Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lima Dilema Buat BBM

Pemerintah dapat menetapkan harga BBM, dimana konsumsi minyak tanah meningkat. Kenaikan BBM mempengaruhi kenaikan harga-harga barang dan biaya hidup masyarakat, akibatnya terjadi inflasi.

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lebih dua tahun terakhir ini tidak mengalami penyesuaian, maka sejak 5 April 1979 berlaku harya BBM baru. Pada akhir 1978, kecuali untuk minyak diesel dan minyak bakar, harga riil BBM, yaitu dengan memperhitungn inflasi, berada jauh di bawah harga riilnya akhir 1970. Bila selama 1979 ini laju inflasi mencapai 20%, pada akhir 1979 harga riil bensin super, premium, minyak diesel dan minyak bakar mendekati atau melampaui harga riilnya akhir 1970. Harga riil minyak solar 32% lebih rendah dan harga riil minyak tanah 56% lebih rendah dari harga riilnya pada akhir 1970. Alasan penyesuaian harga BBM tahun ini disampaikan secara cukup jelas oleh pemerintah, dan tampaknya dapat diterima, sedikitnya dimengerti oleh masyarakat banyak. Tapi itu tak berarti dalam menyesuaikan harga tidak dijumpai pilihan-pilihan yang sulit dan rumit. Sebagai pengganti pembentukan harga oleh kekuatan pasar, harga BBM ditetapkan dan disesuaikan oleh pemerintah. Di sini pemilihan kriteria merupakan dilema. Di satu pihak penyesuaian harga perlu mempertimbangkan perubahan daya beli konsumen agar terjamin peningkatan kesejateraan dan mutu hidup masyarakat. Di lain pihak perlu dipertimbangkan pula perubahan biaya produksi agar terjamin kelangsungan dan kelancaran penyediaan bahan bakar yang penting itu. Masalahnya, kedua laju perubahan di atas jarang terjadi secara selaras karena masing-masing dipengaruhi faktor-faktor yang berbeda. Pilihan menjadi sulit bila biaya produksi meningkat lebih cepat daripada daya beli konsumen. Situasi inilah yang dihadapi dalam perumusan penyesuaian harga BBM tahun ini. Tapi karena pemerintah dapat menetapkan harga BBM, padanya tersedia instrumen kebijaksanaan, justru untuk dipakai guna mengatasi dilema jenis I ini. Pemberian bobot dalam menimbang pilihan-pilihan diisyaratkan oleh arah Repelita III, di mana usaha-usaha pembangunan akan semakin mempertegas wajah keadilan sosial. Penyesuaian harga BBM tahun ini mencerminkan asas ini, khususnya yang menyangkut harga minyak tanah. Mitos Meningkatnya pemberian subsidi untuk konsumen minyak tanah merupakan realisasi asas di atas. Harga penjualan resmi minyak tanah yang dipertahankan sebesar Rp 18 per liter merupakan 30% dari harga pokok Pertamina (rata-rata) sekitar Rp 60 per liter. Selisihnya, sebesar 70% merupakan subsidi. Dalam suatu welfare state seperti negara Pancasila, subsidi merupakan instrumen kebijaksanaan sosial yang sah. Walaupun demikian instrumen ini tidak bisa digunakan tanpa batas. Subsidi BBM yang tinggi merupakan tekanan terhadap anggaran pemerintah (APBN). Dalam tahun anggaran 1979/80 ini subsidi BBM akan mencapai sekitar Rp 410 milyar, yaitu hampir sebesar anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang berjumlah Rp 450 milyar. Pertimbangan dari sudut APBN bukanlah yang harus diutamakan. Setiap pengeluaran melalui anggaran pemerintan tentu mempunyai tujuannya sendiri, tergantung dari pemberian prioritas. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 1976 menunjukkan 85 hingga 90% minyak tanah dikonsumsikan sektor rumah tangga, dan 50% dari jumlah itu dikonsumsikan 72% penduduk berpenghasilan rendah (di hawah Rp 5.000 per kepala sebulan). Tapi harga minyak tanah yang ditekan rendah bisa menjadi insentif yang mendorong laju konsumsinya ke arah pemborosan. Di sini terletak dilema jenis II. Selama periode 1970-77 konsumsi minyak tanah per kepala meningkat dengan 7,7% rata-rata per tahun. Kenaikan harga BBM umumnya dan harga minyak tanah khususnya memang mempengaruhi biaya hidup masyarakat. Tapi nampaknya ada mitos bahwa kenaikan harga BBM akan segera diikuti dengan melonjaknya harga-harga barang dan jasa. Data-data dari periode Desember 1969 hingga April 1977 menunjukkan bahwa setiap 10% kenaikan harga minyak tanah mengakibatkan inflasi sebesar 0,45% dalam bulan di mana kenaikan itu terjadi. Dapat diperkirakan sebagian dari inflasi tersebut bersumber pada antisipasi kenaikan harga-harga yang berlebihan. Karena harga BBM ditetapkan dan diusahakan untuk sedapat mungkin dipertahankan oleh pemerintah maka tertanam taksiran di masyarakat bahwa kenaikan harga BBM memang akan menimbulkan lonjakan harga-harga. Di sini dijumpai dilema jenis III. Orang mengantisipir reaksi orang-orang lain yang juga mengantisipir inflasi dan bila setiap orang berbuat yang sama maka antisipasi akhirnya menjadi kenyataan. Ini bukan hanya berlaku untuk Indonesia. Pengalaman Amerika Serikat menunjukkan seketika wage and price control dihapuskan (terakhir tahun 1971) segera terjadi lonjakan harga-harga. Berakhirnya masa transisi sehubungan dengan Kenop-15 juga memperlihatkan gejala yang sama. Struktur harga BBM ternyata penting diperhatikan dalam kebijaksanaan penyesuaian harga BBM. Sebagian besar jenis-jenis BBM merupakan substitusi yang satu untuk lainnya berarti penggunaannya tidak mudah dipisah-pisahkan. Perbedaan harga yang cukup besar dapat menimbulkan kecenderungan untuk mengganti penggunaan beberapa jenis BBM dengan minyak tanah yang lebih murah baik secara sadar (efek substitusi) maupun secara tidak sadar (pemalsu oleh pengecer). Inilah dilema jenis IV. Hal di atas tidak sesuai dengan maksud peningkatan subsidi untuk konsumsi minyak tanah. Pertumbuhan konsumsi minyak tanah juga akan meningkat dan menimbulkan tekanan terhadap penyediaannya. Jumlah impor minyak tanah dewasa ini sudah cukup tinggi. Dengan pasaran dunia yang ketat akibat ketidakstabilan Iran harga minyak tanah di pasaran bebas telah meningkat menjadi US$ 36 per barrel atau Rp 142 per liter atau 686% lebih tinggi dari harga penjualan di dalam negeri. Dilema jenis V menyangkut kenyataan bahwa hal perumusan kebijaksanaan harga BBM dilema jenis I hingga IV di atas tidak mudah diatasi dalam jangka pendek. Dilema jenis I sangat bergantung dari strategi pembangunan dan hasilnya jadi menyangkut falsafah dan kenyataannya. Dilema jenis II secara bertahap perlu diatasi melalui kampanye terencana dan terarah untuk menciptakan kesadaran masyarakat ber-BBM untuk dapat menghemat penggunaan BBM terutama minyak tanah. Dilema jenis III terjadi karena pengaruh psikologis masih menang terhadap pola pikir dalam kerangka besarnya komponen BBM dalam struktur biaya. Yang terakhir ini secara rasionil seharusnya menentukan perubahan harga-harga. Pada waktu ini memang antisipasi yang berlebihan seperti disebut di atas sukar dieliminir karena pengaruh Kenop-15. Penyusunan struktur harga yang tepat akan mengatasi dilema jenis IV. Walaupun mudah kedengarannya tapi struktur harga yang ditetapkan mencerminkan dilema-dilema di atas dan tidak dapat ditetapkan secara independen. Meminjam pepatah Amerika: You cannot have the cake and eat it too.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus