Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepekan menjelang Ramadan, Kementerian Perdagangan merilis izin impor seribu ton daging sapi buat Perum Bulog. Daging jenis secondary cut itu merupakan cadangan untuk stabilisasi harga dalam operasi pasar selama bulan puasa sampai Lebaran.
Tapi, apa daya, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Thomas Sembiring menyebutkan izin itu terlambat. Belasan tahun berkutat di sektor ini, Thomas bilang perlu setidaknya 17 hari untuk mendatangkan daging sapi dari Australia sejak surat izin turun. Kalaupun negosiasi mulus, daging siap kirim dan pengapalannya lancar, target memulai operasi pasar pada pekan pertama Ramadan hampir mustahil.
Masalahnya, sejak 2013, Indonesia hanya mengizinkan impor daging jenis prime cut alias sirloin (punggung sapi), tenderloin (has dalam), dan rib eye (rusuk). Adapun izin yang diberikan kepada Bulog adalah untuk jenis daging kelas dua, yang berasal dari bagian paha sapi. "Karena tidak pernah impor, di Australia pun saya kira tidak menyiapkan secondary cut untuk kita," kata Thomas, Kamis pekan lalu.
Benar saja, saat peluncuran operasi pasar dari gudangnya di Kelapa Gading, Jumat dua pekan lalu, Bulog hanya menggunakan pasokan daging lokal atau sapi yang didatangkan perusahaan lain. "Sampai saat ini kami belum impor," ujar Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, Rabu pekan lalu. Lima hari menggelar pasar murah, 226 ton daging bisa mereka jual.
Djarot mengakui izin impor itu kelewat mepet, padahal mereka sudah lama mengajukan permohonan. Tapi pejabat yang baru dilantik pada 8 Juni lalu ini tak mau asal menuduh siapa yang kerja tak beres. "Saya juga ketinggalan. Saya datang saat proses perizinan sudah berjalan."
Alasan lain yang membuat Bulog memilih daging lokal, kata Djarot, adalah harganya yang lebih murah. Daging secondary cut asal Australia setelah ditambah ongkos angkut dan pajak impor bisa mencapai Rp 90 ribu per kilogram saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan daging lokal dengan kualitas sama bisa didapatnya seharga Rp 83 ribu per kilogram. "Mungkin dulu orang bisa bilang murah karena dolar kursnya Rp 10 ribu. Sekarang kan sudah Rp 13 ribu."
Dalam operasi, Bulog menjualnya Rp 88-90 ribu, saat harga daging di pasar berkisar di atas Rp 100 ribu per kilogram. Mereka sengaja tak pasang harga terlalu murah. "Nanti malah diborong pedagang," ujar Djarot. Dengan harga itu pun Bulog masih bisa mendapat untung.
Salah satu penyuplai daging sapi ke Bulog adalah sesama perusahaan pelat merah, PT Berdikari. Direktur Operasi dan Pemasaran PT Berdikari Alvin Purnadi menyatakan Bulog membeli 200 ton seharga Rp 83 ribu per kilogram dari perusahaannya. "Kami siap menambah pasokan bila diperlukan," katanya Jumat pekan lalu.
Berdikari memang punya banyak stok daging. Selama triwulan kedua tahun ini, Kementerian Perdagangan memberi mereka jatah impor 15 ribu ekor sapi siap potong.
Jika izin impor untuk Berdikari bisa keluar tepat waktu, lalu kenapa untuk Bulog molor? Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan mengatakan ada perbedaan dalam prosedur pengajuan impor pangan oleh badan usaha milik negara.
Permohonan dari Bulog diajukan sejak April lalu. Namun, untuk mendapatkan lampu hijau dari Kementerian Perdagangan, Bulog harus lebih dulu mengantongi surat penugasan dari Kementerian BUMN dan rekomendasi impor dari Kementerian Pertanian. "Rekomendasi dari Kementerian Pertanian ini baru keluar 8 Juni," ujar Partogi saat ditemui di kantornya, Kamis pekan lalu. "Kalau kami keluarkan izin 11 Juni, berarti tidak terlambat."
PINGIT ARIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo