Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedi Rustandi mengatakan, pihaknya tengah menyusun beberapa opsi kebijakan transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) agar tetap selaras dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Terkait penyelarasan ini, kami membuat tim koordinasi dengan Kementerian ESDM serta tim-tim kecil lain yang mengurus urusan teknis untuk menyusun beberapa opsi kebijakan, utamanya apa-apa saja yang perlu diperkuat,” ujar Dedi dalam acara Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025 yang diselenggarakan secara daring pada Kamis, 5 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedi mengatakan, dalam misi pertumbuhan ekonomi 8 persen, Bappenas mempertimbangkan kapasitas investasi yang masuk, kapasitas energi baru, kapasitas pendanaan, serta kebijakan konservasi lingkungannya. Hal ini akan menjadi topik yang akan timnya eksplorasi secara rutin.
Sebab, proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sangat ketat dan harus mempertimbangkan banyak aspek. “Oleh karena itu, dari pertemuan ini kami berharap bisa mendapatkan apa-apa saja yang bisa diperkuat untuk mencapai target ekonomi 8 persen yang disampaikan Pak Presiden,” kata dia.
Dedi tak memungkiri, persoalan mengenai transisi energi sangat kompleks. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat menyusun skala prioritas apa-apa saja yang perlu didorong selama 5 tahun ke depan. Dia juga menyoroti keberagaman sistem energi di Indonesia.
Dengan begitu, pemerintah perlu memetakan program mana yang akan didahulukan. Dedi mencontohkan kebijakan konversi minyak tanah yang tidak dilakukan secara langsung, tetapi bertahap. Transisi energi ini, kata Dedi, juga akan dilaksanakan secara serupa.
Lebih lanjut, dia menyinggung mengenai biaya transisi energi dari berbasis fosil menjadi EBT. Dedi menyebut, mahal merupakan hal yang relatif. Sebab, pembangunan infrastrruktur pendukung untuk transisi energi di awal tentu akan menelan banyak biaya. “Tapi di perjalanan, sepertinya biayanya akan sedikit menurun,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Hendra Iswahyudi mengklaim, pemerintah terus mendorong sinkronisasi kebijakan transisi energi menuju EBT dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Dia mengatakan, Kementerian ESDM telah mempersiapkan data center serta memetakan sentra-sentra hilirisasi energi. Hendra mengatakan, lembaganya tengah menyusun draft peta jalan menuju target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
“Draft ini mesti sinkron. Sehingga yang perlu diselaraskan, karena ada RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), dari KEN (Kebijakan Energi Nasional) gimana kan harus selaras,” ujarnya.