Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha dari Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) mendorong agar pemerintah menerapkan tarif balasan resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia sebagai solusi jangka pendek perdagangan yang lebih adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau mereka kenakan tarif tinggi, kita pun perlu menyesuaikan. Tarif dibalas tarif. Tapi juga jangan lupa opsi lain seperti menurunkan tarif untuk produk AS agar terjadi keseimbangan,” kata Sekretaris Jenderal GIAMM Rachmat Basuki di Jakarta, Ahad, 6 April 2025, seperti dikutip dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalangan pengusaha, kata Basuki, khawatir atas dampak kebijakan tersebut terhadap industri komponen otomotif nasional. Oleh sebab itu, GIAMM menilai perlu adanya langkah strategis pemerintah dalam menyikapi situasi ini, mengingat ekspor komponen otomotif nasional ke Amerika Serikat saat ini menempati posisi kedua terbesar setelah Jepang.
"Ini tentu berdampak besar bagi industri kita, karena sebelumnya tarif masuk ke AS relatif kecil. Sementara produk Amerika yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi," tutur Basuki.
Tak hanya itu, GIAMM juga menyoroti potensi banjir produk komponen otomotif dari Cina ke pasar Indonesia akibat kebijakan dagang AS terhadap negara tersebut.
Sebagai solusi, selain mengenakan penyesuaian hambatan tarif, GIAMM mendorong penerapan hambatan nontarif seperti kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Standar Nasional Indonesia (SNI) guna melindungi industri nasional dari serbuan barang impor yang tidak kompetitif secara kualitas dan harga.
GIAMM juga mengajak pemerintah untuk terus memperkuat diplomasi dagang dengan negara-negara mitra dan memastikan industri nasional mendapatkan perlindungan yang memadai, agar tetap tumbuh dan berkontribusi pada perekonomian.
.
“Meski ada tantangan, kami tetap optimistis. Pasar Amerika masih terbuka. Selama tarif yang dikenakan terhadap Cina tidak lebih rendah dari kita, produsen dalam negeri masih punya peluang untuk bersaing.” tutur Basuki.
Presiden AS Donald Trump pada Rabu lalu, 2 April 2025, telah mengumumkan kenaikan tarif sedikitnya 10 persen ke banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terhadap barang-barang yang masuk ke negara tersebut. Menurut unggahan Gedung Putih di Instagram, Indonesia berada di urutan ke delapan daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.
Adapun sekitar 60 negara bakal dikenai tarif timbal balik separuh dari tarif yang mereka berlakukan terhadap AS. Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia bukan negara satu-satunya di kawasan Asia Tenggara yang menjadi korban dagang AS. Selain itu ada Malaysia, Kamboja, Vietnam serta Thailand dengan masing-masing kenaikan tarif 24 persen, 49 persen, 46 persen dan 36 persen.