Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) merestui pengaturan skema berbagai beban (burden sharing) antara Bank Indonesia dan pemerintah. Dengan adanya aturan ini, skema untuk mendukung pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dilanjutkan dalam situasi krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana diketahui, kebijakan burden sharing dicetuskan pada 2020, ketika pandemi Covid-19 merebak. Waktu itu pemerintah membutuhkan bantuan bank sentral untuk membantu pembiayaan penanganan pandemi. Dalam praktiknya, Bank Indonesia turut membiayai APBN dengan cara membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, kebijakan burden sharing diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020. Aturan ini mengatur bahwa skema tersebut hanya akan berlaku selama tiga tahun dan berakhir pada 2022. Dengan demikian, mulai tahun depan, perlakuan saling berbagi beban itu seharusnya tak lagi dilakukan.
Rencana perpanjangan kebijakan burden sharing ini menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah kalangan karena berpotensi menimbulkan risiko penyimpangan moral (moral hazard) di kemudian hari. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan langkah BI membeli SBN di pasar perdana berarti bank sentral mencetak uang untuk menyerap surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Bank Indonesia di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Peran juru selamat ini pun dinilai mengganggu independensi BI sebagai otoritas moneter. “Konteks burden sharing seharusnya hanya bersifat temporer. Kalau diatur dalam undang-undang, akan ada moral hazard karena melanjutkan cetak uang oleh BI dengan intervensi pemerintah,” ucapnya.
Skema berbagai beban yang terus-menerus dilakukan di satu sisi akan membuat disiplin fiskal pemerintah melorot. Pasalnya, saat defisit melebar, pemerintah memiliki opsi bantuan dari BI yang akan menjadi pembeli SBN di pasar primer. “Moral hazard juga mungkin terjadi jika anggaran itu masuk untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang tak ada korelasinya dengan penyelamatan krisis atau sistem keuangan,” ujarnya.
Dapat Memicu Kenaikan Inflasi
Risiko berikutnya yang timbul adalah dampak dari pencetakan uang yang masif terhadap upaya pengendalian inflasi oleh BI. “Cetak uang bisa menimbulkan kenaikan uang beredar yang kemudian memicu tingkat inflasi menjadi lebih tinggi,” kata Bhima.
Menimbang risiko tersebut, ujar Bhima, alih-alih memperpanjang kebijakan burden sharing, pemerintah lebih baik mengatur ulang strategi belanja negara agar lebih efektif dan efisien sehingga tersedia ruang fiskal yang memadai untuk berjaga-jaga menghadapi situasi krisis yang bisa terjadi kapan saja.
Berdasarkan draf RUU PPSK yang diperoleh Tempo, dalam Pasal 36 A disebutkan, dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Bank Indonesia berwenang membeli surat berharga negara berjangka panjang di pasar perdana guna menangani permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional. “Skema dan mekanisme pembelian SBN di pasar perdana ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia,” demikian isi aturan tersebut.
Tak hanya itu, BI juga memiliki kewenangan membeli atau melakukan repo SBN yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk membiayai penanganan permasalahan bank. Bank sentral sekaligus berwenang memberikan akses pendanaan kepada korporasi atau swasta dengan mekanisme repo SBN yang dimiliki korporasi ataupun swasta melalui perbankan.
Adapun kondisi krisis yang dimaksudkan ditetapkan oleh presiden dan upaya burden sharing pun dilakukan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis itu akan diatur dalam aturan turunan berupa peraturan pemerintah.
Nasabah membuka menu Surat Berharga Negara (SBN) Ritel melalui aplikasi bank di Jakarta. ANTARA/Nova Wahyudi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, sepakat perihal kebijakan burden sharing lanjutan berpotensi melemahkan peran BI sebagai otoritas moneter. “Tugas utama BI menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi. Pengorbanan BI terlalu besar jika harus masuk lagi ke pasar perdana,” ucapnya.
Tauhid mengatakan setiap kebijakan yang terkait dengan peran dan tugas regulator jangan sampai mengundang preseden buruk investor. Sebab, kurang etis apabila pemerintah mengusik independensi bank sentral. “Mungkin, dalam kondisi resesi, ketika menghadapi krisis, (kebijakan) itu dibutuhkan. Tapi dalam kondisi normal tentu hal itu tidak perlu. Perlu ada definisi dan batasan yang jelas mengenai situasi seperti apa yang bisa disebut krisis itu,” katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan implementasi setiap kebijakan RUU PPSK akan transparan dan bertanggung jawab serta tidak menimbulkan moral hazard, termasuk soal kebijakan burden sharing lanjutan.
“Dalam hal ini krisis, hal itu harus dideklarasikan. Jadi, tidak akan menimbulkan moral hazard. Tidak berarti setiap kali (APBN) defisit, lalu nanti minta burden sharing,” kata Sri Mulyani. Dia pun memastikan penerapan skema ini akan dilakukan dengan protokol yang ketat dan kredibel sehingga tidak dapat disalahgunakan.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo