MENTERI Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro tersenyum puas
pekan lalu. Sidang IGGI ke-22 di Amsterdam yang berakhir 5 April
lalu setuju untuk memberi bantuan/pinjaman sebesar
AS$ 2774,6 juta pada Indonesia untuk tahun anggaran 1979/1980.
Dari jumlah ini sekitar AS$ 1.925 juta akan terdiri dari kredit
lunak berupa bantuan pembangunan resmi (ODA = oticial
Development Assistance), sedang AS$ 850 juta akan berupa kredit
ekspor. Dibanding jumlah pinjaman tahun lalu yang sebesar ASgj
2.47 juta, pinjaman tahun ini naik sekitar 11 %.
Tapi yang mungkin paling melegakan Widjojo, di samping setumpuk
pujian negara-negara IGGI seperti dikemukakan Menteri Kerjasama
Bantuan Ekonomi LN Belanda Jan de Koning, adalah disetujuinya
rekomendasi Bank Dunia untuk memberikan bantuan resmi (ODA)
sebesar AS$ 2,3 milyar setiap tahun selama Repelita III. Ini
sesuatu yang samasekali baru. Dengan begitu Indonesia mendapat
jaminan akan memperoleh bantuan IGGI paling sedikit AS$ 2,3
milyar selama Repelita III.
Yang juga dianggap baru oleh pers yang mengkover sidang IGGI
tahun ini adalah sikap delegasi Indonesia yang lebih terbuka dan
bersedia menjawab semua pertanyaan wartawan, termasuk yang
menyerang Indonesia. "Indonesia tidak mengemis," kata Widjojo
menjawab tuduhan Indonesia mengemis bantuan. Menurut Widjojo,
mustinya negara-negara kaya dikenakan pajak. Karena hal ini
tidak dapat dilaksanakan, bantuan itu merupakan jalan keluar
sementara dari kewajiban itu.
Tapi tidak semua orang rupanya tersenyum lega dengan terjaminnya
bantuan luar negeri untuk Repelita III. Banyak kening berkerut
dengan semakin meningkatnya persentase bantuan luar negeri untuk
pembiayaan pembangunan Indonesia. Untuk Repelita III, pemerintah
memproyeksikan jumlah dana pembangunan Rp 21,84 trilyun, di
antaranya Rp 9,23 trilyun atau 42,2% diharapkan dari sumber luar
negeri Sedang dana pembangunan untuk Pelita II adalah Rp 9,04
trilyun, dan Rp 3,13 trilyun atau 34,6% berasal dari luar
negeri. Dengan istilah lain, kemampuan Indonesia untuk membiayai
sendiri pembangunan dalam Repelita III semakin kecil.
Peningkatan menyolok nilai bantuan luar negeri dalam rupiah
terutama disebabkan devaluasi rupiah pada Nopember tahun lalu.
Tidak heran muncul beberapa kecaman atas kecenderungan ini.
Anggota DPR dari Komisi APBN Hamzah Haz misalnya berpendapat,
naiknya persentase jumlah bantuan luar negeri membuktikan bahwa
kredit itu merupakan hal yang mutlak bagi pembangunan. Bukannya
sekedar pelengkap pembagunan. "Ini berlawanan dengan apa yang
selalu dikatakan pemerintah berulang-ulang," katanya.
Banyak yang mengkhawatirkan kecenderungan naiknya bantuan luar
negeri ini akan menyebabkan makin tergantungnya Indonesia pada
bantuan asing. Masuk akal bila Menteri PAN dan Wakil Ketua
Bappenas J.B. Soemarlin pekan lalu memandang perlu untuk
menegaskan perbedaan hutang dan dibuat pada jaman Orla dan
Orba. Pinjaman Orba, kata Soemarlin, terarah dan produktif
sedang hutang Orla tidak produktif atau dimanfaatkan bagi
proyek yang lokasinya kurang tepat. Proyek Jatiluhur misalnya
dianggapnya proyek yang termahal di Indonesia. "Pinjaman Orba
jelas diarahkan untuk sektor-sektor yang menunjang pembanunan
dan produktif," kata Soemarlin. Jumlah hutang Indonesia saat ini
AS$ 12,5 milyar, di antaranya AS$ 2,5 milyar dibuat pada jaman
Orla.
Peranan bantuan luar negeri untuk pembangunan Indonesia mungkin
akan terus dipertentangkan. Tapi semua pihak agaknya setuju:
pinjaman itu beban yang harus dibayar kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini