Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Jakarta yang mengendarai mobil pribadi di tengah kemacetan pagi atau sore hari hampir pasti menyetel radio. Itu bukan karena mereka terpaksa mencari hiburan di tengah kemacetan. Justru lewat radio mereka dituntun mengetahui mana jalan yang macet dan mana jalur alternatif--kalau ada. Di sela-sela itu, kebanyakan radio juga mengudarakan acara bincang-bincang (talk show), salah satu program siaran kata (informasi) yang digemari.
Sejak sebulan lalu, radio swasta tak lagi wajib merelai semua siaran berita dari RRI, yang dulu 13 kali dalam sehari. Kini kewajiban relai itu cuma tiga kali sehari. Ini memaksa jurnalisme di radio swasta berkembang. "Era radio yang cekikikan sudah berlalu. Sekarang era talk show," kata pendiri Forum Wartawan Radio (Fowar) serta produser berita dan talk show di Trijaya FM , Nilwan Meiryanus. Dan era baru ini disambut serius. Fowar, yang didirikan April lalu, misalnya, menggelar pelatihan jurnalistik selama dua minggu dan mendatangkan pengajarnya dari Canada Broadcasting Corporation.
Wartawan radio pun sekarang tampil dengan "senjata" lengkap. Bahkan, RRI Pro 2 FM--yang dikelola pemerintah--larut dalam persaingan ini. Senin dua pekan lalu, wartawan Pro 2 FM mewawancarai langsung Jeffrey Winters, pengamat sosial politik Indonesia dari North Western University, Illinois, AS, melalui telepon. "Kami melengkapi tiap reporter dengan tape, telepon genggam, dan kendaraan," kata Manajer Program Pro 2 FM, Jodi Manuju. Jadi, jangan heran jika dalam suatu peristiwa, reporter cukup menyodorkan telepon genggam kepada narasumber, dan pendengar radio seketika itu juga langsung mendengarnya. "Dulu kami dipandang sebelah mata. Tapi kami bisa menunjukkan bahwa kami punya keberanian dan bisa melakukan wawancara langsung. Misalnya, saat Garuda jatuh di Medan, kami membuat siaran langsung mengenai perkembangan evakuasi dan pencarian korban. Dari situ image reportase radio mulai dihargai," kata reporter Sonora, Yudi.
Menurut Jodi, mengutip data survei yang dilakukan lembaga riset SRI-AC Nielsen, siaran kata (berita dan sejenisnya) di Pro 2 FM didengar rata-rata oleh 600 ribu orang, sedangkan program musik hanya 400 ribu orang. Begitu pula di Radio Safari FM, yang kini tampil lebih "berani". Majalah Far Eastern Economic Review yang berbasis di Hong Kong, dalam edisi 17 September 1998, sampai menyebut Safari sebagai radio informasi.
Menurut Nor Pud Binarto, yang ketika ditemui TEMPO dua pekan lalu memperkenalkan diri sebagai direktur program radio tersebut, siaran kata di Safari berhasil menggaet komunitas tersendiri. Ia mengklaim acara Wargian (Warung Kepagian), yang disiarkan setiap pagi, termasuk acara papan atas di Jakarta. "Safari ini menjadi semacam gerakan politik prodemokrasi. Implikasinya, kalau ada demonstrasi di lapangan dan kami merasa perlu merepresentasikan demonstrasi, kami liput totally live. Kami sedang mengembangkan apa yang disebut public hearing," katanya.
Sayang, cita-cita Nor Pud harus kandas di tengah jalan. Pada 28 September lalu, Nor Pud diberhentikan dari pekerjaannya. Ia dipecat justru karena mengubah orientasi radio dari bisnis ke politik, yang ternyata menarik peminat dalam situasi sekarang ini.
Rupanya, tak semua orang menyukai jurnalisme radio yang kini dikembangkan. "Kalau saya cermati, hampir semua radio itu mengembangkan sikap play up, membesar-besarkan, bahkan melebih-lebihkan masalah," kata guru besar komunikasi dari Universitas Indonesia, Astrid Soesanto. Sikap seperti ini dianggapnya bergaya Amerika, yang melulu berorientasi pada pasar. "Saya agak kaget juga kenapa kita jadi American-styled. Dulu enggak terlalu," kata Astrid, yang mengaku beraliran kontinental dan menganggap BBC sebagai contoh radio yang baik.
Teorinya, kata Astrid, radio mestinya play down, yang berarti harus mempertanggungjawabkan secara moral setiap kata yang disiarkan. "Sekarang tergantung pers (radio) sendiri, apa mereka mau membangun responsible journalism atau tidak," ujar Astrid.
Wicaksono, Ardi Bramantyo, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo