SEHABIS berdebat lebih setahun, akhirnya mayoritas DPR Amerika
Seriat menyetujui General Service Administration (GSA)
melepaskan cadangan timahnya sebanyak 35.000 ton. Masing-masing
5.000 ton untuk iuran AS untuk cadangan penyangga Dewan Timah
Internasional (ITC) dan 30.000 ton untuk pasaran bebas. Dengan
itu diperkirakan AS akan memperoleh tambahan penghasilan sekitar
$ 560 juta.
Tak banyak memang. Tapi dalam konomi yang serba sulit seperti
sekaang, Presiden Jimmy Carter toh menyambutnya dengan gembira
keputusan Congress dari Bukit Capitol itu. Tapi buat negara
produsen, terutama yang tergolong negeri berkembang, tindakan AS
itu, bila ternyata jadi dilaksanakan, akan terasa menyakitkan.
"Ini kabar buruk bagi pasaran timah internasional," kata Dir-Ut
PT Timah A. Rachman Ramli pekan lalu.
Sekalipun cadangan itu biasanya tak akan dilempar secara
sekaligus, tapi bertahap, toh pasaran timah yang lagi baik itu
dikuatirkan bisa terganggu. Buktinya, pasaran sempat anjlok
sehari begitu ada kabar tadi. Hari itu, 3 April lalu, di bursa
Penang harga timah dari M$ 1.935 menjadi M$ 1.915 per pikul.
Untung selang beberapa hari menjadi normal kembali.
Menghadapi ancaman GSA itu Indonesia sebagai produsen timah
ketiga di dunia tak sendirian. Dalam pertemuan di London 18
April ini direktur pemasaran Sirman Widiatmo dari PT Timah akan
duduk berdampingan dengan wakil-wakil dari Bolivia, Malaysia,
Muangthai dan negara produsen lainnya. Dan Juli nanti di kota
yang sama ada sidang pleno ITC untuk membicarakan peninjauan
kembali harga lantai dan harga plafon timah dewasa ini, seperti
diusulkan Menteri Industri Utama Malaysia Paul Leong. Alasannya
"Makin tingginya biaya produksi dan semakin sulitnya penambangan
timah di seluruh dunia."
Itu diucapkan Menteri Leong ketika menerima Menteri Pertambangan
Bolivia Brigjen Jorge Echazu di Kuala Lumpur pekan lalu. Bolivia
yang amat tergantung dari timah tampaknya tak sabar menunggu
penyesuaian harga batas timah itu sampai Juli nanti. Dan
mendesak agar penyesuaian itu dilakukan sekarang juga.
Menteri Echazu yang juga singgah di Bangkok, kemudian terbang ke
Australia, produsen timah juga. Tapi yang ke Indonesia adalah
Menteri Muda Pertambangan Bolivia, Alvaro Ugalde yang Senin
kemarin menemui Menteri Pertambangan Subroto di kantornya. Efek
dari, ancaman pelepasan oleh GSA itu memang belum terasa benar,
namun Ugalde mengakui perusahaan timah negara di negerinya kini
lagi mengalami "defisit" katanya.
Bagi Bolivia yang penting adalah ini: tak cocoknya harga timah
sekarang. Harga lantai yang disetujui ITC sejak Juli tahun lalu
adalah M$ 1.350 per pikul (60,48 kg) dan harga plafon M$ 1.700
per pikul. "Biaya produksi di Bolivia sudah naik 30%," kata
Jorge Echazu di KL. Besarnya kenaikan biaya produksi timah di
Bolivia karena negeri itu -- berbeda dengan Indonesia dan
Malaysia misalnya -- tak memiliki tambang terbuka yang dekat
pantai. Bijih-bijih timah di sana harus digali dari terowongan
di perut gunung dan jauh dari pantai.
Bisa dimengerti kalau di London tahun lalu Bolivia berkeras
mendesak agar harga lantai timah dipasang M$ 1.500 per pikul dan
harga plafon tetap M$ 1.700. Tapi ditolak AS waktu itu.
Indonesia, seperti juga dalam OPEC, tidak tergolong kelompok
yang bersuara keras. Meski begitu timah ini membawa uang yang
lumayan juga untuk Indonesia. Realisasi sementara nilai
ekspornya selama April-Agustus 1978 mencapai US$ 108,3 juta,
28,6% lebih besar dari periode empat bulan yang sama tahun
anggaran sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini