Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya memutuskan tujuh perusahaan yang mengimpor garam pada 2015 tidak terbukti melakukan praktik kartel atau persaingan usaha tidak sehat. Keputusan ini diambil karena salah satu unsur tak terpenuhi yaitu unsur mempengaruhi harga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Salah satu unsur tidak terpenuhi. Maka dalam perkara garam dinyatakan, terlapor tidak bersalah,” kata anggota majelis sidang Guntur Syahputra Saragih saat ditemui usai mengikuti sidang putusan di Gedung KPPU, Jakarta Pusat, Senin malam, 29 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Unsur-unsur tindakan kartel dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan temuan majelis, kata Guntur, tak ada kesamaan dalam kenaikan harga dari para perusahaan ini. Selain itu, perjanjian yang dilakukan ketujuh perusahaan tidak menyebabkan kenaikan harga yang signifikan bagi konsumen. Lalu, kenaikan harga masih dianggap dalam batas normal karena harus memasukkan faktor inflasi.
Adapun tujuh importir garam yang jadi terlapor dalam perkara itu , PT Garindro Sejahtera Abadi (terlapor 1); PT Susanti Megah (terlapor 2); PT Niaga Garam Cemerlang (terlapor 3); PT Unichem Candi Indonesia (terlapor 4); PT Cheetham Garam Indonesia (terlapor 5); PT Budiono Madura Bangun Persada (terlapor 6); dan PT Sumatraco Langgeng Makmur (terlapor 7).
Meski demikian, majelis hakim menyatakan kebutuhan kuota impor garam tidak melalui perhitungan yang riil dan akurat. Sebab, kuota yang diberikan terbukti tidak sesuai dengan realisasnya. Adapun kuota ini didapat importir setelah melampirkan daftar konsumen yang akan membeli garam mereka, kemudian melaporkannya ke Kementerian Perindustrian.
Keterangan ini dibenarkan oleh salah satu importir garam, PT Susanti Megah. Kuasa hukum Susanti Megah mengatakan perusahaan harus melampirkan Purchase Order (PO) saat mengajukan kuota impor. PO merupakan semacam bukti pemesanan dari perusahaan yang membutuhkan garam. “Misalnya dari Ajinomoto, Indofood, dan lain-lain,” ujarnya.
Namun demikian, Sutrisno menyebut penentuan besaran kuota tetap ditentukan dalam rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kuota impor diberikan untuk mengatasi kelangkaan garam industri di tahun 2015. “Ini adalah pabrik kartel yang difasilitasi pemerintah, jadi tidak bisa dituntut,” kata Sutrisno di tempat yang sama.