Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Awas, spanduk kuning

Pemda DKI jakarta memasang spanduk kuning bagi bangunan yang menunggak pajak bumi dan bangunan. bunyinya: "perhatian. tanah dan bangunan ini PBB-nya belum bayar". sebuah pabrik biskuit terkena.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YEEE . . ., pabrik ini nggak bayar pajak. Mau digusur, ya." Demikian teriak beberapa murid SD tatkala membaca spanduk di sebuah pabrik biskuit di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, pekan yang lalu. Ya, begitulah memang bunyi spanduk itu, yang kedengarannya tak sedap: "Perhatian. Tanah dan Bangunan Ini PBB-nya Belum Bayar". Tulisan berhuruf kapital itu nampak jelas di atas kain kuning, lengkap dibubuhi lambang DKI. Apa sengaja ingin mempermalukan para wajib pajak? "Pemda DKI sama sekali tidak berniat mempermalukan," ujar Djoko Brotosuryono, Kepala Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta. Rupanya, baru satu gedung yang pada 3 Mei silam ditempeli spanduk kuning itu. Soalnya, produsen biskuit yang tersohor sejak lebih dari 20 tahun silam itu sejak 1986 belum melunasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sebenarnya ada empat perusahaan lain yang senasib. Tapi masih belum terkena spanduk kuning, karena masih berunding. Pemilik pabrik biskuit itu mungkin sedang apes. Berdiri di atas tanah seluas 20.000 m2, yang sebagian besar ditumbuhi rumput liar, pabrik kumuh itu tadinya cuma membayar Ipeda Rp 50-75 ribu setahun. Kini, pengusaha biskuit itu kabarnya diharuskan membayar PBB yang 30 kali lipat Ipedanya alias naik 3.000%. Malahan, pabrik tua itu dijadikan contoh buruk di layar gelas, ketika TVRI menayangkan persoalan PBB di DKI Jakarta baru-baru ini. Namun, kata Djoko, "pabrik biskuit itu sudah diberi peringatan sampai tiga kali, tapi tak digubris." Di pihak lain, pemerintah -- dalam hal ini Ditjen Pajak -- makin berat beban targetnya. Khusus untuk penerimaan PBB, yang tahun lalu targetnya Rp 322 milyar, tahun anggaran berjalan ini mencapai Rp 638 milyar, naik 98%. Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad nampaknya yakin, target pajak tahun 1989-90 bisa dicapai. "Asalkan seluruh tenaga dan daya secara nasional dikerahkan untuk mencapainya," katanya. Maka, meluncurlah istilah "habis-habisan" untuk menggapai target tersebut. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto pun, bila berkunjung ke kecamatan-kecamatan maupun kelurahan di wilayahnya, tak lupa mempertanyakan soal pemungutan PBB. Target PBB yang menjadi beban DKI memang tambah berat. Dalam tahun anggaran berjalan ini mesti terkumpul Rp 94,5 milyar, naik Rp 43,3 milyar atau hampir 85% dari tahun lalu. Cara menghukum dengan mengerek spanduk kuning, kendati tak persis benar, sudah diterapkan di Kabupaten Banyumas. Dengan SK Bupati No. 973/141 1986, kecamatan yang warganya belum lunas membayar PBB harus mengerek bendera kuning yang bertuliskan: PBB desa-desa kami belum lunas (TEMPO, 1 November 1986). Itulah kerja tim intensifikasi PBB di kabupaten sana. Selain tim-tim intensifikasi seperti itu digalakkan, Ditjen Pajak pun mulai memanfaatkan dana Bank Dunia untuk menilai tanah dan bangunan yang mahal-mahal di perkotaan -- antara lain Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Maklum, seperti kata Karsono Suryowibowo, Direktur PBB Ditjen Pajak, orang kota kurang patuh dibandingkan orang desa. Namun, kegiatan intensifikasi itu menimbulkan masalah juga. Presdir Bogasari Flour Mill, Soedwikatmono, yang punya kompleks gedung bioskop keren '21' misalnya, pernah disodori surat peringatan karena telat membayar PBB. "Setelah diusut-usut, PBB yang sudah saya bayar ternyata belum disetorkan oleh lurah," kata bos yang mengaku sudah membayar PBB sekitar Rp 50 juta untuk Indocement. Kendati demikian, ia senada dengan Ciputra. "Pemasangan spanduk itu perlu sebagai shock treatment," ujar bos PT Pembangunan Jaya, yang katanya sudah membayar PBB untuk Taman Impian Jaya Ancol Rp 172 juta. Nah, siapa lagi bakal terjaring spanduk kuning?Suhardjo Hs., Linda Djalil, Sri Pudyastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum