Setelah ceritanya ditulis berjilid-jilid, sampailah kita pada bagian akhir: pemenang tender penjualan BCA segera diketahui. Hanya dalam tempo sepekan, Bank Indonesia menyelesaikan uji kepantasan semua peserta tender. Senin ini, bank sentral akan menyerahkan hasil pengujian itu kepada pemerintah. Jika semuanya lancar, kata Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), I P.G. Ary Suta, "Pemenang tender BCA akan diumumkan pekan ini."
Menurut sumber TEMPO, keempat konsorsium peserta tender, yaitu Standard Chartered Bank (Stanchart), Farallon Capital Management, Bank Mega, dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), lolos dari teropong uji bank sentral. BI, katanya, hanya memusatkan perhatian pada pemimpin konsorsium. "Yang lain tidak terlalu menentukan," katanya.
Angota konsorsium, dengan porsi saham kecil, memang bukan hambatan berarti. Stanchart, misalnya, siap membeli saham Berca jika perusahaan milik Hartati Moerdaya ini gagal melalui uji kelayakan BI. "Akan kita beli," kata Ray Ferguson, Chief Executive Officer Stanchart Indonesia.
Dengan selesainya tender ini, BCA akan mempunyai juragan "swasta" baru setelah diambil alih pemerintah dari Grup Salim, Agustus 1998. Tapi siapakah dia?
Sebetulnya tak sulit menebak siapa pemenang BCA. Dari empat calon, hanya dua yang cukup punya uang, yaitu Stanchart, bank Inggris yang berpusat di London; dan Farallon, yang bermarkas di San Francisco. Bank Mega dan GKBI tak lebih dari pemain penggembira. Aset Stanchart dan Farallon masing-masing mencapai US$ 100 miliar (Rp 1.000 triliun) dan US$ 8 miliar (Rp 80 triliun), sedangkan GKBI dan Bank Mega cuma Rp 3 triliun dan Rp 10 triliun. "Ini seperti teri melawan kakap," kata sumber TEMPO di Bank Indonesia.
Hanya, memilih antara Stanchart dan Farallon tampaknya bukan soal gampang. Tawaran kedua investor asing ini tak jauh berbeda. Stanchart memasukkan harga Rp 1.780 per saham, lima perak lebih tinggi dari Farallon. Bedanya, Farallon bersedia langsung membeli 51 persen saham, sementara Stanchart ingin mencicilnya dua kali. Begitu transaksi ditutup, bank Inggris yang harga sahamnya terus melorot itu akan membayar 30 persen. Sisanya dilunasi akhir tahun nanti.
Selain punya beking dana kuat, kedua nama besar itu juga punya dukungan nama-nama hebat. Farallon, misalnya, didukung Alaerka, perusahaan investasi milik pabrik rokok Djarum, yang terbukti tahan banting selama krisis. Alaerka akan menguasai 11 persen saham konsorsium Farallon. Sedangkan Stanchart dibeking The Government of Singapore Investment Co. (GSIC), Berca, dan Prudential. Ketiga anggota pasukan ini akan mendapat jatah 15 persen saham BCA, sedangkan Stanchart akan kebagian 36 persen.
Rencana kerja kedua investor ini pun tak berbeda. Keduanya akan menekankan pada perbaikan kemampuan BCA dalam menyalurkan kredit. Selama puluhan tahun, BCA tak lebih dari kasir Grup Salim. Hampir 90 persen kreditnya mengalir ke konglomerasi milik Liem Sioe Liong itu.
Alhasil, memang tak mudah memilih antara Farallon dan Stanchart. Tapi, menurut analis perbankan Mirza Adityaswara, ada banyak hal yang membedakan Stanchart yang sudah berpengalaman mengelola bank selama 150 tahun dengan Farallon, sebuah perusahaan investasi yang baru berdiri pada akhir dekade 1990 dan tak punya pengalaman mengelola bank.
Stanchart sejak zaman Belanda sudah masuk ke Indonesia. Farallon hanya sedikit terlibat dalam akuisisi Long Term Capital Bank of Japan (LTCB). Sumber TEMPO mengungkapkan, sumbangan Farallon dalam konsorsium yang dipimpin Ripplewood Holdings ini di bawah 10 persen. "Sebenarnya tak sulit memilih," kata Mirza, "karena yang satu bank yang lain bukan." Ceritanya akan jadi lain kalau saingan Stanchart ini Citibank, HSBC, atau DBS Singapura.
Meskipun demikian, Direktur Farallon Capital Management untuk Asia dan Australia, G. Raymond Zage III, menolak anggapan Mirza itu. Suksesnya akuisisi LTCB oleh Ripplewood dan Korea First Bank oleh Newbridge, kata Zage, menunjukkan tiadanya relevansi antara calon investor dan bank yang akan dibeli.
Tapi Mirza punya argumen lain. Sebagai bank yang sudah punya jam terbang ratusan tahun, Stanchart berpeluang memberi rasa aman yang lebih baik kepada publik. Ini berbeda dengan Farallon. Memang betul, inves-tor keuangan Amerika itu akan dibantu Deutsche Bank. Tapi, "Tanggung jawab pemilik bank tetap berada di tangan Farallon," kata Mirza.
Rasa aman ini berkaitan dengan penjaminan perbankan. "Modal" pemerintah untuk menjamin kewajiban bank, yang ada di rekening 502, hanya Rp 37 triliun. Padahal, dana pihak ketiga bank kini telah mencapai Rp 800 triliun. "Apa pemerintah kuat?" tanya Mirza. Karena itu, pemerintah harus mencari investor yang bisa membuat nasabah BCA merasa aman agar peluang untuk di-rush makin kecil. Jadi, melihat jam terbangnya, Stanchart mestinya lebih ungul.
Namun, tidak semua indikator memang mengunggulkan bank yang berpusat di London itu. Posisi keuangan Stanchart belakangan ini kurang menguntungkan. Dalam laporan keuangan 2001 yang diumumkan Rabu pekan lalu jelas terlihat bahwa keuntungan Stanchart merosot 32 persen, hingga tinggal US$ 699 juta. Ini semua gara-gara bank ini harus me-nutup ledakan kredit macet di Malaysia dan Hong Kong.
Selain itu, pemimpin baru Stanchart, Mervyn Davies, yang baru saja dilantik, tampak kurang meyakinkan dibandingkan dengan Rana Talwar, yang tiba-tiba meninggalkan Stanchart akhir tahun lalu. Sejak Davies mengambil alih posisi presiden direktur, harga saham Stanchart terus merosot. Laporan keuangan yang mengecewakan Rabu lalu hanyalah gong dari sejumlah kesulitan yang selama ini membelit bank yang akan segera terdaftar di bursa Hong Kong itu.
Selain itu, di luar soal teknis, ada faktor lain yang bisa menjungkirbalikkan semua perhi-tungan rasional: campur tangan politik. Dengar saja gosip yang kini berseliweran dalam acara-acara elite politik di Jakarta. Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, misalnya, disebut-sebut mendukung Stanchart. Begitu pula dengan Kepala BPPN, Ary Suta.
Tapi, setelah dikonfirmasi, keduanya membantah. Taufiq menegaskan, sejak istrinya jadi presiden, dia berjanji tak akan berbisnis. "Tapi saya tetap kebagian tidak enaknya. Saya dibilang tahu banyak soal Indosiar, BCA, dan segala tetek-bengek," katanya. Putu pun dengan merah padam membantah keterlibatannya dalam urusan tender BCA. "Ini tuduhan tendensius," kata Putu sambil berkacak pinggang. Seperti tak sengaja, tangan Putu menyibakkan jas tutupnya, menampakkan gagang pistol yang terselip di pinggang.
Pertarungan non-teknis ini juga tampak dalam "perang" media masa. Entah siapa yang mulai, perang opini, saling menjelekkan antara kedua peserta tender, kini merebak di koran-koran. Surat kaleng membanjiri kantor media massa.
Sebagai perusahaan investasi, Farallon dikiaskan semacam burung Nazar. Caplok dengan harga murah, poles sedikit, ambil pinjaman bank, lalu jual dengan harga tinggi. Sebaliknya, Stanchart disibukkan dengan berita bank Eropa yang banyak beroperasi di Asia Pasifik itu terlalu banyak maunya.
Bukan hanya itu. Stanchart juga dituding mau menggarong BCA dengan mengutip biaya bantuan teknis, tiga persen dari pendapatan. Dengan demikian, Stanchart akan mendapatkan keuntungan dua kali, upah kerja dan dividen. Benarkah? "Itu sampah yang dipakai untuk menjelek-jelekkan kami," kata Ferguson.
Zage tak kalah gemasnya. Ia balik menuding banyak bank yang tak becus mengelola bank yang dibelinya. Dia memberi contoh Kommerzbank (Jerman) yang gagal memperbaiki kinerja Korea Exchange Bank, dan DBS Singapura yang gagal mendongkrak kinerja Thai Dhanu Bank.
Pada akhirnya, semuanya terpulang pada pemerintah. Jika pilihan dijatuhkan berdasarkan suka atau tak suka, atau ditetapkan di luar tender, kita harus siap-siap menerima risikonya.
M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan, Rommy Fibri, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini