DALAM upacara Dies Natalis ke 29 UI di Balai Sidang Senayan
Jakarta awal pekan lalu tampak pemandangan tidak biasa. Para
Pembantu Dekan III (bidang kemahasiswaan dan alumni) hadir
dengan seragam hijau militer. Ada apa? Beberapa jam kemudian,
seusai upacara, mereka menghadiri acara lain.
Siang itu, di halaman Balai Sidang, Rektor UI Mahar Mardjono
yang juga bertindak selaku inspektur upacara, meresmikan
pembentukan Resimen Mahasiswa Jakarta Raya Batalyon UI yang
beranggotakan 300 orang -- 30 di antaranya puteri. Seragam
mereka merupakan hadiah dari Pangdam V Jaya Mayjen Norman
Sasono.
Selama 3 minggu sejak 8 Januari lalu mereka mengikuti latihan
dasar militer selama 100 jam. Sebagian besar mengambil tempat di
kampus UI, meliputi pengetahuan dasar kemiliteran, pertahanan
keamanan, perlindungan masyarakat. Selain itu, selama 5 hari,
mereka tinggal di kompleks Kesatrian Kopassandha Cijantung,
Jakarta Timur, berlatih non-stop sejak subuh sampai malam.
Dalam pelajaran ketrampilan lapangan itu tercakup pelajaran
menembak, meluncur dan merayap dengan tali, lintas medan,
penyerangan pendadakan. Kemudian juga long march Jakarta-Bogor.
Tapi mengapa UI baru sekarang membentuk Resimen Mahasiswa?
Menurut Dan Yon Menwa UI, Zulfahmi Hasan dari FIS-UI, karena
semula masih ada beda pendapat antara Satuan Tugas Mahasiswa UI
dengan Resimen Mahasiswa Jakarta Raya.
Ganjelan
Dalam rapat kerja para Dan Yon Menwa se Jakarta di penghujung
1977 lalu, ganjelan itu belum semuanya terselesaikan. Misalnya
atribut, baret dan nomor batalyon. "Kita minta atribut lama
tidak dipakai lagi," kata Zulfahmi. Baret kuning yang selama ini
dipakai Men Mahajaya juga ditolak. Mereka juga minta agar Menwa
UI dijadikan Batalyon 1.
"Di lain tempat, universitas negeri biasanya dijadikan Batalyon
1. Kenapa kita jadi Batalyon 6?" ujar Zulfahmi lagi. Sampai
sekarang, Menwa UI tidak bersedia memakai baret kuning. "Kita
menginginkan warna lain yang mencerminkan pengintegrasian dari
tiga resimen sebelumnya," tambahnya. Meskipun akhirnya Gubernur
DKI memutuskan baret kuning itu pula yang harus dipakai, Menwa
UI tetap menolak.
"Resminya kita harus tunduk pada keputusan itu. Tapi kita ingin
menunjukkan bahwa dalam Menwa, wewenang komando tidak mungkin
berjalan sepenuhnya seperti dalam ABRI. Kita ini kan mahasiswa,"
kata Benny S. Guntur, mahasiswa FIS-UI yang jadi ketua Kvrps
Senior Menwa UI dan yang bertugas mendampingi Dan Yon Menwa UI.
Tapi bagaimana pun, sejak 1976 lalu, Satgasma UI itu pun
bergabung juga dalam Resimen Mahasiswa Jakarta Raya.
Dua resimen lainnya adalah Mahajaya (resimen dari mahasiswa
perguruan tinggi swasta) dan Mahatirta (resimen mahasiswa
perguruan tinggi yang bidang studinya nasalah bahari, misalnya
Akademi Ilmu Pelayaran). Penggabungan tersebut diadakan setelah
keluar SK 3 Menteri -- Hankam, P&K serta Dalam Negeri -- yang
antara lain menyebut: Setiap propinsi hanya dibenarkan ada satu
Menwa.
Di balik semua itu ada cerita panjang. Tahun 1962, seperti
halnya di perguruan tinggi lain, di UI dibentul satu Batalyon
Men Mahajaya. Lima tahun kemudian, Departemen Hankam
memperkenalkan proyek Wajib Latih Mahasiswa alias Walawa. Hanya
dibentuk di beberapa perguruan tinggi negeri, tahun 1972 Walawa
dibekukan, sementara Men Mahajaya dan Mahatirta di Jakarta jalan
terus.
Tidak seperti Sat Walawa di kota-kota lain yang begitu dibekukan
lantas bergabung dengan resimen induknya, Sat Walawa UI enggan
kembali masuk dalam Men Mahajaya -- yang memang merupakan
induknya sebelum ada Walawa. "Sampai 1974, struktur staf Walawa
masih tetap kita pertahankan," tutur Benny S. Guntur.
Tapi kemudian Sat Walawa UI dilikwidir lalu dibentuklah Satgasma
UI atau Satuan Tugas Mahasiswa UI. "Berbeda dari Men Mahajaya
dan Sat Walawa, Satgasma UI tidak punya hubungan koordinatif
maupun komando dengan pihak luar. Tapi langsung di bawah komando
Rektor UI sendiri," ucap Benny lagi. Nah, Satgasma UI inilah
yang akhirnya bergabung dengan Men Mahajaya dan Mahatirta itu.
Timtim
Di antara Menwa-Menwa, tampaknya Men Mahawarman di Jawa Barat
yang tertua. Bibitnya tumbuh dari FK-Unpad, Bandung. Ketika itu,
1959. ABRI sedang giat-giatnya menumpas DI/TII Kartosuwiryo. Tim
medis FK-Unpad yang terjun ke medan operasi mendapat tanggapan
positif Pangdarn VI/Siliwangi, Kolonel Kosasih. Maka 13 Juni
1959, dibentuklah Menwa di sana.
Apa sih perlunya Menwa? Menurut Kepala Biro Pembinaan Kekuatan
Rakyat Kodam V/Jaya Letkol Soetjipto, Menwa merupakan salah satu
unsur pertahanan sipil alias Hansip. Unsur lainnya: keamanan
rakyat (Kamra) dan perlawanan rakyat (Wanra).
Pernah diikutsertakan dalam Latihan Gabungan Brigade ABRI di
Sukabumi 1977, ada pula beberapa orang yang bertugas ke Timor
Timur. Tapi di garis belakang. Belum lama ini malah 50 anggota
Menwa dari seluruh Indonesia diikutsertakan dalam Kontingen
Garuda ke Timur Tengah. Mereka diberi pangkat Sersan Dua.
Selain Menwa, di kalangan mahasiswa juga ada Perwira Cadangan
atau Pacad yang beranggotakan minimal sarjana muda. Setelah
lulus latihan kemiliteran 6 bulan, mereka mendapat pangkat
Letnan Dua Cadangan. "Kalau negara memerlukan, mereka bisa
ditarik dalam wajib militer," ujar Soetjipto. Di seluruh
Indonesia kini baru ada 18 Pacad dari berbagai perguruan tinggi,
di samping 9 Pacad yang terdiri dari pegawai negeri atau Camat.
Para Pacad ini kelak merupakan komandan pasukan yang
beranggotakan Cadangan Nasional Tamtama, yaitu pasukan cadangan
yang direkrut dari Wanra. Mereka dimanfaatkan bila negara dalam
keadaan perang. Dan semuanya tentu sudah diatur dalam lRUU
tentang Bela Negara yang awal bulan ini disampaikan oleh
Menhankam M. Jusuf kepada Presiden.
Berbeda dengan Menwa yang ekstra kurikuler, mata kuliah kewiraan
yang hltra kurikuler dan non-fisik selama ini masih ada,
meskipun baru terbatas untuk perguruan tinggi negeri. Tapi
bagaimana peranan Menwa itu sendiri, cerita l:.etkol Anas Malik
menarik. Ketika masih berpangkat Mayor di awal 70-an Anas yang
kini menjabat Kadis Pendam V/Jaya itu pernah menjadi Komandan
Sat Walawa UI selama 2 tahun.
"Saya dulu sering membawa mahasiswa berlatih kemiliteran ke
gunung dan hutan. Tak ada perbedaan tingkat sosial di antara
kita. Pakai seragam sama, tidur di tempat sama, makan
sama-sama," Anas mengenang. Selain mengajak anak buahnya
mengamankan ujian saringan masuk UI di Senayan, juga
"membersihkan gelandangan di lingkungan kampus".
Tapi itu dulu. Bagaimana dengan hlenwa yang sekarang? Bagi
Rektor UI, Mahar Mardjono, kegiatan Menwa Yon Ul tetap harus
tergantung padanya. "Sebab di sini sayalah yang berkuasa,"
katanya pekan lalu di kantornya. Maksudnya mereka harus tetap
menomor-satukan kegiatan akademis. Atau memanfaatkan liburan
untuk kegiatan Menwa. "Dan kalau sedang ada ujian, tentu saja
mereka saya larang mengadakan latihan," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini