Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk ukuran rumah potong hewan, Nolan Meat Abattoir sangat hening. Di pelataran, hanya terdengar langkah sapi di pejagalan di Gympie, Queensland, tersebut. "Muuu"-nya sapi cuma satu-dua kali terdengar.
Tempo menyambangi tempat itu bersama rombongan dari Kedutaan Besar Australia, Mei lalu. Undangan itu sedikit-banyak menjadi tanggapan atas pemberitaan di majalah ini pada Februari tahun lalu. Di edisi tersebut, kami menulis hasil penelusuran atas dugaan suap ke petinggi Majelis Ulama Indonesia terkait dengan sertifikasi halal daging sapi Australia.
Pengelola meminta kami perlahan dalam melangkah. "Kami tidak ingin sapi-sapi itu mengalami stres," ujar Terry Nolan, Direktur Nolan Meat, nyaris berbisik. Perusahaannya memotong 570 sapi per hari dan memasok 1,5 persen kebutuhan daging sapi negaranya. Tahun lalu, mereka bisa mengirim tiga peti kemas-berisi 50 ton daging beku-per pekan ke Indonesia.
Nolan dan 430 pekerjanya memang berlabel jagal, tapi mereka memperlakukan seratusan sapi yang segera mengakhiri hidupnya siang itu seperti guru taman kanak-kanak membimbing muridnya. Serba lembut. Kalau ada sapi yang ogah maju, misalnya, mereka hanya menepuk-nepuk pinggulnya. "C'mon, mate." Tidak ada entakan, apalagi cambukan.
Manajemen stres menjadi standar operasi rumah potong hewan di Australia. Parameternya mudah terlihat. "Sapi yang mengalami stres melenguh terus," ucap Nolan, 53 tahun. Perlakuan lembut tersebut tidak hanya berasal dari tuntutan aktivis kesejahteraan hewan, tapi juga dari sisi bisnis. Stres membuat gula darah sapi drop. Sapi yang menyudahi hidupnya dengan kondisi itu menghasilkan daging yang gelap dan cepat busuk. "Standar nasional melarang daging kehitaman lebih dari 5,4 persen," ujar Nolan.
Didirikan pada 1964 oleh Pat, ayah Nolan, rumah jagal itu hanya menerima sapi sejak mendapat sertifikasi halal dari Dewan Ulama Queensland pada 2004. Mereka tidak lagi mengeksekusi dengan penetrative bolt, yang langsung melubangi tengkorak. Sesuai dengan syariah, seperti yang kami saksikan, sapi dibuat pingsan dengan stunner-alat kejut dengan kompresi udara-lalu dinding di sisi kanannya dibuka sehingga ia terguling menghadap kiblat. Bismillah, sebilah pisau 40 sentimeter mengakhiri hidupnya. "Sesuai dengan syariah, harus terputus kerongkongan, tenggorokan, dan dua nadinya," kata Nolan.
Stunning menjadi praktek wajib dengan alasan kesejahteraan hewan. Penelitian Universiti Putra Malaysia di Nolan Abattoir pada 2008 mendapati gelombang otak sapi yang disembelih secara langsung acak-acakan. "Peneliti menyimpulkan sapi itu kesakitan," ucap Nolan. Sapi di kelompok kedua dieksekusi dengan penetrative bolt. Mereka langsung mati dengan gelombang otak rata. Sapi di kelompok ketiga di-stun sebelum penyembelihan. "Hasilnya sama dengan yang kedua, mereka tidak merasakan apa-apa."
Selang 26 menit setelah penyembelihan, sapi-sapi itu sudah berbentuk karkas-setelah melewati delapan titik, dari pelepasan kepala sampai pengerukan jeroan-dan masuk ruang pendingin. Menurut Nolan, satu sapi bisa terkirim ke 40 negara.
Azwar, dokter hewan dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bogor yang sedang magang di sana, mengatakan perbedaan terbesar RPH Australia dan Indonesia ada pada kejujuran. Menurut dia, saat sapi dikejutkan di dahinya, ada saja yang tidak pingsan. Sapi itu hanya tergeletak lemas, tapi masih sadar. Jika sudah begitu, jagal Australia akan menembaknya dengan pistol, memisahkannya, lalu dilabeli daging tidak halal. Saban hari, ada satu-dua sapi di Nolan Meat yang masuk "non-halal meat". "Kalau di tempat kita kan eman-eman, dipotong saja," ujar Azwar.
Reza Maulana (gympie)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo