Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi-aksi yang membuat sesak napas kalangan pers itu dijadikan bahan diskusi dengan tema "Musuh Kebebasan Pers Tahun 2000". Penyelenggara diskusi yang berlangsung di Yogyakarta pada 23 Juni itu adalah organisasi pekerja pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang Yogyakarta. Acara yang sekaligus merupakan pesta ulang tahun kedua AJI ini dihadiri oleh puluhan wartawan lokal.
Hasil diskusi menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap pers merupakan musuh kebebasan pers tahun ini. Gagasan diskusi semula berangkat dari kasus unjuk rasa sekitar 14 orang yang mengaku sebagai warga Dusun Baki, Desa Bokoharjo, Prambanan, dan anggota Front Ummat Islam (FUI) terhadap kantor koran Bernas di Yogya, 30 Mei lalu. Mereka bereaksi atas pemberitaan Bernas tentang peristiwa perusakan mobil milik Bertje Matulapelwa, pelatih Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM), yang dilakukan sekelompok massa. Bertje waktu itu mengunjungi seorang warga di Dusun Baki, khusus untuk menawarkan buku tentang ajaran moral.
Isi lengkap berita itu terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Intinya, menurut pengunjuk rasa, berita tersebut tidak akurat dan, karena itu, dianggap merugikan umat Islam di Dusun Baki. Agaknya, sentimen agama ikut memicu peristiwa itu. Maklum, pengunjuk rasa melihat Bertje sebagai seorang misionaris Kristen. "Reporter Bernas berspekulasi bahwa penyebab kasus itu berkaitan dengan degradasi PSIM," kata Subadhi, Wakil Pemimpin Umum Bernas. Kesalahan fatal Bernas, begitulah menurut Muraad Abu Imarah, Ketua FUI. Dari berita Bernas, terkesan adanya jurus adu domba antara FUI dan pendukung PSIM.
Para saksi mata dari Bernas bertutur bagaimana pengunjuk rasa datang ke kantor mereka dengan wajah marah, lalu menyerbu ke semua ruangan dan memotretnya. "Suasana kerja menjadi terganggu," kata Subadhi. Pengunjuk rasa antara lain menemui Pemimpin Redaksi Sulaiman Ismail dan Pemimpin Umum Haji Kusfandi. Mereka menuntut agar Bernas memuat ralat yang disusun pengunjuk rasa, tanpa perubahan redaksional. Iklan permintaan maaf seperempat halaman diminta agar dimuat di halaman muka selama tujuh edisi berturut-turut. Iklan tersebut juga harus ditayangkan lewat televisi RCTI dan SCTV. Bahkan, Bernas diminta memecat reporter yang menulis berita itu.
Pertemuan berlangsung sekitar empat jam tanpa membuahkan kesepakatan. Pasalnya, menurut Subadhi, pengunjuk rasa memaksakan agar semua tuntutannya dipenuhi. Bernas sendiri hanya bersedia memenuhi sebagian. Tapi pimpinan Bernas kemudian sepakat memuat dua berita, antara lain berjudul Bertje Ternyata Misionaris Kristen, dan permintaan maafsemua berdasarkan naskah pengunjuk rasasehari sesudahnya.
Kasus massa melabrak kantor media juga terjadi pada harian Radar Semarang. Ratusan mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Unissula), akhir Mei lalu, melabrak ke kantor harian itu, yang terletak di Jalan M.T. Haryono, Semarang. Selain berorasi, mereka menggelar spanduk-spanduk yang mengecam berita Radarkoran Grup Jawa Pos. Pasalnya, Radar memuat berita kecelakaan lalu-lintas yang menimpa Dyah Herdina Prasasti, mahasiswi Fakultas Kedokteran Unissula. Dyah, yang mengendarai sepeda motor, telah menabrak sebuah truk dan meninggal di rumah sakit.
Berita kecelakaan yang bisa ditulis dengan teknik sederhana itu, oleh wartawan Radar, ditulis begini: Dyah Herdina Prasasti, 20 tahun, bukannya mencium pacarnya, tapi malah bokongnya. Bukan bokong pacarnya yang dicium tetapi bokong truk trailer, dan seterusnya.
Para pengunjuk rasa menilai berita itu merendahkan martabat korban dan almamaternya. "Kami tidak rela bila orang yang meninggal ditulis dalam koran dengan bahasa picisan. Itu melecehkan," kata Zaki, seorang pengunjuk rasa. Tak cukup dengan protes, mereka mencorat-coret kaca penyekat ruang dan melontarkan kata-kata jorok. Radar Semarang dituntut agar memasang iklan permintaan maaf seperempat halaman, tujuh hari berturut-turut. Setelah kedua pihakmahasiswa dan pihak Radarberdialog, disepakati untuk tidak melanjutkan persoalan itu ke meja hijau. "Kami akhirnya meminta maaf," kata Sukoto, Pemimpin Redaksi Radar. Koran ini juga memuat permintaan maaf pada halaman muka di salah satu edisinya.
Tekanan massa juga dialami Surya Citra Televisi (SCTV). Kantor mereka di Kebonjeruk, Jakarta, pernah didatangi 50 anggota Front Pembela Islam (FPI) Jakarta yang mendesak penghentian penayangan telenovela Esmeralda, awal Mei lalu. Aksi massa dari kelompok pemuda muslim ini dilakukan sebagai protes atas pemunculan tokoh antagonis Fatima yang berkarakter jahat dalam telenovela itu. Tokoh bernama Fatima dianggap melecehkan seorang putri Nabi Muhammad yang mereka hormati. Menghadapi FPI, SCTV tak berkutik. "Kami menghentikan penayangan Esmeralda sejak 8 Mei 2000," kata Budi Darmawan dari Bagian Hubungan Masyarakat SCTV.
Setali tiga uang pengalaman Medan Pos. Kantor koran itu, di Jalan Sutoyo, Medan, awal Mei lalu, didatangi sekitar 50 anggota Gerakan Pemuda Banteng Perjuangan yang berpakaian serba hitam. Mereka menolak isi berita yang mereka anggap salah. Sebelum berbagai aksi yang terjadi sepanjang Mei itu, sejumlah tekanan massa juga pernah dialami media cetak dan media siar di berbagai kota. Kasus paling heboh adalah aksi pendudukan kantor Jawa Pos di Surabaya oleh anggota Barisan Serba Guna yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama.
Mengapa harus terjadi aksi-aksi massa yang dengan keras menentang pers? Menurut Prof. Dr. H.A. Abdul Muis, S.H., pakar hukum komunikasi Universitas Hasanuddin, fenomena itu muncul antara lain karena lemahnya penegakan hukum di tengah masyarakat. Penyebabnya terutama kemerosotan akhlak serta budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggerogoti aparat penegak hukum di Indonesia. "Inilah yang membuat masyarakat ikut-ikutan melanggar hukum, termasuk undang-undang yang mengatur pers," kata Abdul Muis. Pengamatan Abdul Muis ini sejalan dengan fakta pengakuan tokoh FPI. "Ketika supremasi hukum tidak ditegakkan dengan baik, kadang-kadang cara begitu lebih efektif," kata Habib Rizieq, Ketua Umum FPI.
Faktor negatif lainnya adalah ketidakmampuan pers untuk bekerja secara profesional. Akibatnya, berita yang dihasilkan, selain tidak akurat, juga tidak memenuhi prinsip peliputan berimbang. Ini dikemukakan Heru Prasetya, tokoh AJI Cabang Yogya. Setidaknya dua hal mendasar itu sering terlupakan. "Sikap 'tulis dulu, urusan belakangan' dan 'kan ada mekanisme hak jawab' pada prakteknya telah mendorong jurnalis melanggar kaidah penulisan berita," kata Heru.
Tentu akan sangat bijaksana jika pers melakukan introspeksi dan berusaha sungguh-sungguh mengatasi kelemahannya. Memang, introspeksi ini tidak menjamin bahwa aksi kekerasan massa serta-merta berhenti. Namun, jika pers telah bekerja dengan baik dan mematuhi kode etik jurnalistik, sesuai dengan hukum, protes-protes harus disalurkan melalui pengadilan. Setelah itu, sang dewi keadilanlah yang memutuskan apakah pers atau pengunjuk rasa yang bersalah.
K.M.N., R. Fadjri (Yogya), Bandelan Amaruddin (Semarang), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo