Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MPR Swasta dari Kuta?

Para cendekiawan dan aktivis berkumpul di Bali. Kenapa kalangan parlemen memandang curiga? Kenapa isu KKN Istana tak diutik?

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN Senayan, lain lagi lakon di Kuta. Digedung DPR, Presiden Abdurrahman Wahid "digugat". Kamis pekan lalu, dua pertiga anggota parlemen—332 suara—meloloskan hak interpelasi soal pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari kabinet. Suasana di Bali sungguh lain. Sabtu kemarin, ketika menghadiri penutupan Forum Rembuk Nasional, Abdurrahman justru disambut tepuk tangan meriah. Selama dua hari, 200 lebih tokoh masyarakat—kebanyakan aktivis lembaga swadaya masyarakat dan cendekiawan terkemuka dari berbagai bidang—mendiskusikan nasib negeri yang kian mencemaskan ini. Menurut seorang penggagasnya, ekonom Faisal Basri, forum ini lahir dari keprihatinan atas berbagai perkembangan yang tidak produktif. Angka indikator ekonomi yang sempat menanjak penuh harapan pada awal pemerintahan Abdurrahman kini terus menukik menuju titik nadir. Tawar-menawar politik yang sarat dengan kepentingan sesaat adalah salah satu penyebabnya. Karena itulah, katanya lagi, suatu konsensus minimum perlu diupayakan: memprioritaskan agenda yang langsung berkait dengan kemaslahatan orang banyak ketimbang perebutan kekuasaan semata. Sayang, perhelatan semiliar rupiah ini pada akhirnya cuma menyajikan semacam daftar menu panjang tanpa fokus. Sudah begitu, "menu" yang disodorkan tergolong basi alias sudah terlampau sering disodorkan forum sejenis lainnya. Meski begitu, bukan tak ada yang penting dicatat. Di sektor politik, misalnya. Praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara mencetuskan pembentukan sebuah komisi negara yang melibatkan pakar independen untuk menyusun ulang konstitusi. Ini penting agar proses amendemen Undang Undang Dasar 1945 tak disusupi kepentingan politik sesaat—risiko jika penyusunan ulang UUD itu dipasrahkan ke para politisi saja. Ada juga desakan agar parlemen menunda proses rekrutmen hakim agung—mestinya rampung 5 Juli depan—mengingat prosesnya yang tak cukup transparan. Juga ada gugatan Sekretaris Eksekutif INFID, Binny Buchori, terhadap compang-campingnya penanganan nasib jutaan pengungsi yang jumlahnya terus meningkat itu. Poin penting lain adalah desakan untuk segera menarik garis pemisah dengan segala kebobrokan masa lalu. Hanya dengan komitmen untuk melakukan diskoneksi inilah, kata Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik Budiman Soedjatmiko dan pakar politik Vedi Hadiz, agenda reformasi bisa dijamin. Yang menarik, hampir berlawanan dengan lakon di Senayan, titik berat kritik di forum ini tidak diletakkan pada performa Presiden Abdurrahman. Hampir tak ada rekomendasi yang menyentuh soal yang tengah dibicarakan ramai DPR seperti skandal Bulog, sumbangan Sultan Brunei, interpelasi, dan kasus penahanan Syahril Sabirin. Isu-isu KKN di sekitar Istana seperti luput dari perhatian. Dukungan untuk Abdurrahman bahkan terdengar dari suara para aktivis yang kerap berteriak kritis. Salah satunya muncul dari Budiman Soedjatmiko. Mantan tahanan politik ini menyatakan bahwa mempertahankan duet Abdurrahman-Megawati adalah pilihan terbaik demi terjaganya titik imbang Republik. "Saya tidak bisa membayangkan konflik sosial yang akan terjadi jika Gus Dur diturunkan," katanya. Hal senada datang dari Direktur Walhi Emmy Hafild. Di luar segala kekurangannya, menurut Emmy, Abdurrahman adalah figur yang komitmennya pada demokrasi, pluralisme, dan antidiskriminasi belum tertandingi. Pro-Istana, begitu kecurigaan yang meruap dari rembuk di Kuta itu. Hal ini diakui Faisal Baasir, Ketua Partai Persatuan Pembangunan. Bagi sementara kalangan partai, katanya lagi, rembukan ini dirancang sebagai sauh Presiden Abdurrahman mengarungi badai tekanan menjelang sidang tahunan Agustus depan. "Lihat saja, yang diundang kebanyakan pendukung Gus Dur," kata Ade Komaruddin, motor interpelasi dari Fraksi Golkar. Bahkan ada juga yang memosisikannya sebagai upaya menandingi majelis. MPR swasta, begitu julukan yang disebut orang-orang parlemen. Tudingan yang agak berlebihan itu sejak awal dibantah Wimar Witoelar, motor perhelatan ini. "Forum ini sama sekali tidak punya agenda politik tertentu," katanya. Bahkan, setengah berkelakar, peneliti LIPI Hermawan Sulistyo memelesetkan FRN menjadi Forum Rekreasi Nasional. Pada akhirnya, imbauan dari Nurcholish Madjid perlu dicermati. Menurut dia, jika ditimbang sisi manfaat dan mudaratnya, benar Presiden Abdurrahman perlu dipertahankan. Tapi, cara terbaik untuk itu adalah justru dengan "mengepung" dan senantiasa mengkritiknya. Yang juga perlu dipikirkan: bagaimana kalau Presiden tak juga "mempan" dikritik? Karaniya Dharmasaputra (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus