Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beban Itu Semakin Besar

Persentase bantuan luar negeri makin meningkat untuk membiayai pembangunan Indonesia. Dikhawatirkan naiknya bantuan luar negeri akan menyebabkan makin tergantungnya Indonesia pada bantuan asing. (eb)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro tersenyum puas pekan lalu. Sidang IGGI ke-22 di Amsterdam yang berakhir 5 April lalu setuju untuk memberi bantuan/pinjaman sebesar AS$ 2774,6 juta pada Indonesia untuk tahun anggaran 1979/1980. Dari jumlah ini sekitar AS$ 1.925 juta akan terdiri dari kredit lunak berupa bantuan pembangunan resmi (ODA = oticial Development Assistance), sedang AS$ 850 juta akan berupa kredit ekspor. Dibanding jumlah pinjaman tahun lalu yang sebesar ASgj 2.47 juta, pinjaman tahun ini naik sekitar 11 %. Tapi yang mungkin paling melegakan Widjojo, di samping setumpuk pujian negara-negara IGGI seperti dikemukakan Menteri Kerjasama Bantuan Ekonomi LN Belanda Jan de Koning, adalah disetujuinya rekomendasi Bank Dunia untuk memberikan bantuan resmi (ODA) sebesar AS$ 2,3 milyar setiap tahun selama Repelita III. Ini sesuatu yang samasekali baru. Dengan begitu Indonesia mendapat jaminan akan memperoleh bantuan IGGI paling sedikit AS$ 2,3 milyar selama Repelita III. Yang juga dianggap baru oleh pers yang mengkover sidang IGGI tahun ini adalah sikap delegasi Indonesia yang lebih terbuka dan bersedia menjawab semua pertanyaan wartawan, termasuk yang menyerang Indonesia. "Indonesia tidak mengemis," kata Widjojo menjawab tuduhan Indonesia mengemis bantuan. Menurut Widjojo, mustinya negara-negara kaya dikenakan pajak. Karena hal ini tidak dapat dilaksanakan, bantuan itu merupakan jalan keluar sementara dari kewajiban itu. Tapi tidak semua orang rupanya tersenyum lega dengan terjaminnya bantuan luar negeri untuk Repelita III. Banyak kening berkerut dengan semakin meningkatnya persentase bantuan luar negeri untuk pembiayaan pembangunan Indonesia. Untuk Repelita III, pemerintah memproyeksikan jumlah dana pembangunan Rp 21,84 trilyun, di antaranya Rp 9,23 trilyun atau 42,2% diharapkan dari sumber luar negeri Sedang dana pembangunan untuk Pelita II adalah Rp 9,04 trilyun, dan Rp 3,13 trilyun atau 34,6% berasal dari luar negeri. Dengan istilah lain, kemampuan Indonesia untuk membiayai sendiri pembangunan dalam Repelita III semakin kecil. Peningkatan menyolok nilai bantuan luar negeri dalam rupiah terutama disebabkan devaluasi rupiah pada Nopember tahun lalu. Tidak heran muncul beberapa kecaman atas kecenderungan ini. Anggota DPR dari Komisi APBN Hamzah Haz misalnya berpendapat, naiknya persentase jumlah bantuan luar negeri membuktikan bahwa kredit itu merupakan hal yang mutlak bagi pembangunan. Bukannya sekedar pelengkap pembagunan. "Ini berlawanan dengan apa yang selalu dikatakan pemerintah berulang-ulang," katanya. Banyak yang mengkhawatirkan kecenderungan naiknya bantuan luar negeri ini akan menyebabkan makin tergantungnya Indonesia pada bantuan asing. Masuk akal bila Menteri PAN dan Wakil Ketua Bappenas J.B. Soemarlin pekan lalu memandang perlu untuk menegaskan perbedaan hutang dan dibuat pada jaman Orla dan Orba. Pinjaman Orba, kata Soemarlin, terarah dan produktif sedang hutang Orla tidak produktif atau dimanfaatkan bagi proyek yang lokasinya kurang tepat. Proyek Jatiluhur misalnya dianggapnya proyek yang termahal di Indonesia. "Pinjaman Orba jelas diarahkan untuk sektor-sektor yang menunjang pembanunan dan produktif," kata Soemarlin. Jumlah hutang Indonesia saat ini AS$ 12,5 milyar, di antaranya AS$ 2,5 milyar dibuat pada jaman Orla. Peranan bantuan luar negeri untuk pembangunan Indonesia mungkin akan terus dipertentangkan. Tapi semua pihak agaknya setuju: pinjaman itu beban yang harus dibayar kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus