Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah berencana menaikkan tarif royalti untuk berbagai komoditas pertambangan, termasuk nikel, tembaga, emas, dan batu bara, melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022. Namun, menurut Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, kebijakan ini terkesan terburu-buru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, menurut Hendra pemerintah kurang melibatkan pemangku kepentingan industri tambang dalam proses penyusunannya. “Sosialisasi kebijakan ini hanya beberapa jam, padahal dampaknya sangat besar bagi pelaku usaha. Seharusnya ada diskusi yang lebih komprehensif agar kebijakan ini bisa lebih matang,” kata dia saat ditemui usai menghadiri diskusi soal ‘Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel’ yang diadakan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di hotel Sultan, Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, rencana pemerintah menaikkan tarif royalti sektor pertambangan mendapat penolakan dari pelaku industri. Selain sosialisasi yang minim, Hendra menilai kebijakan ini tidak tepat mengingat kondisi pasar yang tengah lesu dan beban operasional perusahaan yang semakin berat. “Market sedang jatuh, harga komoditas turun, dan beban perusahaan meningkat. Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan royalti,” ujar Hendra.
Kenaikan royalti dinilai berpotensi menekan produksi tambang nasional. Hendra menjelaskan perusahaan tambang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) berdasarkan asumsi tarif royalti yang berlaku saat ini. Jika tarif naik, maka perhitungan keuangan perusahaan harus diubah, yang dapat mengganggu produksi. “Perusahaan menambang dengan asumsi tarif royalti yang berlaku untuk 12 bulan ke depan. Kalau tarifnya naik, tentu perhitungan keuangan berubah, dan bisa saja perusahaan memutuskan untuk mengurangi produksi,” katanya.
Tidak hanya produksi yang berisiko terdampak, investasi di sektor hilirisasi pun bisa terganggu. Saat ini industri sudah dibebani banyak regulasi seperti Domestic Market Obligation (DMO), Devisa Hasil Ekspor (DHE), hingga pajak minimum global untuk industri High Pressure Acid Leach (HPAL). Dengan tambahan beban royalti, cashflow perusahaan makin terbebani,” kata Hendra.
Menurutnya, eksplorasi juga menjadi sektor yang patut dikhawatirkan. “Hilirisasi itu berbicara tentang 20-30 tahun ke depan. Kalau eksplorasi tidak berjalan, bagaimana kita bisa menjamin pasokan bahan baku? Sementara, tanpa eksplorasi, cadangan mineral bisa habis,” ujarnya.
IMA juga menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat pemerintah dalam mendorong hilirisasi mineral. Kenaikan royalti dinilai bisa mengurangi daya tarik Indonesia bagi investor yang ingin masuk ke sektor tambang dan hilirisasi. “Setiap ada kenaikan tarif, investor akan menghitung ulang rencana investasinya. Ini bisa menciptakan ketidakpastian yang akhirnya menghambat investasi,” kata Hendra.
Ia juga menyoroti bahwa tarif royalti di Indonesia sudah cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain. “Kita bersaing dengan Filipina, Afrika Selatan, dan Australia. Jika biaya produksi di Indonesia semakin mahal, maka daya saing kita bisa menurun,” ujar dia.
Selain itu, Hendra menyoroti dalam dua tahun terakhir, penerimaan negara dari sektor pertambangan sudah meningkat secara signifikan. “Tahun 2023 penerimaan negara naik 118 persen, tahun 2024 naik 123 persen. Kalau memang negara butuh penerimaan, apakah menaikkan royalti adalah langkah yang tepat?” kata dia.
Pilihan editor: Budi Arie Harap Pemuda Desa Mau Kelola Koperasi Desa Merah Putih