Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akhir Mimpi Soeharto itu

Likuidasi PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP) ternyata tak banyak diketahui para pemegang sahamnya. Uang pemegang saham banyak yang tak kembali.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG pekan lalu, loket khusus di cabang utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah di Semarang itu sepi. Tak ada antrean sama sekali. Seorang pria duduk santai sejak pagi di ruangan berpendingin itu. Ia seharusnya melayani pemegang saham PT Dua Satu Tiga Puluh yang akan menguangkan sahamnya. Perusahaan yang didirikan bekas presiden Soeharto itu dilikuidasi sejak April 1999. Kondisi yang sama terjadi di hampir semua cabang BPD Jawa Tengah di berbagai kota lain. Di Jawa Barat, kondisinya tak jauh berbeda. Rupanya tidak banyak yang tahu bahwa saham DSTP sudah bisa dicairkan, walaupun tim likuidasi DSTP memasang iklan di berbagai media sejak April lalu. Informasi memang tak menjangkau kalangan pemegang saham kecil, misalnya pemegang saham dengan nilai nominal Rp 5.000. Sebab, mereka adalah pegawai kecil, guru-guru SD, dan pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah. Informasi pembubaran DSTP hanya diketahui pemegang saham atas nama, yang kebanyakan pengusaha atau pegawai menengah instansi pemerintah. Likuidasi ini dilakukan setelah mayoritas pemegang saham DSTP setuju untuk menutup saja perusahaan yang didirikan bekas presiden Soeharto itu. Rencananya, DSTP akan mendanai proyek jet N-2130 yang diproduksi PT IPTN—pabrik pesawat yang didirikan Menteri Riset dan Teknologi (dulu) B.J. Habibie. Namun, krisis keburu datang. Investasi yang awalnya Rp 5 triliun (US$ 2 miliar) membengkak tiga kali lipat. Celakanya, Dana Moneter Internasional (IMF) belakangan meminta pemerintah tak lagi menyubsidi IPTN. Tanpa topangan pemerintah, rencana ambisius IPTN itu kontan gembos. Tak ada pilihan lain kecuali likuidasi. Meskipun demikian, membagi uang hasil likuidasi yang totalnya mencapai Rp 1,5 triliun ternyata tidak gampang. Bagi pemegang saham atas nama, mungkin tak jadi soal benar. Sebab, hasil pengembaliannya memang lumayan besar. Mereka mendapat Rp 4,1 juta, sementara harga belinya dulu Rp 2,4 juta per lembar, artinya dalam dua tahun untung 62 persen. Dibandingkan dengan bunga deposito tahun lalu, yang 70 persen setahun, keuntungan itu memang tak sepadan. "Tapi, lumayanlah. Sebelumnya, uang itu sudah saya anggap hilang," kata Hendro Utoro, seorang pemegang saham DSTP di Semarang. Sebaliknya, yang dihadapi pemegang saham Rp 5.000 justru kerepotan. Walau saham kecil itu kini bernilai Rp 9.500, dibandingkan dengan ongkos ambil, tentulah tak memadai bagi si kecil. Maka, banyak pemegang saham "gurem" itu yang mengikhlaskan saja sahamnya. Apalagi banyak di antara mereka ternyata tak punya bukti kepemilikan saham. Mengapa? Proses pengurusan yang rumit membuat orang enggan mengurus bukti saham itu. Ketika itu mereka membeli saham secara kolektif dan prosesnya juga panjang. Mereka membayar saham DSTP lewat bendahara kantor atau kepala sekolahnya masing-masing. Dari sana kemudian disetorkan ke pemerintah kabupaten atau kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Ada juga yang jalurnya sampai ke kantor gubernuran. Jika bendahara setempat luput mencatat saham kecil ini, ya, apa boleh buat, kepemilikan hilang menguap begitu saja. Maka, dengan segala kerumitan itu, menurut Dirut BPD Ja-Teng Kamsuri, di cabang utama BPD Ja-Teng, umpamanya, dari 1.522 lembar pecahan saham Rp 5.000 dan 86 lembar saham Rp 2,3 juta, baru lima orang yang mengambil uangnya. Padahal, batas waktu pencairan saham itu habis pekan lalu. Di Jawa Barat, setali tiga uang. Menurut salah satu pejabat bank Ja-Bar, hingga pekan lalu, pemegang saham di Kabupaten Bandung yang sudah menguangkan sahamnya baru 40 persen dari total 4.186 pemegang pecahan saham dan 34 pemegang saham atas nama. Para petinggi DSTP juga sulit ditemui. Mantan presdirnya, Saadillah Mursjid, berkali-kali menolak wawancara. Tapi, menurut Sekretaris Tim Likuidasi DSTP, Hari Sampurno, timnya belum bisa menyimpulkan berapa pemegang saham yang belum mencairkan sahamnya karena tenggatnya tiba Sabtu pekan lalu. "Memang agak sulit karena cakupan pembelinya sangat luas dan jumlahnya sangat besar. Sampai ditutup awal 1999, pemegang saham DSTP 300 ribu orang," katanya. DSTP berawal dari "mimpi" Soeharto tentang rakyat desa yang bangga melihat pesawat buatan IPTN melayang di atas sawah mereka. Maka, Soeharto menghitung, hanya dengan modal Rp 25 ribu dari setiap penduduk, IPTN akan dibuat jadi pesaing pabrik pesawat besar—mungkin dicita-citakan sekaliber Boeing atau McDonnell-Douglas. Waktu akhirnya membuktikan, proyek itu ambruk bersama tumbangnya Soeharto. Korbannya, siapa lagi kalau bukan guru SD, pegawai rendahan, dan rakyat kecil lainnya? Bagaimana DSTP dan Soeharto akan mempertanggungjawabkannya? M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Bandelan Amarudin (Pati), dan Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus