MAJU terus pantang mundur. Ungkapan ini cocok untuk dua anak perusahaan Mantrust yang bergerak dalam bidang persusuan, Tirta Amerta Agung (TAA) dan Nandhi Amerta Agung (NAA). Sudah sejak empat tahun lalu, dua Amerta ini jungkir balik mempertahankan keberadaannya, karena utang-utangnya. Kabar tak sedap itu juga yang disampaikan oleh Direktur NAA, Adhikumara, dan Direktur TAA, Hartuti, dalam sidang DPRD Jawa Tengah, dua minggu lalu. Biarpun gagal, mereka akan bertahan dan sedapat mungkin melanjutkan usahanya. Tekad membaja ini dipompakan oleh Presiden Soeharto kepada Direktur Utama Mantrust, Teguh Sutantio, ketika yang disebut terakhir ini melaporkan kegagalan Amerta, akhir Desember lalu. TAA didirikan tahun 1985. Tujuannya sungguh mulia, yakni mengembangkan industri susu melalui koperasi. Industri pengolah susu segar itu dikembangkan untuk menyerap kelebihan susu di Jawa Tengah, yang selama ini tak tertampung. Ketika TAA sudah berdiri, kelebihan pasok itu berbalik menjadi kekurangan karena kapasitas TAA cukup besar -- sampai 150.000 liter susu segar tiap hari. Untuk mengatasinya, Mantrust -- pemegang 50 persen saham TAA -- mendirikan Nandhi Amerta Agung (NAA), sebuah proyek perusahaan inti rakyat (PIR) persusuan. Untuk itu, didatangkan 12 ribu ekor sapi perah dari Amerika yang dibagi pada 200 plasma. Presiden Soeharto amat mendukung kegiatan ini. Tak heran bila Presiden menghendaki kedua Amerta itu dipertahankan. Ternyata, NAA banyak berutang bukan karena manajemen keuangannya tak becus, tapi gara-gara salah pilih sapi. Sapi Amerika yang 12.000 ekor itu ternyata biasa melahap jagung, sedangkan di sini disodori rumput gajah. Akibatnya, produksi susu segar sapi-sapi Amerika itu hanya 3 sampai 4 liter, seperenam dari tingkat produksi di negeri asalnya. Kerugian bertambah karena dua tahun lalu berjangkit wabah penyakit antraks. Kini jumlah sapi tinggal 1.800 ekor, itu pun hanya 500 ekor yang menghasilkan susu. Lain halnya TAA. Perusahaan ini diganduli utang bukan karena produksinya kurang, tapi justru karena susu bubuknya tak semua laku dijual ke industri pengolah susu seperti Dancow, Nestle, atau Indomilk. Harganya tergolong tinggi, kualitasnya belum memenuhi standar. Akibatnya, TAA tak sanggup membayar Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), yang seperti NAA, juga menyetor susu segar kepadanya. Utang TAA pada GKSI Jawa Barat dan Jawa Tengah, sampai tahun lalu, sudah mencapai Rp 3,6 milyar. Sementara utang NAA Rp 3,474 milyar, termasuk di dalamnya sewa tanah, retribusi Pemda, dan biaya penggusuran balai desa. NAA juga berutang Rp 33 milyar pada lembaga keuangan Belanda yang dulu dipakai untuk mendatangkan sapi. Sesak dibelit utang, kedua Amerta lalu menghentikan kegiatannya sejak Oktober lalu. Tapi, berkat saran Pak Harto, utang itu pun secara bertahap mulai dilunasi. Menurut koordinator umum TAA Sayoto, utang TAA sudah lunas 11 Januari lalu. NAA tak ketinggalan. "Utang kami selesaikan sampai Juli 1992," ujar Direktur NAA, Adhikumara. Belajar dari kegagalannya, kini TAA mau mencoba PIR gaya baru. Mulai Juli depan, NAA akan mendatangkan 1.000 ekor sapi dari Selandia Baru, yang secara bertahap akan ditambah sampai 8.000 ekor. Sapi ini makanannya rumput, cocok dengan "menu" yang tersedia di Indonesia. Diah Purnomowati, Bandelan Amarudin, dan Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini