Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit membayangkan luas peternakan sapi itu. Di atas kertas, lahan di Mataranka, wilayah di Northern Territory, Australia-420 kilometer tenggara Darwin-itu tercatat 125 ribu hektare. Artinya dua kali Jakarta. Ujung ke ujungnya terbentang 80 kilometer, lebih panjang daripada jarak Monas ke Bogor.
"Kami hanya peternak kecil," ujar Rohan Sullivan, 51 tahun, pemilik peternakan itu, kepada Tempo, yang mengunjunginya Mei lalu atas undangan Kedutaan Besar Australia. Dia tidak sedang berbasa-basi. Di negara bagian itu, ada 200 peternak, yang di antaranya memelihara 80 ribu sapi. Sedangkan populasi di Cave Creek Station-demikian plang di gerbang lahan itu-mentok di angka 7.000-an. Sehari-hari peternakan itu hanya diurus lima anggota keluarga Sullivan.
Seperti di banyak peternakan lain di Australia, sebagian besar sapi Sullivan berakhir di perut penduduk Indonesia. Tahun lalu produksinya sekitar 2.200 ekor. Sebanyak 1.800 sapi bakalan dia kirim ke Indonesia. Sisanya ke Vietnam dan pasar lokal-terdiri atas sapi apkiran dan yang tidak lolos syarat ekspor, misalnya karena telinga sobek.
Data Meat and Livestock Australia menyatakan Indonesia menjadi tujuan terbesar ekspor sapi Australia. Pada tahun fiskal 2013-2014, jumlahnya mencapai 624 ribu ekor, mencakup 55 persen dari total ekspor sapi hidup Australia. "Pengiriman biasanya meningkat di saat-saat sekarang, untuk mengantisipasi kebutuhan daging menjelang Idul Fitri," kata Sullivan, Ketua Asosiasi Peternak Northern Territory 2009-2011.
Swasembada daging memang baru sebatas mimpi. Indonesia membutuhkan kiriman sapi dari tetangga di selatan itu untuk memenuhi hajat proteinnya. Seperti dimuat harian Melbourne, Weekly Times, 13 Mei lalu, Yayan Mulyana, Konsul Jenderal Indonesia di Sydney, mengatakan 250 juta penduduk Indonesia membutuhkan 640 ribu ton daging sapi sepanjang tahun ini. "Dan itu tidak bisa dipenuhi sendiri," ujarnya.
Pemerintah menargetkan peningkatan konsumsi daging per kapita sebesar 8 persen jadi 2,56 kilogram tahun ini. Australia diharapkan menyuplai tidak kurang dari 50 ribu ton. Yayan mengatakan Indonesia juga mempertimbangkan sumber impor lain, seperti Brasil dan Argentina, tapi terbentur masalah biaya, pengiriman, dan sertifikasi penyakit hewan.
Ada prinsip saling membutuhkan dalam perdagangan sapi di Indonesia dan Australia. Negeri Kanguru sangat ideal untuk pembibitan. Dengan daratan 7,69 juta kilometer persegi, Australia adalah negara dengan tanah terluas keenam di dunia. Lahan jembar, seperti milik Sullivan, sangat dibutuhkan oleh sapi.
Di sana tidak mengenal tali keluh. Semua sapi dibiarkan berkeliaran bebas. Perbandingan standarnya: satu jantan untuk 30 betina. Satu betina butuh ruang hidup sampai 20 hektare. Jadi perlu 600 hektare hanya untuk satu pejantan. "Kalau tidak, pertumbuhannya tidak optimal," kata Garry Riggs, tetangga sebelah Sullivan-rumah mereka berjarak sekitar 40 kilometer. Pemilik Lakefield Station itu memelihara sekitar 6.500 sapi di lahan 59 ribu hektare-dia membelinya senilai Rp 4 miliar pada 1999.
Tapi kemampuan mereka sebatas pembibitan. Sullivan dan rekan-rekannya bakal tekor jika harus memelihara semua ternaknya sampai berat potong, 450 kilogram. Maklum, Australia hanya subur di pesisir timur Queensland, New South Wales, dan selatan Victoria-dikenal dengan green belt. Sisanya: kering. Menjelajahi Northern Territory dari Darwin sampai Mataranka, hanya ada pastura dan pohon kayu putih yang tumbuh jarang-jarang. Alam dan iklimnya persis di Nusa Tenggara Timur. Untuk penggemukan, mereka harus membeli pakan dari selatan.
Itu sebabnya, penjualan sapi bakalan merupakan langkah terbaik mereka. Sapi menyudahi masa pertumbuhannya pada umur 2,5-3 tahun. Pada usia itulah sapi bakalan dilego. Beratnya sekitar 280 dan 300 kilogram. "Setelah itu, tidak jadi masalah ditempatkan di kandang untuk penggemukan," kata Sullivan.
Urusan penggemukan, Indonesia tempatnya. Dengan penanganan dan pakan yang tepat, sapi bakalan itu mencapai berat potong dalam 100-120 hari-jauh lebih singkat dibandingkan dengan sebagian besar wilayah Australia, yang butuh satu tahun. Seperti yang berlangsung di PT Great Giant Livestock, Lampung Tengah.
Di kandang mereka yang berkapasitas 26 ribu ekor itu, sapi-sapi impor tersebut diberi rumput, sisa olahan jagung, padi, tebu, kopra, kelapa sawit, dan nanas. Nanas menjadi asupan yang khas di peternakan ini mengingat induk perusahaan mereka, PT Great Giant Pineapple, menghasilkan limbah kulit nanas sampai 250 ton per hari.
Dayu Ariasintawati, Direktur Great Giant Livestock, berupaya menampik stigma negatif terhadap sapi impor. "Mereka bilang sapi itu sudah tidak tumbuh, cuma digemukkan," ucapnya di lokasi. "Mereka lupa, dari berat 300 jadi 450 kilogram, seluruhnya hasil lokal. Itu tidak sedikit."
Menurut Dayu, satu sapi butuh rata-rata 12,5 kilogram pakan per hari. Per siklus-sekitar 120 hari-butuh kurang-lebih Rp 3 juta. "Dengan perkiraan 700 ribu sapi impor di Indonesia, nilai ekonomi lokalnya mencapai Rp 2,1 triliun," ujarnya.
Kebutuhan sapi impor juga dipicu oleh mahalnya logistik dalam negeri. Yuari Trantono, peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian, mengatakan harga sapi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat sebenarnya lebih murah, Rp 32-34 ribu per kilogram bobot hidup. Namun tingginya ongkos angkut membuat harganya melangit sampai Rp 43 ribu saat tiba di Jakarta-Jabodetabek mengkonsumsi 60 persen kebutuhan daging nasional.
Banderol itu pada akhirnya lebih tinggi ketimbang sapi impor, yang Rp 38-40 ribu. "Siapa yang berani mengambil rugi?" kata Yuari, yang pernah menggeluti bisnis perdagangan sapi selama satu dasawarsa, kepada Akbar Tri Kurniawan dari Tempo.
Sebaliknya, tanpa Indonesia, Australia merana. Semua peternak di sana tidak akan melupakan kasus Animal Welfare 2011. Saat itu aktivis berhasil meyakinkan Canberra untuk menyetop pengiriman sapi ke Indonesia. Mereka menilai sapi-sapi itu mendapat perlakuan kejam di selusin rumah potong hewan di Indonesia, sesuai dengan laporan stasiun televisi nasional mereka, ABC.
Industri sapi di sana terguncang. "Saat itu banyak sapi yang sudah masuk truk untuk diekspor," ucap Sullivan. Para peternak pun berpaling ke pasar domestik yang sempit. Akibatnya, harganya anjlok dari setara dengan Rp 16 ribu jadi Rp 10 ribu per kilogram bobot hidup-banderol ekspor Rp 27 ribu. Itu pun masih dipotong ongkos angkut ke wilayah selatan sebesar Rp 2 juta per ekor.
Mereka rugi besar. Sebab, sapi membutuhkan sembilan bulan dalam kandungan plus dua tahun pertumbuhan sebelum bisa dikirim ke luar negeri. Dari hitung-hitungan Sullivan, biayanya minimal Rp 1 juta per ekor per tahun. "Tapi daripada tidak mendapat sama sekali," ujar Sullivan, yang saat itu terpaksa mengirim 200 sapinya ke pasar lokal.
Larangan itu hanya berlangsung sebulan pada pertengahan 2011. Namun, dia melanjutkan, dampaknya baru benar-benar hilang tiga tahun kemudian. Oktober tahun lalu, sejumlah peternak dan industri melakukan class action dan menuntut pemerintah federal mengganti kerugian akibat keputusan tersebut. Kasus ini masih bergulir.
Reza Maulana (mataranka, Australia, Dan Lampung Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo