua orang lantas pesimistis. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, termasuk yang optimistis, mengingat aset PLN yang sekitar Rp 70 triliun. "Nilainya bahkan bisa mencapai US$ 190 miliar jika sudah direvaluasi," katanya kepada Tempo beberapa waktu lalu. Selain itu, PLN masih punya jurus lain untuk bertahan. Kata Menteri Purnomo dalam pertemuan dengan DPR, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melakukan debt to equity swap sebesar Rp 25 triliun atas tunggakan bunga dan denda utang PLN kepada pemerintah. Dengan jurus itu, kerugian tahun ini bisa ditekan menjadi "cuma" Rp 4,4 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini