SAAT-saat yang rawan itu telah berlalu. Sesuai dengan jadwal, ADB -- Bank Pembangunan Asia -- menutup sidang tahunannya ke-22 di Beijing, Sabtu pekan silam, tanpa harus membuang banyak energi untuk sebuah isu kontroversial: Pembentukan AFIC atau Asian Finance and Investment Corporation. Suara-suara Gubernur ADB dari Jerman Barat dan Inggris, memang meragukan alasan AFIC tersebut, sedangkan wakil dari AS, Charles Dallara, menyatakan kurang berkenan atas komposisi saham AFIC. Pendapat Dallara bukanlah hal baru untuk pucuk pimpinan ADB, terutama Presiden Masao Fujioka, yang adalah pemrakarsa utamanya. Dalam konperensi pers seusai penutupan sidang ADB, dengan tenang Fujioka menjelaskan bahwa dia tak akan mundur dalam upaya menegakkan AFIC. "Kami bahkan sudah mempersiapkan sejum- lah dana untuk itu. Dengan ini, kami bukan bermaksud menyaingi ABD, tapi sekadar berusaha agar gagasan AFIC bisa terlaksana," katanya. Lalu Fujioka mengingatkan bahwa ADB kini menyalurkan US$ 50 juta untuk banyak proyek kecil swasta di banyak negara anggotanya. Dengan banyaknya negara yang sedang mengembangkan industri mereka di kawasan itu, maka bantuan untuk sektor swasta memang diperlukan, "Kalau tidak, proyek-proyek itu akan telantar," lanjutnya. Besar kemungkinan, bila kelak AFIC terbentuk juga, maka lembaga yang direncanakan sebagai badan yang mandiri itu tidak di bawah ADB -- akan merupakan kerja atau karya penting Fujioka sebelum ia mengundurkan diri, November depan. Terlepas dari gaya kerjanya yang kurang bisa diikuti -- Fujioka memang selalu serba cepat -- Presiden ADB ini diakui banyak pihak telah berjasa membuat ADB siap menghadapi tuntutan kawasan ini yang cepat berubah dan terus berkembang. Tapi, Kanada dan Nederland, dan sejumlah anggota ADB yang lain, menilai kemungkinan AFIC kelak bukannya menunjang, tapi justru menjadi saingan. Lagi pula ADB sendiri sudah memiliki satu departemen khusus untuk menyalurkan pinjaman bagi sektor swasta. Perlu diingat, sejak mula prioritas ADB adalah meningkatkan taraf hidup dan martabat manusia. Bukan menyokong ekonomi negara industri baru, seperti direncanakan Fujioka lewat AFIC. Singkatnya, ada kekhawatiran misi ADB memerangi kemiskinan bisa disaingi AFIC yang pasti akan lebih bersifat komersial. Beberapa pengamat berpendapat, kekhawatiran itu agak dicari-cari. Di samping itu, dewan para ahli yang diketuai Prof. Saburo Okita, pakar ekonom dan bekas Menlu Jepang, juga menyarankan agar ADB meluaskan kegiatannya di sektor swasta tersebut. Hanya disayangkan, dewan para ahli tak merinci bagaimana seharusnya rencana kegiatan swasta itu direalisasikan. Tentang ini direktur eksekutif ADB Sofian Djajawinata menjelaskan, dewan memang tidak diharapkan membuat cetak-biru berikut rinciannya. Terdiri dari lima anggota, yakni para ahli dari lima negara, dewan yang juga dikenal sebagai dewan Okita itu bekerja selama satu tahun, untuk merumuskan berbagai pikiran dan gagasan. Hasilnya akan dimanfaatkan sebagai pedoman kerja ADB selama dekade 1990-an. Dalam rumusan yang dituangkan dengan nama laporan Okita, dewan para ahli menyarankan tiga hal penting, sebagai berikut: * Agar ADB tetap berfungsi sebagai penyalur dana untuk proyek kesejahteraan umum? populer dikenal sebagai misi memerangi kemiskinan. Dalamnya termasuk usaha memajukan pendidikan, kesehatan dan melestarikan lingkungan. Bahwa di kawasan Asia yang ekonominya berkembang dinamis dihuni 500 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, jelas memprihatinkan dewan. * Agar ADB memperluas kegiatan di sektor swasta. * Merekomendasikan agar ADB berdialog tentang strategi pembangunan dengan sesama angggota -- sesuatu yang juga sudah dirintis Fujioka. Adalah pembahasan laporan Okita yang banyak menyita waktu dalam sidang tiga hari itu. Kebanyakan pembicara dari 47 negara, mendukung tiga prioritas itu. Sementara itu, Christopher Patten dari Inggris, mengingatkan pentingnya peran wanita, khususnya yang luput dari perhatian Okita. Dan Paul Krwkowski dari Kanada mempertanyakan, mengapa dewan ahli tak diperkuat dengan seorang anggota wanita. Dewan terdiri dari Saburo Okita, Prof. Amartya K. Sen dari India, Prof. Sadli dari Indonesia, Emil Van Lennep dari Belanda, dan John M. Henessy dari Credit Suisse. Sejauh menyangkut utang, gubernur pengganti ADB dari Muangthai, Panas Smsathien, menyesalkan tingkat bunga ADB yang tampaknya rendah, tapi nyatanya tidak. Mengapa? Karena risiko perubahan nilai mata uang sudah tercakup di dalamnya. Dia mengimbau agar negara peminjam boleh memilih satu atau lebih mata uang yang cocok dengan kondisi utang. Juga agar ADB bersama Bank Dunia mencari jalan keluar untuk melindungi negara peminjam dari risiko merosotnya nilai mata uangnya gara-gara makin kuatnya nilai mata uang sejumlah negara maju, terutama Jepang dan Jerman Barat. Menkeu Sumarlin mengingatkan agar negara-negara yang patuh membayar utang, hendaknya tidak luput dari program penghibahan utang, seperti yang direncanakan Nicholas Brady, Menkeu AS. Pendapat yang sama diutarakan gubernur ADB dari India.S.B. Chavan. Perlu dipuji sikap tuan rumah RRC yang terbuka dan mengesankan. Terhadap gagasan mendirikan AFIC, RRC mengusulkan studi yang lebih mendalam sebelum mengambil sikap akhir. Mengenai aksi-aksi mahasiswa, Sekjen PKC Zhao Ziy Ang beranggapan, itu bukanlah indikasi adanya ketidakstabilan di RRC. Ia mengimbau agar calon PMA tak mengubah niatnya untuk menanamkan uang mereka di RRC. Persis pada hari penutupan, 6 Mei, sebagian delegasi sudah meninggalkan Beijing, sedangkan hal-hal teknis akan dibahas lebih lanjut di Manila, Juni mendatang. Di dalamnya termasuk penggantian Presiden ADB -- Fujioka akan mundur setelah bertugas 8 tahun -- dengan calon pengganti terkuat Kimimasa Tarumizu dari kementerian keuangan Jepang. Apakah di bawah bos ADB yang baru kelak, lembaga tersohor ini bisa semakin mrak mengangkat derajat para anggotanya, itulah tantangan nomor satu di pundaknya.Isma Sawitri (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini