SETELAH lebih dua tahun terakhir ini tidak mengalami
penyesuaian, maka sejak 5 April 1979 berlaku harya BBM baru.
Pada akhir 1978, kecuali untuk minyak diesel dan minyak bakar,
harga riil BBM, yaitu dengan memperhitungn inflasi, berada jauh
di bawah harga riilnya akhir 1970. Bila selama 1979 ini laju
inflasi mencapai 20%, pada akhir 1979 harga riil bensin super,
premium, minyak diesel dan minyak bakar mendekati atau melampaui
harga riilnya akhir 1970. Harga riil minyak solar 32% lebih
rendah dan harga riil minyak tanah 56% lebih rendah dari harga
riilnya pada akhir 1970.
Alasan penyesuaian harga BBM tahun ini disampaikan secara cukup
jelas oleh pemerintah, dan tampaknya dapat diterima, sedikitnya
dimengerti oleh masyarakat banyak. Tapi itu tak berarti dalam
menyesuaikan harga tidak dijumpai pilihan-pilihan yang sulit dan
rumit.
Sebagai pengganti pembentukan harga oleh kekuatan pasar, harga
BBM ditetapkan dan disesuaikan oleh pemerintah. Di sini
pemilihan kriteria merupakan dilema. Di satu pihak penyesuaian
harga perlu mempertimbangkan perubahan daya beli konsumen agar
terjamin peningkatan kesejateraan dan mutu hidup masyarakat. Di
lain pihak perlu dipertimbangkan pula perubahan biaya produksi
agar terjamin kelangsungan dan kelancaran penyediaan bahan bakar
yang penting itu.
Masalahnya, kedua laju perubahan di atas jarang terjadi secara
selaras karena masing-masing dipengaruhi faktor-faktor yang
berbeda. Pilihan menjadi sulit bila biaya produksi meningkat
lebih cepat daripada daya beli konsumen. Situasi inilah yang
dihadapi dalam perumusan penyesuaian harga BBM tahun ini. Tapi
karena pemerintah dapat menetapkan harga BBM, padanya tersedia
instrumen kebijaksanaan, justru untuk dipakai guna mengatasi
dilema jenis I ini.
Pemberian bobot dalam menimbang pilihan-pilihan diisyaratkan
oleh arah Repelita III, di mana usaha-usaha pembangunan akan
semakin mempertegas wajah keadilan sosial. Penyesuaian harga BBM
tahun ini mencerminkan asas ini, khususnya yang menyangkut harga
minyak tanah.
Mitos
Meningkatnya pemberian subsidi untuk konsumen minyak tanah
merupakan realisasi asas di atas. Harga penjualan resmi minyak
tanah yang dipertahankan sebesar Rp 18 per liter merupakan 30%
dari harga pokok Pertamina (rata-rata) sekitar Rp 60 per liter.
Selisihnya, sebesar 70% merupakan subsidi.
Dalam suatu welfare state seperti negara Pancasila, subsidi
merupakan instrumen kebijaksanaan sosial yang sah. Walaupun
demikian instrumen ini tidak bisa digunakan tanpa batas. Subsidi
BBM yang tinggi merupakan tekanan terhadap anggaran pemerintah
(APBN). Dalam tahun anggaran 1979/80 ini subsidi BBM akan
mencapai sekitar Rp 410 milyar, yaitu hampir sebesar anggaran
pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
sosial yang berjumlah Rp 450 milyar.
Pertimbangan dari sudut APBN bukanlah yang harus diutamakan.
Setiap pengeluaran melalui anggaran pemerintan tentu mempunyai
tujuannya sendiri, tergantung dari pemberian prioritas. Hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 1976 menunjukkan 85 hingga
90% minyak tanah dikonsumsikan sektor rumah tangga, dan 50% dari
jumlah itu dikonsumsikan 72% penduduk berpenghasilan rendah (di
hawah Rp 5.000 per kepala sebulan).
Tapi harga minyak tanah yang ditekan rendah bisa menjadi
insentif yang mendorong laju konsumsinya ke arah pemborosan. Di
sini terletak dilema jenis II. Selama periode 1970-77 konsumsi
minyak tanah per kepala meningkat dengan 7,7% rata-rata per
tahun.
Kenaikan harga BBM umumnya dan harga minyak tanah khususnya
memang mempengaruhi biaya hidup masyarakat. Tapi nampaknya ada
mitos bahwa kenaikan harga BBM akan segera diikuti dengan
melonjaknya harga-harga barang dan jasa. Data-data dari periode
Desember 1969 hingga April 1977 menunjukkan bahwa setiap 10%
kenaikan harga minyak tanah mengakibatkan inflasi sebesar 0,45%
dalam bulan di mana kenaikan itu terjadi.
Dapat diperkirakan sebagian dari inflasi tersebut bersumber pada
antisipasi kenaikan harga-harga yang berlebihan. Karena harga
BBM ditetapkan dan diusahakan untuk sedapat mungkin
dipertahankan oleh pemerintah maka tertanam taksiran di
masyarakat bahwa kenaikan harga BBM memang akan menimbulkan
lonjakan harga-harga. Di sini dijumpai dilema jenis III.
Orang mengantisipir reaksi orang-orang lain yang juga
mengantisipir inflasi dan bila setiap orang berbuat yang sama
maka antisipasi akhirnya menjadi kenyataan. Ini bukan hanya
berlaku untuk Indonesia. Pengalaman Amerika Serikat menunjukkan
seketika wage and price control dihapuskan (terakhir tahun 1971)
segera terjadi lonjakan harga-harga. Berakhirnya masa transisi
sehubungan dengan Kenop-15 juga memperlihatkan gejala yang sama.
Struktur harga BBM ternyata penting diperhatikan dalam
kebijaksanaan penyesuaian harga BBM. Sebagian besar jenis-jenis
BBM merupakan substitusi yang satu untuk lainnya berarti
penggunaannya tidak mudah dipisah-pisahkan. Perbedaan harga yang
cukup besar dapat menimbulkan kecenderungan untuk mengganti
penggunaan beberapa jenis BBM dengan minyak tanah yang lebih
murah baik secara sadar (efek substitusi) maupun secara tidak
sadar (pemalsu oleh pengecer). Inilah dilema jenis IV.
Hal di atas tidak sesuai dengan maksud peningkatan subsidi untuk
konsumsi minyak tanah. Pertumbuhan konsumsi minyak tanah juga
akan meningkat dan menimbulkan tekanan terhadap penyediaannya.
Jumlah impor minyak tanah dewasa ini sudah cukup tinggi. Dengan
pasaran dunia yang ketat akibat ketidakstabilan Iran harga
minyak tanah di pasaran bebas telah meningkat menjadi US$ 36 per
barrel atau Rp 142 per liter atau 686% lebih tinggi dari harga
penjualan di dalam negeri.
Dilema jenis V menyangkut kenyataan bahwa hal perumusan
kebijaksanaan harga BBM dilema jenis I hingga IV di atas tidak
mudah diatasi dalam jangka pendek.
Dilema jenis I sangat bergantung dari strategi pembangunan dan
hasilnya jadi menyangkut falsafah dan kenyataannya. Dilema jenis
II secara bertahap perlu diatasi melalui kampanye terencana dan
terarah untuk menciptakan kesadaran masyarakat ber-BBM untuk
dapat menghemat penggunaan BBM terutama minyak tanah. Dilema
jenis III terjadi karena pengaruh psikologis masih menang
terhadap pola pikir dalam kerangka besarnya komponen BBM dalam
struktur biaya. Yang terakhir ini secara rasionil seharusnya
menentukan perubahan harga-harga.
Pada waktu ini memang antisipasi yang berlebihan seperti disebut
di atas sukar dieliminir karena pengaruh Kenop-15. Penyusunan
struktur harga yang tepat akan mengatasi dilema jenis IV.
Walaupun mudah kedengarannya tapi struktur harga yang ditetapkan
mencerminkan dilema-dilema di atas dan tidak dapat ditetapkan
secara independen. Meminjam pepatah Amerika: You cannot have
the cake and eat it too.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini