Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAMALUDDIN kini bisa tampil gaya. Di saku bajunya terselip telepon seluler terbaru. Bentuknya mirip sekali dengan gadget pintar yang biasa digenggam para eksekutif dan pebisnis. Mereknya tentu saja sangat asing di telinga para penggemar telepon seluler merek terkenal. "Ini buatan Cina, cuma Rp 300 ribu sudah bisa Facebook an," kata pria 25 tahun yang bekerja sebagai kurir di Jakarta ini.
Soal merek, Jamaluddin tak mau pusing. "Yang penting bisa telepon dan SMS," tuturnya. Lagi pula, "Bentuknya seperti BlackBerry, lumayan buat gaul."
Selain murah, telepon seluler buatan Cina tak kalah canggih dibanding produk Eropa dan Kanada. Semua aplikasi ada. Yang membedakan hanya harga. Buatan Cina bisa ditebus hanya dengan Rp 300 500 ribu.
Menurut Ketua Umum Gabungan Elektronik Ali Soebroto Oentaryo, impor barang elektronik Cina terus meningkat. Selama Januari September, angkanya telah mencetak US$ 1,05 miliar-dari seluruh impor produk elektronik senilai US$ 2,991 miliar. Sebagian besar barang yang didatangkan adalah telepon seluler dan komputer jinjing.
Tahun depan, menurut Ali, angkanya bakal bertambah. Pasar elektronik Indonesia untuk kebutuhan konsumsi mencapai US$ 2 miliar setahun. Sedangkan pasar barang elektronik untuk kategori teknologi informasi mencapai US$ 1 miliar per tahun.
Tak hanya oleh barang elektronik, pasar Indonesia kini dibanjiri oleh produk lain, dari mainan, garmen, besi, sampai perkakas rumah tangga. Semua produk Cina kini bisa ditemukan, dari pusat belanja sampai pedagang kaki lima.
Kerja sama perdagangan ASEAN Cina tak berpengaruh banyak pada kinerja ekspor Indonesia. Meski ekspor ke Cina terus tumbuh setiap tahun, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Sampai September tahun ini, total ekspor ke Cina US$ 9,3 miliar. Angka ini naik dari tahun lalu, sebesar US$ 8,9 miliar.
Sebaliknya, impor produk dari Cina juga tumbuh. Sampai September lalu, nilai impor itu sudah mencapai US$ 14,2 miliar. Jumlah ini naik dari tahun lalu, sebesar US$ 13,4 miliar.
Produk unggulan ekspor Indonesia ke Cina adalah hasil pertanian. Produk yang masih menjadi andalan ekspor adalah minyak mentah dari inti sawit (crude oil of palm kernel), minyak kelapa sawit, kopra, dan biji kakao. Sedangkan produk lain masih sulit menembus ketatnya persaingan dengan Negeri Tirai Bambu.
Meski perdagangan dengan Cina defisit, kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan tahun ini dipastikan bakal mengkilap. Bahkan angkanya dipastikan lebih tinggi daripada tahun lalu. Selama sembilan bulan, angka ekspor telah mencapai US$ 110,8 miliar. Angka ini sudah hampir menyamai total ekspor sepanjang tahun lalu, sebesar US$ 116,5 miliar.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yakin nilai ekspor nonmigas 2010 bakal menembus US$ 115 miliar. "Target optimistis pertumbuhan ekspor sebesar 18 persen," katanya. Produk unggulan ekspor seperti tekstil dan produk tekstil, alas kaki, serta barang elektronik bakal mencetak rekor pada tahun ini.
Selama sembilan bulan, neraca perdagangan Indonesia surplus sekitar US$ 13,5 miliar, dengan total impor mencapai US$ 97,3 miliar. Angka ini terus meningkat, khususnya untuk impor nonmigas, sebesar US$ 77,8 miliar. Produk impor selama Januari September didominasi bahan baku dan penolong serta barang modal. Impor barang konsumsi mencapai US$ 7,173 miliar.
Namun pertumbuhan ekspor, yang mengalami kenaikan pada tahun ini, bakal menurun pada tahun depan. Pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan ekspor ditargetkan 10 12 persen.
Alasan penurunan target ekspor adalah pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan tak setinggi tahun ini. "Pertumbuhan sudah beranjak dari kondisi yang tinggi, sehingga pertumbuhan (tahun depan) tak bisa setinggi (tahun ini)," ujar Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar.
Pada tahun depan, kinerja impor diperkirakan bakal tumbuh 12 persen. Tingginya proyeksi impor tak lepas dari dampak masuknya investasi, berupa barang modal.
Bahkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo memproyeksikan arus impor bakal lebih tinggi dibanding ekspor pada tahun depan. Kondisinya diperkirakan menyebabkan terjadinya penurunan surplus neraca perdagangan. "Turunnya surplus neraca perdagangan akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah untuk 2011," katanya.
Namun kalangan pengusaha justru melihat sebaliknya. "Pertumbuhan ekspor yang melebihi target bisa dicapai jika saja pemerintah mau mengeluarkan kebijakan yang mendukung," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Suryo Bambang Sulisto. Caranya, kata dia, melalui pemberian insentif dan suku bunga rendah. "Yang pasti kebijakan harus mengurangi ekonomi biaya tinggi."
Perjanjian perdagangan ASEAN Cina sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menggenjot ekspor Indonesia. Sebab, peluang ekspor masih terbuka lebar. Suryo menyebutkan salah satu kebutuhan pasar Cina adalah produk pertanian. "Pemerintah bisa mendorong untuk menggenjot hasil pertanian agar bisa diekspor ke Cina."
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan punya pendapat sama. "Ekspor kelapa sawit Indonesia masih jauh lebih kecil daripada Malaysia," katanya.
Sampai Agustus lalu, ekspor dari inti sawit ke Cina baru mencapai US$ 125 juta dan minyak kelapa sawit sekitar US$ 28 juta. Angka ekspor ini dinilai Fadhil masih terlalu rendah dibandingkan dengan peluang pasar di Cina.
Berbeda dengan koleganya di pemerintahan, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan peningkatan ekspor jangan hanya mengandalkan produk mentah. "Tapi produk yang memiliki nilai tambah."
Yang terpenting, kata Hidayat, harus ada penguatan industri hilir dalam negeri. "Tugas kami penguatan struktur dan pendalaman industri, sehingga bukan sekadar jual bahan mentah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo