Bisnis jual-beli berjalan seperti biasa di Harco Glodok. Namun lebih dari 700 pedagang yang menyewa kios milik Harco Indah dari kelompok Gunung Sewu itu sedang dilanda rasa gundah. Mereka mempermasalahkan pembeli utang Harco Indah yang ikut dijual BPPN dalam program penjualan aset kredit, Juli lalu. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjualnya bersama 2.500 aset kredit yang lain, senilai Rp 185 triliun dan menghasilkan Rp 21 triliun ke kas negara.
Selentingan yang terdengar menyebutkan, aset utang itu sudah dibeli si empunya utang, Harco Indah. "Kami sudah membeli balik," tutur Widianto Taufik, Direktur Harco Indah, kepada sejumlah pedagang saat mengutip uang sewa. Untuk itu, Indokapital Securities, perusahaan yang kabarnya dimiliki mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, bertindak sebagai perantara.
Kalau benar, ini berita menggegerkan. Tidak saja bagi BPPN yang melarang pemilik utang lama membeli kembali kreditnya, juga bagi para pedagang yang berjibaku untuk menebus utang itu. Ada yang berharap, pada akhirnya kios yang rata-rata sudah 20 tahun mereka sewa itu bisa menjadi milik mereka.
Ketua Pengawas Koperasi Harco Pancoran, Yos Budhiyanto, mengatakan bahwa semula memang mereka mengejar bangunan berlantai tiga itu. Mereka berani membeli sesuai dengan harga pasar tanpa diskon sepeser pun. Di belakang mereka, sebuah bank siap mengguyurkan dana sampai 70 persen dari nilai pembelian. Tapi rencana ini buyar karena BPPN tak menjual aset gedung tapi harta berupa utang milik Harco Indah, yang nilai totalnya mencapai Rp 62 miliar.
Bak kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, begitu pula halnya para penyewa kios Harco. Bagi mereka, tak mendapat gedung, beli utang pun oke. Itulah keputusan akhir rapat koperasi yang beranggotakan 140 pedagang Glodok ini. Permohonan lalu diajukan ke BPPN, termasuk melobi sejumlah pejabat terkait agar mereka diberi prioritas. "Kami cuma semut yang tak mungkin melawan gajah," kata Jos menjelaskan lobi-lobinya. BPPN menyarankan kepada mereka agar ikut tender bersama-sama ratusan investor lain yang ikut berlaga dalam program penjualan aset kredit tersebut.
Dipacu semangat maju tak gentar, tender pun dilakoni. Dengan panji-panji perusahaan yang bernama Reka Tiga, para pedagang berani menaksir dengan harga Rp 15,7 miliar. Ternyata mereka kalah. Namun ada sesuatu yang mengganggu perasaan, yakni selisih harga Reka Tiga dengan Indokapital—yang memborong seluruh aset kredit milik Gunung Sewu (lihat tabel)—hanya Rp 100 juta.
Keanehan muncul ketika ternyata pembelian oleh Indokapital itu merupakan hasil penawaran ulang. Bisa diartikan, penawaran pertama perusahaan bermodal disetor Rp 25 miliar ini di bawah harga dasar yang ditetapkan BPPN sebesar Rp 9,7 miliar. Reka Tiga, yang menawar jauh di atas harga dasar, seharusnya menang. Apalagi selisih tipis dengan harga Indokapital tentu mencurigakan. Jangan-jangan untuk memenangkan sang gajah, Indokapital, harga taksiran para pedagang dibocorkan.
Ketua BPPN Syafruddin Temenggung mengatakan, pedagang pernah menyatakan ingin membeli aset kredit milik Harco Indah. Tapi persyaratan BPPN mengharuskan mereka membayar 70 persen dari total utang, atau hanya diskon 30 persen kalau ingin membeli langsung. "Waktu itu mereka bilang tak punya uang, sehingga disarankan ikut tender saja," kata Syaf.
Ketua Forum Komunikasi Usaha Kecil-Menengah, Ibih T.G. Hasan, mengaku kecewa dengan kemenangan Indokapital. Katanya, pundi-pundi negara akan lebih gemuk kalau pedagang jadi membeli gedung. Duitnya digunakan membayar seratus persen utang pemilik lama ke BPPN (asset settlement), sedangkan penjualan model tender hanya menghasilkan 25 persen.
Tentang adanya indikasi "percaloan" itu, tak sekalimat jawaban diperoleh dari Direktur Indokapital Securities, Dendy Kurniawan. Rizal Ramli membantah menjadi pemegang saham di perusahaan itu. "Nggak ada sama sekali, sudah dijual berapa tahun yang lalu," katanya melalui saluran telepon.
Widianto Taufik juga menampik tudingan bahwa ia membeli kembali asetnya. Dia malah balik menuduh para pedagang yang ingin membeli gedung Harco Glodok sebagai orang-orang bermasalah yang tidak mau membayar sewa.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini