SUATU saat, ketika Radius Prawiro masih menjabat menteri koordinator ekonomi, dengan bercanda ia menangkis kritik yang dialamatkan kepadanya. "Jelas tidak benar kalau dibilang kita sudah menjual tanah air ke Singapura. Yang benar kita menjual air tanah," katanya menanggapi berbagai sindiran atas kebijakan pemerintah mengekspor air ke Negeri Singa, menyusul penjualan bergunduk-gunduk pasir untuk kepentingan reklamasi pantai negeri jiran itu.
Sindiran keras soal jual-beli tanah air itu marak sebelas tahun silam, setelah Radius bersama Deputi Perdana Menteri Lee Hsien Loong meneken nota kesepahaman tentang jual-beli "emas bening" antara Indonesia dan Singapura. Direncanakan, dengan investasi US$ 900 juta lebih (Rp 8 triliun dengan kurs sekarang) di Pulau Bintan, Riau, bakal dibangun lima dam raksasa untuk mengalirkan 60 juta galon air per hari ke Negeri Singa melalui pipa bawah laut. Sebagai pelaksana ditunjuk Grup Salim. Namun megaproyek itu kemudian menggantung tanpa kepastian karena berlarut-larutnya pembebasan tanah dan harga yang tak kunjung disepakati. Soeharto keburu ambruk, dan pada November 1998 penunjukan Salim dicabut.
Kini, sebelas tahun kemudian, tak banyak lagi kritik terlontar meski proyek itu tengah kembali diintip banyak kalangan—mungkin karena masyarakat tidak tahu atau sudah tak peduli. Bisnis air ini memang teramat basah. Bayangkan, tiap hari Singapura membutuhkan 300 juta galon (1,4 juta meter kubik) air. Sepuluh tahun ke depan, volume ini akan melonjak sampai 400 juta galon. Jika tiap meter kubik pukul rata dihargai satu dolar Singapura, perolehannya jelas menggiurkan: sekitar Rp 7 miliar sehari.
Selama ini negeri Lee Kuan Yew bergantung pada pasokan Malaysia, berdasarkan dua perjanjian yang akan berakhir tahun 2011 dan 2061. Di sinilah peluangnya. Telah lama Singapura dan Malaysia bersengketa ihwal kontrak strategis itu. Senin-Selasa pekan lalu, misalnya, perundingan tingkat menteri kedua negara gagal mencapai jalan tengah soal tuntutan Malaysia menaikkan tarif. Untuk mengurangi ketergantungan itulah, Singapura terus mencari alternatif. Salah satunya dengan melirik kemungkinan suplai dari Riau.
Cuma, kini Singapura juga tak mau banyak bergantung pada Indonesia. Untuk itu, mereka telah mencanangkan program swasembada air dengan target pada 2011 telah memiliki sumber sendiri, yang sanggup mengucurkan 85 juta galon air sehari. Desalinasi—penyulingan air laut—merupakan salah satunya. Akhir September pemenang tender proyek ini akan diumumkan. Harganya pun kian murah. Dari S$ 2-3 per meter kubik sepuluh tahun lalu, kini jadi cuma S$ 0,78-1,4. Artinya, air Riau baru akan laku kalau pasang harga di bawahnya. Selain itu, mereka telah membangun kolam-kolam penampungan raksasa dan pengembangan NEWater, program pemurnian air limbah. Ini semua menggeser kebijakan Singapura dari semula mengandalkan Riau sebagai salah satu pemasok utama menjadi sumber pendukung.
Meski begitu, peluang ini toh masih juga sangat menarik bagi para investor. Perburuan kembali dimulai sekitar Juli 1998 oleh PT Air Bumi Bertuah (ABB), sebuah perusahaan yang antara lain dimiliki Mucki Tan, bos Grup Roda Mas. Menggandeng dua raksasa dari Jepang, Marubeni dan Nippon Steel, telah empat tahun mereka melakukan penjajakan serius. Untuk survei kelayakan mereka menggamit konsultan Ballast Indonesia Construction, anak Ballast Nedam NV, perusahaan konstruksi nomor lima se-dunia asal Belanda yang ikut membangun proyek pemasangan pipa Natuna. Izin lokasi seluas 400 hektare di Kecamatan Bintan Utara pun telah dikantongi dari Bupati Kepulauan Riau.
Menurut Direktur Utama PT ABB, Sujana Sulaeman, pihaknya berencana menanamkan investasi US$ 250-300 juta untuk menyuplai 20 persen kebutuhan Singapura selama 30 tahun. Air akan dialirkan dari dua dam yang dibangun di Pulau Bintan. Tapi negosiasi belum lagi final. Selain minta harga ditekan di bawah air desalinasi, Negeri Singa juga mempertanyakan nasib perjanjian 1991.
Tak hanya PT ABB yang muncul. Badan Promosi dan Investasi Riau mencatat setidaknya ada delapan perusahaan swasta, termasuk PT ABB, plus dua badan usaha milik daerah yang telah menyatakan minat. Hebatnya, rata-rata mereka menggandeng nama kerabat petinggi negara.
Salah satu di antaranya adalah PT Roer Exim Perkasa. Menurut sumber TEMPO, perusahaan ini kerap disangkutpautkan dengan nama Guntur Sukarnoputra, kakak Presiden Megawati. Ketika didatangi TEMPO, ternyata kantor Roer hanya di sebuah ruko tak terurus di kawasan Kemang, Jakarta. Perusahaan ini dimiliki dua warga Singapura. Karyawannya pun empat orang saja: satu resepsionis, seorang staf administrasi, dan dua sopir.
Presiden Direktur PT Roer, Sidarto Mulyo, membenarkan pihaknya tengah menjajaki bisnis ini. Bermitra dengan pengusaha Singapura dan konsultan internasional, kata dia, studi kelayakan telah dilaksanakan. Tapi ia keras membantah keterlibatan Guntur, "Kami tidak menjual nama seseorang untuk memuluskan proyek ini." Guntur tak dapat diwawancarai. Berkali-kali dihubungi, anaknya, Puti, cuma menyatakan ia sedang berada di luar kota.
Salah satu kontestan gajah lainnya adalah PT Daya Karti Nagari. Ini bukan sembarang perusahaan. Si empunya bernama Abimanyu, adik mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Bimantoro. Santer terdengar, PT Daya kuat dibekingi seorang adik Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati. Belakangan, mereka berkongsi dengan pengusaha tanker Setiawan Djody dan menggamit Montgomery Watson, konsultan asal Amerika.
Djody membenarkan telah bermitra dengan Abimanyu dalam proyek ini. Ditambah partner dari Malaysia dan Inggris, katanya, konsorsium mereka mengibarkan bendera PT Bintang Air Biru. Tapi prosesnya baru dalam "tahap presentasi ke pemerintah Singapura". Perundingan terakhir berlangsung akhir Maret lalu. Dengan investasi US$ 300-an juta selama 15 tahun dan mematok harga miring S$ 1 per meter kubik, Djody hakul yakin punya kans besar. Tak cuma ke Singapura, konsorsium ini juga berencana menyuplai Malaysia. Soal keberadaan famili "Mister Presiden"? Djody menyanggahnya, "Saya nggak mau, lebih baik saya mundur."
Selain itu masih ada sederet nama besar lain. Salah satunya, sebuah perusahaan yang dikabarkan telah merangkul adik seorang menteri ekonomi yang sangat dekat dengan Presiden Megawati. PT Apton Sinergi, perusahaan milik sohib lama Gubernur Riau Saleh Djasit, juga sejak awal mengincar proyek ini.
Tak cuma dari Jakarta, pemain lokal pun ikut turun gelanggang. Gubernur Saleh, yang semula setuju air disedot dari Bintan, belakangan berubah pikiran. Rupanya, ia tengah mengantisipasi desakan cerai dari Kepulauan Riau yang ingin menjadi provinsi sendiri. Sejak Februari 2000 Saleh getol berkampanye memindahkan lokasi dari Bintan ke Sungai Kampar, yang berada di wilayah Riau daratan. Sebuah badan usaha daerah ditunjuknya menjadi pelaksana, berkongsi dengan PT Apton. Namun rencana ini kandas. Jarak Kampar-Singapura kelewat jauh, 287,5 kilometer, dibandingkan dengan Bintan, yang cuma 60 kilometer. Sudah begitu, airnya pun mengandung lumpur dan logam.
Tapi awal Mei lalu mimpi Saleh hidup lagi melalui proposal pemerintah Kabupaten Pelelawan, Riau. Lewat PT Rifa—konsorsium pemerintah daerah—Bueg (Prancis), dan Sumitomo (Jepang), mereka berencana memompa air dari Danau Seerkap, yang berjarak lebih pendek, 147 kilometer. Menurut ketua tim, H.M. Harris, pihaknya berani pasang tarif S$ 0,7 per meter kubik dengan asumsi investasi US$ 800 juta.
Persaingan ketat seperti ini sebenarnya baik. Namun, seperti biasa, mulai muncul cara-cara yang tak sehat. Gerilya lobi di puncak kekuasaan telah mengarah ke kisruh lalu lintas perizinan. Menurut undang-undang otonomi daerah, proyek ini jelas merupakan kewenangan pemerintah kabupaten. Tapi kenyataannya, banyak instansi lain, baik lokal maupun di Jakarta, ikut campur.
Pada 21 Mei 2001, misalnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepulauan Riau, Andi Anhar, meneken rekomendasi untuk PT Daya Karti, yang berbunyi, "Agar Bupati dapat mempertimbangkan pemberian hak dan kesempatan pertama kepada konsorsium PT Daya Karti." Anehnya, hanya tujuh hari berselang, Andi kembali melayangkan katebelece serupa. Kali ini berisi persetujuan Dewan untuk proposal PT Roer. Tak cuma itu, pihak Roer bahkan mengaku telah mengantongi lisensi dari Luhut Panjaitan, saat masih jadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Sayang, tiap kali dikontak, Andi tak dapat dimintai penjelasannya.
Soal simpang-siurnya perizinan ini dibenarkan oleh pejabat di kantor pusat. "Memang, ada yang melobi ke Istana, ada yang langsung ke departemen atau ke pemerintah daerah. Pintunya lain-lain," kata Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Infrastruktur, Jinny Charles Katuuk, tersenyum. Karena itulah, untuk mencegah kesemrawutan, sejak bulan lalu pemerintah membentuk Tim Ekspor Air yang terdiri dari unsur departemen terkait. Selama dua bulan tim ini akan mengkaji berbagai aspek teknis, legal, maupun investasi dari proyek ini. Soalnya, kata Jinny, pemerintah berkepentingan agar program ini gol. Selain dapat menggenjot pendapatan daerah dan menambal kepercayaan investor, proyek prestisius ini juga diandalkan untuk menerobos pembangunan infrastruktur yang lama mandek dihajar krisis.
Karaniya Dharmasaputra, Faisal, Cahyo Junaedi, Jupernalis (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini