Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Dunia Ikut Mengancam |
ERA Indonesia sebagai good boy di mata lembaga keuangan internasional habis sudah. Skandal Bank Bali adalah tonggak perubahan sikap itu. Setelah Dana Moneter Internasional (IMF), kini giliran Bank Dunia yang mengancam akan menyetop pinjamannya kepada Indonesia. Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Mark Baird, mengatakan, jika penyelesaian kasus Bank Bali tak memuaskan, sulit bagi Bank Dunia ataupun lembaga keuangan multilateral lain untuk meneruskan dukungannya kepada pemerintah Indonesia. ”Ini sikap semua lembaga keuangan multilateral yang membantu Indonesia,” katanya dalam seminar ”1999 Capital Market Conference” di Jakarta, pekan lalu.
Jika ancaman itu benar-benar dilaksanakan, banyak analis yakin bahwa itulah awal krisis ekonomi kedua yang lebih parah, bahkan bisa membawa kebangkrutan negeri ini. Sudah dua tahun ini Indonesia sangat tergantung pada uluran tangan CGI (Consultative Group on Indonesia) dan program pemulihan ekonomi yang diprakarsai IMF. Peranan utang luar negeri Indonesia terhadap APBN terus meningkat. Jika pada 1996-1997 utang luar negeri masih 15,5 persen dari penerimaan dalam negeri, setahun berikutnya sudah menjadi 60 persen. Bisa dibilang, untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan saja, Indonesia nyaris tak mampu.
Karena itu, pemerintah harus serius menyelesaikan skandal Bank Bali itu, walaupun banyak kalangan yang meragukan kasus ini bakal diusut tuntas. Pemerintah memang sudah menunjuk auditor independen PriceWaterhouseCoopers untuk meneliti kasus ini. Kepolisian juga sudah memeriksa sejumlah tersangka, termasuk yang diduga pembobol Bank Bali seperti Joko Soegiarto Tjandra dan bekas pemilik Bank Bali Rudy Ramli. Tapi, naga-naganya, kasus ini akan diberkas menjadi kasus kriminal semata. Padahal, banyak pihak yang menginginkan agar kasus ini terungkap setuntas-tuntasnya, termasuk soal dugaan keterlibatan kalangan dekat Presiden B.J. Habibie. Dan tentulah kejelasan keterlibatan sang Presiden sendiri.
McDermott Kandas di Natuna |
McDermott Indonesia akhirnya kandas dalam usaha mendapat proyek pemipaan Natuna Barat-Singapura. Kamis pekan lalu, Komisi V DPR RI memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan Pertamina untuk membatalkan kontrak yang sudah dimenangi perusahaan patungan Bob Hasan dengan mitra Amerikanya itu. ”Pertamina harus mengikuti rekomendasi ini untuk membuktikan bahwa BUMN itu sudah bebas dari KKN,” kata anggota komisi, Djusril Djusan.
Tapi ada masalah. Jika keputusan batal itu membuat pembangunan proyek pemipaan tersebut terlambat dari jadwal, Indonesia akan terkena penalti. Sebab, proyek pemipaan sepanjang 660 kilometer itu harus selesai pada April 2001. Dan pada 15 Juli 2001, gas sudah harus mengalir ke perusahaan Singapura, Sembawang Gas. Jika lewat dari itu, Indonesia akan didenda US$ 65 juta. Jumlah yang cukup besar untuk kontrak senilai US$ 335 juta. Proyek itu sendiri dimiliki Pertamina bersama konsorsium Conoco-Premier Oil.
Menurut Djusril, ada banyak alasan yang membuat DPR berusaha keras membatalkan kontrak itu. Di antaranya, McDermott ingkar janji soal kandungan lokal yang mesti dipenuhi. Semula, McDermott berjanji akan menggunakan komponen lokal 51 persen. Tapi, menurut penilaian DPR, nilainya cuma 24 persen. Perusahaan itu juga mendapatkan informasi ”dari dalam” soal biaya survei, sehingga bisa memberikan harga yang murah. ”Ini tak biasanya. Dalam proyek sebelumnya, McDermott selalu memberikan harga yang tinggi dan selalu dipakai Pertamina,” ujar anggota komisi yang lain, Priyo Budi Santoso.
DPR mengambil sikap keras itu lantaran Bob Hasan ternyata masih bercokol di McDermott Indonesia. Padahal, sebelumnya selalu dikatakan, Bob Hasan sudah out dari perusahaan itu. Manajer Pengembangan Bisnis McDermott Indonesia, Amir Siregar, mengakui Bob masih punya saham 18 persen. ”DPR tidak fair. Bob punya hak yang sama sebagaimana warga negara lain,” katanya kepada Reuters. Jubir McDermott, Pierre DeGruy, menambahkan bahwa pembatalan kontrak ini akan membuat citra Indonesia tercoreng. Dia juga menolak ada kongkalikong dalam kontrak itu. ”Berdasarkan pengalaman kami, belum ada tender setransparan ini,” katanya. Lalu, siapa yang main?
RUU Telekomunikasi Rampung |
Ada yang berharap-harap cemas menunggu RUU Telekomunikasi diundangkan. Pekan lalu, DPR sudah meneken persetujuannya atas RUU Telekomunikasi, dan tinggal menunggu ketok palu dari presiden. Jika sudah diteken, Undang-Undang No. 3/1989 tentang Telekomunikasi harus diganti. Yang paling dramatis dalam RUU baru itu adalah peluang dihapuskannya monopoli penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar seperti telepon lokal dan sambungan telepon jarak jauh (SLJJ). Jasa itu selama ini dikuasai PT Telkom. Yang juga kena gusur adalah penyelenggaraan jasa telepon internasional (SLI), yang kini dipegang Indosat dan Satelindo.
Menteri Perhubungan Giri Suseno menegaskan, jika RUU itu sudah diundangkan, terbuka kemungkinan bagi swasta untuk masuk ke penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar. Yang mungkin bisa membuat Telkom dan Indosat kerepotan adalah adanya klausul dalam RUU tersebut yang meminta pemerintah mempersingkat masa hak eksklusif yang sudah dinikmati kedua BUMN itu bertahun-tahun. Saat ini, Telkom mendapatkan hak eksklusivitas telepon lokal sampai tahun 2010, dan SLJJ sampai 2005. Sementara itu, Indosat dan Satelindo memperoleh hak eksklusivitas di SLI sampai 2004.
Belum jelas, bagaimana hak itu kelak diatur. Namun, masyarakat sudah lama menanti dihapuskannya hak eksklusivitas ini. Dan selama ini pula, Telkom lebih banyak diuntungkan dengan monopolinya, sedangkan konsumen harus menerima begitu saja kenaikan tarif yang tak diimbangi pelayanan prima, seperti yang terjadi awal tahun ini. Jika monopoli ini dipangkas, seharusnya akan tercipta persaingan bebas yang membuat tarif bisa lebih efisien. Itu teori, dan di negeri ini sudah banyak terbukti bahwa teori jauh melenceng dari kenyataan.
Hashim dan Beban Utangnya |
Pengusaha Hashim Djojohadikusumo membantah dia telah ”mencuri” kas PT Semen Cibinong senilai US$ 200 juta. Menurut pemilik grup usaha Tirtamas ini, uang itu didepositokan di sejumlah bank di luar negeri. Dengan jaminan deposito itu, Hashim kemudian meminjam ke bank-bank tersebut. Salah satu pinjaman itu dipakai untuk membeli saham Bank Niaga melalui anak perusahaannya, Tunasmas Panduarta. Ia yakin, langkahnya tak merugikan orang. ”Saya bukan Eddy Tansil. Semuanya akan saya pertanggungjawabkan,” katanya kepada pers pekan lalu. Menurut catatan TEMPO, tak banyak lagi aset yang dimiliki Hashim yang masih bisa dijual, sementara utangnya terus menggelembung.
Investasi Hashim di Bank Niaga jeblok. Akhir Juli 1997 lalu, dia membeli 40 persen saham Bank Niaga dengan harga Rp 8.000 per lembar. Total jenderal Hashim harus merogoh koceknya Rp 756 miliar untuk membeli saham keluarga Tahija, pemilik lama Bank Niaga. Tapi, apa lacur, krisis melanda Indonesia. Dan saham Niaga turun drastis dalam tempo singkat. Hashim kemudian menjual 35 persen sahamnya dengan harga hanya Rp 250 per lembar.
Kepada wartawan, Hashim mengaku sedang berusaha menjual asetnya untuk menebus uang tersebut. Namun, dia butuh tenaga ekstra. Sebab, ia masih punya tanggungan yang luar biasa besar baik kepada kreditur asing maupun sejumlah bank di dalam negeri. Total utang Semen Cibinong saja sudah US$ 1,1 miliar, sedangkan kewajibannya kepada BPPN atas nama Bank Pelita dan Istismarat mencapai Rp 3 triliun. Belum lagi urusannya dengan Bank Niaga dan Bank Papan Sejahtera. Selain itu, utang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama—juga miliknya—ke bank BUMN masih Rp 1,376 triliun. Hashim, dalam pertemuan pers itu, tidak menjelaskan bagaimana caranya ia menutup semua utang itu. Ia juga tak menjelaskan aset mana yang bakal dilegonya.
Sementara itu, Bapepam sampai kini masih menghentikan perdagangan saham PT Semen Cibinong. Kendati Hashim sudah bertemu dengan Bapepam untuk menjelaskan soal uang US$ 200 juta itu, Bapepam rupanya masih menganggap Hashim belum menjelaskan rencana perusahaannya. ”Manajemen Semen Cibinong menolak memberikan keterangan tentang kepada siapa dan di mana dana-dana itu ditempatkan,” demikian keterangan Bapepam. Hashim, menurut Bapepam, juga menolak memberikan informasi soal perkembangan negosiasi dengan kreditur asing. Jelas benar, putra ekonom Sumitro Djojohadikusumo itu sedang mumet berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo