Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pinangan Tak Kunjung Tiba

Infrastruktur buruk memicu produk lokal tidak kompetitif. Sulit diandalkan buat menggenjot pertumbuhan tahun depan.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan lebih dari 200 petinggi perusahaan papan atas Cina, janji itu diucapkan Boediono, menjelang akhir Oktober lalu. Bertempat di People Hall of Guangxi, Nanning, Wakil Presiden RI itu mengiming imingi sejumlah insentif kepada para investor Negeri Panda yang mau terlibat dalam beragam proyek infrastruktur di Indonesia. "Indonesia adalah tempat strategis buat berinvestasi," ujar Boediono setengah berpromosi-dalam dialog itu, yang bertajuk The 7th China ASEAN Business and Investment Summit.

Sebagai bekas Menteri Koordinator Perekonomian plus Ketua Komite Kebijakan Persiapan Percepatan Infrastruktur, Boediono paham pentingnya sektor ini dalam menggerakkan roda pertumbuhan Indonesia. Maka persamuhan dengan para pengusaha Cina bagian selatan itu dia manfaatkan benar guna menjajakan lima proyek unggulan yang menjadi prioritas pemerintah.

Di antaranya proyek pembangkit listrik tenaga uap 2 x 1.000 megawatt di Jawa Tengah (US$ 3 miliar, atau hampir Rp 29 triliun), kereta api bandar udara (US$ 735 juta), Terminal Cruise Tanah Ampo, Bali (US$ 36 juta), dan jalan tol Medan Kuala Namu Tebing Tinggi, Sumatera Utara (US$ 475,52 juta). Tak cuma itu, Boediono juga jorjoran mengundang investor Cina agar mencurahkan dananya bagi proyek lain. Umpama, perluasan tol trans Jawa, jalur kereta api trans Jawa, pelabuhan, serta proyek pembangkit 10 ribu megawatt tahap dua. Indonesia, kata dia, butuh US$ 50 miliar untuk membangun infrastruktur.

Hal lain yang tak luput jadi "jualan" Boediono apa lagi kalau bukan stabilnya situasi makroekonomi Indonesia berkat laju inflasi yang terkontrol. "Indonesia terus memperbaiki iklim investasi dan reformasi birokrasi," katanya. Di depan para tuan berkantong tebal itu, dia berjanji pemerintah akan merevisi peraturan pengadaan lahan dalam waktu dekat.

Boediono memanfaatkan forum itu buat menjajakan beragam proyek karena urusan infrastruktur di dalam negeri rada gawat. Bisa dibilang tidak satu pun proyek berskala besar yang dapat dibangun dalam lima tahun terakhir. Padahal sudah lebih dari satu periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung. "Semua proyek yang ditawarkan selama Infrastructure Summit 2005 dan 2006 mati suri di tengah jalan," kata sumber Tempo di pemerintahan. "Padahal Presiden ingin, paling tidak, ada satu proyek yang jadi selama periode dia memimpin."

Lima tahun lalu, pemerintah menawarkan 91 proyek senilai US$ 22,5 miliar. Tawaran proyek itu meliputi jalan tol, air minum, kereta api, pelabuhan, bandara, telekomunikasi, pembangkit listrik, dan gas. Pada saat itu, sejumlah petinggi pemerintahan kita yakin semua proyek tadi bakal ludes diserbu investor. Bahkan, Hatta Rajasa, Menteri Perhubungan masa itu, berani bilang: "Dilempar ke investor lokal saja bakal sold out." Hasilnya?

Hanya proyek jalan tol yang ada hasilnya, plus dua proyek air minum di Banjarmasin dan Samarinda senilai Rp 91 miliar. Alhasil, harapan pemerintah bertepuk sebelah tangan. Yang menjadi momok adalah ketidakpastian hukum dan birokrasi Indonesia yang berbelit belit. Belum lagi urusan pembebasan lahan yang bisa bikin investor asing mumet dan buru buru angkat koper. Para investor juga waswas menjadi korban pemerasan aparat pajak. Akibatnya, proses tender cuma terdengar sayup sayup.

Tahun berikutnya, pemerintah menjajakan 111 proyek senilai US$ 16,7 miliar tapi kali ini cuma 10 proyek seharga US$ 4,5 miliar yang diprioritaskan. Dengan begitu, diharapkan bisa mengundang lebih besar peminat. Namun, seperti biasa, pengusaha selalu minta proteksi. Investor Cina, Jepang, dan Timur Tengah pun minta jaminan serupa.

Alhasil, bukannya membaik, pertumbuhan infrastruktur negeri ini merosot. Indikasi ini bisa terlihat dari belanja infrastruktur terhadap produk domestik bruto yang terus melorot dari 3,7 persen pada 1999 menjadi 3,6 persen pada 2003. Dua tahun lalu, angka ini kian susut menjadi 2,9 persen, dan tinggal 1,5 persen pada tahun lalu. Tahun ini, berdasarkan World Economic Forum, peringkat infrastruktur Indonesia bercokol pada urutan 84 dunia.

Buruknya infrastruktur ini, kata pengusaha Sofjan Wanandi, menyebabkan mahalnya biaya logistik arus barang. Akibatnya, produk yang dihasilkan kian tidak kompetitif dibanding barang impor. "Barang yang diproduksi di Pulau Jawa belum tentu lebih murah bila dijual di Medan," katanya dalam diskusi dengan Tempo pertengahan Oktober lalu. Bahkan bisa jadi lebih murah bila barang tersebut diambil dari Singapura atau Malaysia.

Itu sebabnya, Sofjan meminta pemerintah segera memperbaiki persoalan ini. "Bila tidak, lama lama orang lebih senang impor barang ketimbang memproduksinya di sini," kata pendiri Grup Gemala ini. Menurut hitung hitungan dia, urusan infrastruktur, plus ketentuan dan peraturan yang tumpang tindih, menyumbang sekitar 60 persen ekonomi biaya tinggi.

Masalahnya, membenahi infrastruktur bukan perkara enteng. Berkaca pada pengalaman Infrastructure Summit 2005 dan 2006, pemberian insentif saja belum cukup. Apalagi incentives guarantee fund yang ditawarkan pemerintah baru mencakup risiko politik-seperti bila terjadi pergantian pemerintahan-tapi belum mencakup risiko komersial.

Sumber di pemerintahan yang banyak terlibat dalam urusan ini mengatakan banyak investor mundur karena pembebasan lahan belum diatur dalam satu peraturan baku. "Untuk jalan tol sudah ada, tapi itu kasus per kasus, belum menyeluruh," katanya.

Wilayah pembangunan proyek jalan tol Bandara Kuala Namu, misalnya, sudah diduduki sekelompok orang yang paham bahwa akses ke sana akan bisa mencipratkan rezeki jumbo. Akibatnya, harga tanah di kawasan itu meroket berlipat lipat. "Tiba tiba ada yang klaim dan minta ganti rugi," kata sumber tadi.

Salah satu proyek yang kini menjadi andalan pemerintah juga bukan dagangan baru, yakni proyek kereta api bandara di Jakarta, yang sudah ditawarkan ke swasta lima tahun lalu. Tapi jalur yang menghubungkan Stasiun Manggarai dan Bandara Soekarno Hatta tak dilirik pengusaha. Dan nasibnya terkatung katung. Padahal PT Kereta Api menghitung proyek rel ini menguntungkan karena ada 29 juta orang yang menggunakan pesawat lewat Cengkareng per tahun.

Sayang, banyak peraturan daerah belum bisa memberikan kenyamanan bagi mereka yang mau membiayai proyek andalan pemerintah. Proyek air minum Umbulan di Pasuruan, Jawa Timur, contohnya, belum bisa digarap karena urusan air sudah didesentralisasi ke masing masing pemerintah daerah. Padahal konsumen proyek air minum nantinya tidak hanya di Pasuruan. Aliran air akan sampai juga ke Sidoarjo, Surabaya, dan kota kota lain. Akibatnya, proyek yang bakal menelan dana US$ 240,2 juta ini harus disesuaikan dengan peraturan daerah yang berbeda beda. "Risiko seperti ini belum terakomodasi dalam peraturan daerah," sumber tadi menambahkan.

Ekonom Chatib Basri mengatakan kepada Tempo, tanpa dukungan infrastruktur, dana asing yang masuk akan tetap berada di pasar modal dan surat utang. Semestinya modal tersebut diubah menjadi investasi di sektor riil. "Kurangnya infrastruktur, seperti transportasi dan ketersediaan energi, menjadi penghambat ekspansi perusahaan pada sektor riil," katanya.

Kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin modal asing itu akan kembali ke negeri asalnya bila perekonomian Eropa dan Amerika Serikat pulih. Risiko ini akan dihadapi Indonesia dalam satu atau dua tahun mendatang. Dilihat dari gelagatnya, sulit bagi sektor infrastruktur menjadi salah satu pendorong mesin pertumbuhan ekonomi tahun depan. Dan pinangan pemodal asing yang sungguh dinanti itu bisa bisa tak kunjung tiba di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus