Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ancaman Baru bagi Pers

RUU tentang pers yang akan dibahas di DPR Oktober mendatang terlalu sarat dengan hukuman. Akan diperbaiki, tapi ancaman RUU terbesar justru datang dari Perpu No.2/1998.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAKKAH menjadi wartawan setelah reformasi bergulir? Dari segi keleluasaan menulis berita, mungkin ya. Tapi "ancaman" yang kini harus dihadapi berbeda. Tuntutan dari sumber berita, misalnya, adalah ancaman serius yang harus diantisipasi setiap wartawan. Sekarang saja trend somasi atau tuntutan yang ditujukan kepada pers sudah mulai menggejala. Majalah Tajuk atau tabloid Detak, contohnya, sekarang sedang dipermasalahkan secara hukum oleh sumber berita yang merasa dirugikan oleh pemberitaan mereka.

Inilah agaknya risiko dari kebebasan pers yang sekarang tengah dinikmati pers. Pemerintah memberi kemudahan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) tapi pers sendiri juga mesti siap menghadapi ancaman lain yang bukan tak mungkin membuat media mati. ??Misalnya majalah Tajuk yang digugat Kodam Jaya dalam jumlah besar. Kalau dikabulkan itu sama saja dengan membangkrutkan perusahaan. Artinya media itu mati, sama saja dengan dicabut SIUPP-nya,?? ujar Ketua Komite Reformasi Media, Ulil Abshar Abdalla.

Menurut Guru Besar Komunikasi dan Hukum Universitas Hasannuddin, Andi Muis, angin reformasi yang menghembuskan kebebasan pers memang belum sepenuhnya memberi kekebasan. Ini terlihat jelas dalam draft Rancangan Undang-Undang tentang pers yang akan dibahas Oktober mendatang di DPR. Dalam rancangan itu banyak pasal yang memberikan sanksi-sanksi administratif, pidana kurungan maupun denda dalam jumlah besar jika terjadi pelanggaran pers. Dalam beberapa pasal tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif yang terdapat dalam draft RUU memang disebutkan denda maksimal yang berkisar Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.

Sidang pleno Dewan Pers 10-11 September lalu pun sepakat bahwa RUU ini terlalu sarat dengan hukuman. ??Pelanggaran kode etik atau kasus-kasus lainnya tidak perlu sampai ke pengadilan, yang menegur biar Dewan Pers saja. Sanksi hukum sebisa mungkin merupakan alternatif terakhir,?? kata Sekjen PWI yang juga anggota Dewan Pers, Parni Hadi.

Dewan Pers juga menghendaki agar wartawan tidak dihukum karena pekerjaannya. ??Kita memperjuangkan there?s no jail for journalist. Kalau wartawan mencuri ya dihukum, tapi kalau karena profesinya kita upayakan tidak ada,?? kata Parni.

Menteri Penerangan Yunus Yosfiah kabarnya juga sependapat dengan gagasan itu. Cuma, kalau menyimak pendapat Dirjen Pers dan Grafika, H.Dailami, ide itu harus dirumuskan dengan tepat agar jangan sampai ada kesan wartawan itu kebal hukum. Karena itu Dailami juga menyodorkan pemikiran untuk memberi rambu-rambu hukum yang akan membatasi keleluasaan wartawan. "Adanya aturan justru memberi batasan yang jelas bahwa wartawan itu bukan manusia super. Malah sebetulnya karena intelektualitasnya serta posisinya dalam pembentukan opini publik, wartawan mempunyai tanggung jawab lebih,?? katanya.

Menurut Muis, pekerjaan wartawan itu memang tidak sama dengan pekerjaan biasa. Justru karena itu UU Pers perlu memberi perlindungan pidana dan khusus. Pekerjaan wartawan, katanya, sangat bertalian dengan kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi. ??Kepentingan itu sama dengan makan dan berpakaian. Wartawan harus dilindungi dalam menyajikan informasi, kayak membagi-bagikan sembako. Jadi tidak boleh dilarang, apalagi dipukuli. Harus berat itu hukumannya bagi orang yang menganiaya, merampas peralatan wartawan, dan sebagainya,?? kata Muis, yang kini tengah ditugasi Dewan Pers menyusun draft RUU yang akan diceramahkan di Jakarta akhir bulan ini.

Dalam draft yang disusunnya, Muis juga mengalihkan ancaman denda dan hukuman berat yang dulu ditujukan untuk menekan pers kepada penguasa. Dalam draft VII disebutkan bahwa barangsiapa sengaja menyelewengkan peranan media massa diancam denda maksimal Rp 1 miliar dan atau pidana kurungan maksimal empat tahun.??Pasal itu kita alihkan saja kepada penguasa. Kalau penguasa mencekal kebebasan pers, mereka menyalahgunakan kekuasaan, dan kena pasal itu,?? kata Muis.

Dengan Menteri Penerangan yang kata Ulil, ??baik dan cepat menyerap aspirasi masyarakat,?? agaknya draft RUU Pers ini masih terbuka terhadap beberapa koreksi dan pasal-pasal tambahan. Kendala besarnya justru pada Perpu No. 2/1998 yang sepertinya menerapkan sensor pers. ??Kalau DPR sampai ceroboh menerima Perpu No. 2/1998 itu berarti membabat seluruh reformasi di bidang pers. Artinya itu lebih jahat lagi,?? Muis mengingatkan. Bagaimana DPR?

(Gabriel Sugrahetty, Dwi Wiyana, Andari Karina Anom)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus