MELAKUKAN perjalanan dengan membawa segepok uang memang tak nyaman. Padahal, selain dari ekspor nonmigas, pemerintah sedan giat-giatnya mengeruk dolar dari industri pariwisata. Dan industri ini akan semakin naik bila wisatawannya merasa nyaman dan aman Itulah sebabnya, Cek Pos Wisata (CPW), yang diorbitkan Desember lalu, kini mulai gencar dipromosikan. Produk baru Perum Pos dan Giro ini memang diarahkan untuk menjamin keamanan wisatawan. Dengan CPW, yang bentuknya mirip lembaran rupiah, si pemegang akan merasa aman, ke mana pun dia pergi. Sebab, tanpa tanda tangan pemilik, CPW tak dapat diuangkan. Juga kalau hilang, pemegang cukup melapor ke kantor pos terdekat, ditambah biaya administrasi Rp 5.000, maka ia akan menerima CPWnya yang hilang. Fungsinya mirip dengan traveller cheque memang. Bedanya, cek pelancong itu hanya bisa diuangkan pada bank-bank tertentu. Sedang CPW berlaku hingga tingkat kecamatan, bahkan kelurahan. Pokoknya, di mana ada jaringan pelayanan pos (termasuk mobil pos keliling), di situ CPW bisa diuangkan. "Mudah, praktis. dan tak sulit dicairkan," kata Kusnandana, Kahumas Pos & Giro Jakarta I. Menurut dia, hingga akhir April lalu telah terjual 829 buku bernilai Rp 390 juta. Dibandingkan dengan ragam CPW yang ditawarkan, angka itu belumlah besar. Pukul rata, berarti CPW yang dijual baru yang benilai nominal Rp 500 ribu per buku. Sedang yang ditawarkan ada lima jenis: nominal Rp 100 ribu, 250 ribu, 500 ribu, sejuta, dan Rp 2,5 juta per buku. Setiap buku berisi 10 lembar dengan nominal yang sama. Entah apa yang menyebabkan penjualan CPW tak selancar promosinya. Yang pasti, seperti yang dicantumkan dalam iklan maupun selebaran, CPW bisa dibeli di 41 kantor pos yang tersebar di berbagai kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga kota terpencil seperti Kupang dan Jayapura. Toh seorang pejabat di Perum Pos & Giro membantah kalau penjualan CPW disebut seret. "Itu karena belum banyak dikenal orang saja," katanya. "Mungkin orang masih meragukan tingkat likuiditasnya," ujar sumber tersebut. Maksudnya, karena masih berupa barang baru, orang belum yakin benar CPW akan mudah dicairkan. Padahal, jika dibandingkan dengan cek biasa sekalipun, CPW boleh dibilang jauh lebih praktis. Bayangkan, kalau sampai mobil pos keliling bisa dijadikan sebagai tempat penukaran, berarti CPW paling tidak bisa dicairkan di 3.586 tempat. Ini sesuai dengan jumlah kecamatan yang ada di Indonesia, yang sudah pasti memiliki sebuah kantor pos. Dan itu belum termasuk ribuan mobil pelayanan pos, yang menjelajahi daerah terpencil. Sehingga, boleh dibilang, CPW merupakan alat tukar kedua -- dalam hal kemudahan pencairannya -- setelah uang. Hanya saja, keterbatasan mungkin akan muncul karena kondisi kantor pos yang bersangkutan. Misalnya, apakah kantor pos tertentu yang ada di tingkat kecamatan mampu membayar CPW senilai Rp 10 juta. Kelemahan lain, CPW tak berlaku untuk toko dan restoran, seperti halnya duit plastik alias credit card. Tapi itu hanya sementara, "sebab kami belum menjalin hubungan dengan kalangan perdagangan," kata Kusnandana. Maksudnya, kelak kalau sudah memasyarakat, CPW pun akan berfungsi seperti halnya kartu kredit. Lantas apa keuntungan yang dipetik Perum Pos & Giro? Menurut Kusnandana, pihaknya hanyalah memanfaatkan uang yang mengendap. "Selain untuk menunjang likuiditas, dana yang mengendap akan kami putarkan," ujarnya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh para pemakai -- mungkin kelak businessmen pun akan memanfaatkannya -- cukup dengan membubuhkan meterai Rp 1.000 untuk setiap lembar CPW. Jadi, penggunaannya memang mirip cek biasa.Budi Kusumah, Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini