Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan itu sudah meluncur ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 September lalu. Penggugatnya: David Tobing, pengacara yang juga Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Masyarakat Adamsco. Inilah gugatan terbaru yang dilakukan David menyoal kepentingan umum. ”Kalau ini menang, banyak yang merasakan manfaatnya,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu
David dikenal sebagai pengacara yang kerap mempersoalkan hal-hal yang dinilainya merugikan konsumen. Dia, misalnya, pernah menggugat perusahaan Secure Parking karena dianggap lepas tangan jika ada kendaraan hilang di area parkir yang dikelolanya. Mahkamah Agung memenangkan gugatan David. Mahkamah menyatakan perusahaan mesti mengganti kendaraan milik konsumen yang hilang.
Demikian pula gugatan David terhadap sebuah maskapai penerbangan yang secara sepihak mengundurkan jadwal keberangkatannya. Gugatan itu juga dimenangkan pengadilan. Adapun yang dia gugat kali ini: PLN. Gugatan itu didaftarkan David persis pada hari ulang tahunnya ke-41.
David mempersoalkan pemungutan biaya administrasi dalam pembayaran tagihan listrik online. Menurut dia, biaya tambahan Rp 1.500-5.000 itu melawan hukum. Sebab, pungutan itu merupakan pengalihan tanggung jawab oleh PLN tanpa akta perjanjian dengan konsumen. David meminta kutipan itu disetop. Adapun uang yang telanjur ditarik bank harus dikembalikan kepada pelanggan.
Di samping PLN, yang digugat David adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Badan Usaha Milik Negara. ”Dua kementerian tersebut lalai dalam mengawasi dan menghentikan pungutan yang membebani konsumen.”
Sistem pembayaran online diberlakukan PLN sejak 27 Oktober 2000, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional. Waktu itu namanya masih sistem PraQtis, kependekan Pembayaran Tagihan Listrik Fleksibel dan Otomatis.
Cita-cita PraQtis tergolong mulia. Manajemen PLN menganggap cara konvensional, pembayaran tagihan listrik dengan uang tunai, merepotkan pelanggan dan tak aman. Setiap bulan, pelanggan harus pergi ke loket pembayaran listrik yang sudah ditentukan. Pelanggan di satu area tak bisa membayar tagihan di sembarang loket. Alhasil, antrean pelanggan selalu mengular di setiap loket pembayaran. Tumpukan uang tunai yang disetor pelanggan pun rawan kejahatan, misalnya dirampok. ”Dengan sistem online, transaksi lebih praktis, mudah, dan aman,” kata Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN, pekan lalu.
Senada dengan penjelasan PLN, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jarman mengklaim sistem pembayaran listrik online selama ini disambut positif oleh masyarakat. Menurut dia, dengan sistem itu akan terjadi efisiensi waktu dan biaya bagi pelanggan. ”Sistem itu untuk mempermudah pelanggan,” kata Jarman.
Untuk menerapkan sistem online itu, semula PLN menggandeng PT Sarana Yukti Bandhana. Sarana lalu menggandeng bank untuk menarik tagihan listrik, baik lewat kasir bank maupun lewat jaringan anjungan tunai mandiri. Dalam kerja sama tiga pihak ini, Sarana bertindak sebagai switching company, semacam perantara dan pengalih data.
Dalam kontrak pertama, berlaku lima tahun sejak 1999, PT Sarana tak meminta bayaran apa pun dari PLN. Mereka hanya meminta PLN menyediakan data tagihan pelanggan saban bulan. Sarana lalu membebankan ongkos penarikan tagihan kepada pelanggan melalui bank mitranya. Uang itu dibayar konsumen bersamaan dengan tagihan listrik di bank tersebut. Jumlahnya suka-suka bank yang menentukan.
Majalah Tempo edisi Maret 2009 pernah menginvestigasi kerja sama Sarana-PLN ini. Ternyata ada imbalan bagi PLN untuk ini semua. Sarana memberikan ”saham emas” (golden share) sebanyak lima persen. Hanya, saham gratisan itu tidak langsung diberikan kepada PLN, tapi kepada Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN.
Seiring dengan pemberlakuan sistem online, loket tunai tanpa biaya administrasi satu per satu ditutup. Sebagian loket yang dulunya gratis menjadi loket online, setelah bekerja sama dengan bank. Pelanggan pun tak punya banyak pilihan. Mereka memang bisa membayar tanpa biaya administrasi di loket yang menyatu dengan kantor PLN setingkat cabang, tapi loket seperti itu jumlahnya sangat terbatas.
Pada 2008, sistem PraQtis berubah nama menjadi sistem Payment Point Online Bank (PPOB). Bisa dibilang sistem baru ini tetap saja tak menguntungkan pelanggan. Hanya, untuk menghindari tuduhan terlibat praktek monopoli, PLN tak sekadar menggandeng PT Sarana sebagai switching company. PLN juga meminta bank mitra mengajukan perusahaan pengalih data masing-masing.
Meski pungutan administrasi sistem online itu hanya Rp 1.500-5.000 per pelanggan, total uang yang diraup dengan cara ini tak bisa disebut sedikit. Saat ini PLN memiliki 48 juta pelanggan. Sebagian besar dari mereka pun membayar secara online. Misalnya, bila ada 30 juta pelanggan yang membayar secara online, dengan pungutan rata-rata Rp 2.000 per orang, uang yang terkumpul dari konsumen tak kurang dari Rp 60 miliar. Tak mengherankan, pada 2000 hanya ada dua bank yang berminat, pada 2006 sudah 31 bank yang bergabung.
Keuntungan lain bagi bank, sejak PraQtis berubah nama menjadi PPOB, PLN membayarkan sejumlah uang kepada mereka. Dokumen kontrak PPOB antara Bank Bukopin dan PLN pada 2009, misalnya, mengatur imbalan jasa untuk bank. Pasal 10 kontrak itu menyebutkan, untuk pelanggan dengan daya listrik di bawah 200 kilovolt ampere (kVA), bank mendapat imbalan empat per seribu dari seluruh penerimaan. Adapun untuk pelanggan di atas 200 kVA, bank mendapat imbalan Rp 50 ribu per lembar tagihan.
Sejak 2010, sistem PPOB berubah menjadi P2APST alias Pengelolaan dan Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat. Imbalan dari PLN kepada bank mitra pun menjadi sama rata: Rp 448 per lembar tagihan. Toh, pemangkasan imbalan itu tak menyurutkan minat bank. Saat ini, menurut Hoetomo Sidharta dari Bidang Niaga PLN Pusat, ada 58 bank yang menyediakan layanan pembayaran tagihan listrik online.
Asyik buat PLN dan pihak bank, tapi tentu tidak untuk pelanggan. Memang itulah yang terjadi. Tak mengherankan, pada 21 Januari 2010, Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia mengadukan keluhan pelanggan listrik di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Menurut mereka, sistem pembayaran online hanya kesepakatan PLN dengan bank. Konsumen tak bisa dibebani biaya administrasi akibat pemberlakuan sistem itu.
Pada 31 Mei 2010, BPKN mengirimkan surat penilaian dan rekomendasi. Surat dikirim ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan ditembuskan ke Presiden, Wakil Presiden, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, dan direksi PLN.
Menurut BPKN, ongkos pembayaran listrik online itu tanggung jawab PLN. Perusahaan listrik itu tak bisa mengalihkan beban kepada konsumen. Pengalihan biaya serupa kepada pelanggan melanggar Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan itu bisa dipenjara lima tahun dan didenda Rp 2 miliar.
Badan ini kemudian mengeluarkan rekomendasi soal itu. Isinya, kendati BPKN berpendapat sistem pembayaran online perlu dilanjutkan karena banyak manfaatnya, bank dan PLN harus menghentikan penarikan biaya administrasi dari konsumen. Adapun uang yang telanjur ditarik mesti dikembalikan kepada pelanggan, untuk diperhitungkan dengan tagihan berikutnya. Rekomendasi ini rupanya tak bersambut. Menurut Ketua BPKN Suarhatini Hadad, sejauh ini belum ada jawaban resmi dari Kementerian Energi soal pelaksanaan rekomendasi itu.
Karena tak kunjung ada penjelasan, tim BPKN lalu menemui Dahlan Iskan, yang saat itu menjabat Direktur Utama PLN. Dahlan berjanji tak akan menghapuskan loket-loket pembayaran tagihan listrik gratis. Adapun pungutan dalam sistem online akan dibicarakan lagi dengan pihak bank. ”Tapi, sampai bulan lalu, kami masih menerima pengaduan soal pungutan itu,” ujar Suarhatini.
Rekomendasi BPKN ini jelas bukan main-main. Rekomendasi ini pula yang akan dipakai David Tobing sebagai amunisi utamanya dalam pertempuran melawan PLN nanti di meja hijau. ”Itu rekomendasi badan negara independen. Kok, tak dihormati?” kata David. Dia juga menyiapkan sejumlah dokumen lain, termasuk tentu saja bukti-bukti adanya pungutan itu, dalam sidang gugatannya nanti.
PLN rupanya tak gentar menghadapi gugatan ini. Menurut Nineung Pratiwi, mantan Deputi Manajer Hukum PLN Jawa Barat, yang kini ditarik ke PLN pusat, ongkos administrasi sistem pembayaran online sepenuhnya kewenangan bank. Karena itulah, kata dia, PLN tak bisa mencampuri urusan tersebut. ”Jadi gugatan David bisa disebut salah sasaran,” ujarnya. Nineung sudah menyiapkan tim hukumnya untuk menghadapi David cs di pengadilan. ”Ada tim litigasi. Kalau perlu, kami juga akan memakai pengacara dari luar,” katanya.
Jajang Jamaludin, Bernadette Christina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo