Direktur Farallon Capital Management Asia dan Australia. Lulusan University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat. Petikan wawancara Iwan Setiawan dari TEMPO:
Apakah Farallon pernah mengelola bank?
Kami memang belum pernah mengelola bank. Tapi kami tak khawatir. Pada dasarnya mengelola bank punya kesamaan dengan mengelola bisnis lainnya. Untuk itu, Farallon menggandeng Deutsche Bank Indonesia sebagai penasihat teknis.
Jadi, pendapat yang meragukan kemampuan Farallon dalam mengelola BCA bisa dibenarkan?
Kami ini investor keuangan, bukan investor strategis. Dan faktanya, investor seperti kami lebih sukses dalam mengelola bank ketimbang investor strategis. Lihat saja Development Bank of Singapore (DBS) yang masuk ke Thai Dhanu Bank, dan Kommerzbank yang membeli Korea Exchange Bank. Kedua bank itu malah jadi bermasalah dan harus direkap ulang.
Sebaliknya, Korea First Bank (KFB) yang dibeli Newbridge Capital, dan Long Term Capital Bank of Japan (LTCB) yang diambil alih konsorsium Ripplewood Holdings, keduanya berhasil. Tahun pertama setelah Newbridge masuk, KFB untung US$ 235 juta, padahal sebelumnya rugi US$ 773 juta.
Begitu juga LTCB. Begitu Ripplewood menyuntikkan tambahan kapital US$ 1,14 miliar, tahun lalu LTCB langsung untung US$ 730 juta. Mungkin fakta ini mengagetkan publik. Tapi itulah kenyataannya.
Mengapa perusahaan investasi lebih berhasil?
Pertama, kompetensi pemegang saham memang tak ada kaitannya dengan jenis perusahaan yang dibeli. Belum tentu karena investornya bank lalu bisa memahami benar sebuah bank. Kedua, bank internasional itu sering sangat birokratis, sedangkan manajer investasi lebih lincah dan pragmatis.
Ada yang khawatir Farallon akan segera menjual BCA setelah dipoles dua atau tiga tahun?
Memang, sebagai investor keuangan, setiap saat Farallon akan menjual kembali BCA. Ini memang pekerjaan manajer investasi. Tapi itu tak dilakukan dalam dua tiga tahun ke depan. Kita melihat BCA sebagai investasi jangka panjang.
Ada gosip Farallon akan menjual kembali BCA kepada Salim?
Farallon punya standar etika yang sangat tinggi, dan tak menjalin hubungan dengan pihak yang masuk daftar orang tercela (DOT) di Indonesia, termasuk Salim. Kami tak pernah menghubungi Grup Salim, mereka juga tak menghubungi kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini