MEMBINGUNGKAN. Itu pendapat beberapa eksportir suku bunga kredit ekspor. Pasalnya? Ya, baru dua bulan lalu pemerintah mengumumkan, penghapusan fasilitas kredit ekspor (KE) akan dipercepat dua tahun, dari 1992 menjadi 1990. Mendadak sontak, dua pekan lalu, muncul pengumuman: Mulai 11 Mei, bunga KE dinaikkan. Untuk komoditi primer, seperti karet, dan kopi, naik 5% menjadi 14%. Komoditi non-primer bunganya naik 3% menjadi 14,5%. Jelas, ini memukul banyak eksportir, yang umumnya mengandalkan lunaknya bunga KE. Komentar Sutrisno Budiman, Ketua Gabungan Produsen Karet Indonesia, "Kami jadi ragu-ragu apakah sasaran ekspor karet tahun ini akan bisa tercapai." Yaitu 1,2 juta ton dengan nilai sekitar US$ 1 milyar. Malangnya, harga karet di pasaran luar negeri saat ini memang sedang menurun. Karet jenis SIR 20 misalnya, yang akhir April lalu masih 90 sen dolar AS per kg, kini tinggal 87 sen dolar. "Sehingga, naiknya bunga KE seperti sekarang, terasa berat," ujar Budiman. Soalnya, dengan berkurangnya perangsang tersebut, mau tak mau para pengumpul akan menekan harga beli mereka dari petani. Dan petani, tutur Budiman, kalau merasa harga karet yang disadapnya tak layak lagi, "Mereka akan pindah ke ladang masing-masing." Maklum, selain bekerja di perkebunan karet, para petani penyadap rata-rata memiliki ladang sendiri. Kalau tidak, mereka biasa merangkap kerja di perkebunan kopi. "Memang, akhirnya petanilah yang akan repot," timpal Akum Ginting, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Menurut dia, otomatis eksportir akan menimpakan beban tambahannya pada pembelian kopi mentah dari petani, yang di Indonesia berjumlah sekitar 11 juta. Suara senada juga diungkapkan oleh PT Hadtex Grup, produsen tekstil dan pakaian jadi dari Bandung. "Naiknya suku bunga KE, jelas, akan memperkecil keuntungan kami," kata Awong Hadidjaja, Presdir Hadtex. Tentu saja, yang merasakan kenaikan itu bukan hanya eksportir karet, kopi, dan tekstil. Tapi semua eksportir komoditi nonmigas, termasuk rotan. kayu lapis, udang, baja, minyak kelapa sawit, dan beberapa lainnya yang selama ini dijadikan sebagai andalan pendapatan pemerintah. Padahal KE merupakan pendorong yang handal dalam meningkatkan ekspor nonmigas. Bahkan untuk beberapa komoditi tertentu, KE-lah yang dijadikan alasan eksportir untuk menggenjot ekspor sebanyak mungkin. Di sektor karet, misalnya. Sudah lama terdengar bahwa industri hilir yang menggunakan karet sebagai bahan baku seperti pabrik ban, dan sepatu -- menjerit karena kekurangan bahan baku. Pasalnya, karet mentah yang dikumpulkan para pedagang perantara, diperebutkan oleh banyak eksportir. Mereka berlomba mengeskpor sebanyak mungkin, hanya agar bisa memenuhi target ekspor yang telah disepakati bersama bank. Artinya, kalau target yang ditandatangani bersama para bankir itu terpenuhi, maka pinjamannya tak lagi dikenakan tingkat bunga umum yang berkisar antara 22 dan 26%. Tapi cukup membayar tingkat bunga KE. "Kami lebih banyak bekerja untuk bank," kata seorang eksportir karet dari Pontianak. Eratnya kaitan antara subsidi KE, dan peningkatan volume ekspor, sudah diperhitungkan. Artinya, pemerintah pun tahu persis bahwa KE salah satu pendorong ekspor yang diandalkan. Buktinya, nilai ekspor rata-rata per bulan terus meningkat. Kalau pada tahun anggaran 1983/1984 rata-rata ekspor nonmigas baru mencapai 447 juta dolar per bulan, maka pada semester II tahun 1988/1989 telah meningkat menjadi 1.020,33 juta dolar AS. "Tapi daya saing yang ditopang oleh subsidi itu merupakan daya saing semu," kata Gubernur Bank Indonesia Dr. Adrianus Mooy, pekan lalu. Padahal, yang diinginkan oleh pemerintah adalah daya saing yang murni, "Sehingga bisa lebih menjamin terobosan-terobosan ekspor kita di pasar internasional," lanjut Mooy. Hanya saja, pemerintah tidak melepaskan beleidnya begitu saja. Tapi didukung dengan dilonggarkannya batas waktu L/C ekspor berjangka (usance L/C), dari enam bulan menjadi 12 bulan. Di samping itu, wesel-wesel tagih dalam mata uang asing (di luar dolar) pun kini bisa langsung dirediskontokan -- sebelumnya, wesel di luar dolar AS terlebih dahulu harus dikonversikan ke dalam dolar AS, baru bisa dirupiahkan. "Tujuannya, agar eksportir tidak sampai mengalami kesulitan likuiditas," kata Dahlan Sutalaksana, juru bicara BI. Memang, dinaikkannya bunga KE, membuka peluang bagi eksportir untuk melirik ke pasar kredit di luar negri. Sebab bagaimanapun, bunga di sana masih lebih murah ketimbang KE. Pinjaman antar-bank di Singapura (Sibor), misalnya, hanya 11%, yang kalau ditambah dengan biaya administrasi plus komisi untuk bank, jatuhnya menjadi sekitar 13,5%. Apalagi bunga KE yang 14 dan 14,5% itu bukanlah angka paten. Maksudnya, masih ada biaya-biaya lainnya (untuk bank yang memberikan kredit), yang harus ditanggung eksportir, "Untuk ngurus ininyalah, itunyalah. Sehingga secara efektif suku bunga yang ditanggung menjadi lebih besar dari 14,5%," kata ahli moneter Dr. Anwar Nasution. Benarkah? "Belum tentu," kata Towil Heryoto, Direktur Pelaksana Bank Pembangunan Indonesia. Menurut dia, dengan semakin menjamurnya bank-bank baru sebagai konsekuensi dari Pakto 1988, maka persaingan pun akan semakin seru. Artinya, untuk menarik nasabah, "Bank-bank akan menawarkan pelayanan yang lebih mudah, cepat, dan murah," ujarnya. Betul. Disertai undian menarik seperti uang tunai, lagi. Lebih dari itu, Towil tetap optimistis bahwa eksportir tak akan lari ke pasar kredit di luar negri. Alasannya, menjalin hubungan dengan bank-bank di luar negeri, tidaklah mudah. Ditambah lagi, bunga hanyalah merupakan salah satu dari sekian banyak biaya yang harus dikeluarkan eksportir. "Jadi, menurut saya, angka 14 dan 14,5, yang masih di bawah tingkat bunga umum, tetap atraktif," ujarnya. Terlepas dari segala ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh naiknya bunga KE, pada akhirnya, semua yang berbau subsidi ekspor akan dihapus. Paling tidak, itu akan terjadi di tahun 1990, sesuai dengan perjanjian GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang telah disetujui oleh Indonesia dan Amerika. Budi Kusumah, Bambang Aji, dan Liston Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini