Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBUKA usaha di pusat belanja ternyata tak selamanya untung. Sayid, 22 tahun, sudah berjualan setahun di lantai tiga Mangga Dua Square, Jakarta. Tapi, bisnis perlengkapan pakaian wanita, jepit rambut, yang digarapnya kerap merugi. ”Saya selalu nombok sekitar Rp 800 ribu per bulan,” kata Sayid kepada Tempo. Kerugian itu dihitung dari beban listrik, telepon, dan biaya servis kepada pengelola—antara lain.
Kiosnya tak besar memang, hanya 2,5 x 2 meter. Dibeli tunai Rp 220 juta. Tadinya Sayid berharap jualannya laris manis. Kenyataannya, pendapatan kembang-kemput. ”Untuk dapat Rp 50 ribu sehari saja susahnya setengah mati,” katanya. ”Mungkin saya segera pindah.”
Berjarak sepelemparan batu dari lokasi Sayid adalah Bambang, 40 tahun, berbisnis pakaian di lantai ground (tingkat dua) World Trade Center Mangga Dua. Nasibnya sama. Sudah berjualan dua tahun, usahanya belum juga berkembang. ”Bisnis di sini gagal total,” kata Bambang, pemilik kios 4 x 3 meter dengan pembelian tunai Rp 800 juta. ”Saya rugi mendekati Rp 1 juta sebulan.”
Tak susah menghitung pengunjung di dua pusat belanja itu. Lengang. Toko yang buka juga sedikit. Di lantai dasar (lower)—dari 15 lantai—WTC, misalnya, dari sekitar 1.500-an kios, yang buka diperkirakan tak ada seperempatnya.
Pengelola gedung, sih, tenang-tenang saja. ”Soal untung-rugi sudah jadi risiko usaha,” kata Budi Santoso, Manajer General Affair Department WTC Mangga Dua. Bermodal Rp 500 miliar—tidak termasuk tanah seluas 21 ribu meter persegi—95 persen dari 15 ribu kios (sekitar 105 ribu meter persegi) yang dibangun itu sudah laku terjual. Harganya Rp 30 juta per meter persegi. Semuanya dengan sistem pembayaran tunai—biasa disebut strata title.
Usaha menarik pembeli bukan tak ada. ”Kami sudah coba menyelenggarakan acara tiap akhir pekan, misalnya menampilkan artis,” kata Budi. ”Lumayan, bisa menambah pengunjung.”
Berbeda dengan WTC Mangga Dua dan Mangga Dua Square, beberapa pusat belanja menerapkan sistem sewa. Misalnya Sudirman Place di kawasan Senayan, Jakarta. Sewa kios di tempat ini US$ 70 atau Rp 637 ribu per meter persegi per bulan.
Berjualan di pusat belanja dengan cara ini ternyata juga tak menjamin untung. Putri Dayu, pegawai di satu kios di lantai upper floor (tingkat tiga) Sudirman Place, misalnya, kerap mengeluh. Sejak membuka kios berukuran 44 meter persegi, Februari lalu, dalam sebulan dagangannya hanya laku dalam hitungan jari. Barang yang ia jual bermacam tas bermerek, dengan kisaran harga Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta.
”Selama September saja kami hanya mampu menjual lima tas,” kata Putri kepada Tempo, dua pekan lalu. Padahal, setiap hari toko buka dari pukul 09.00 sampai 21.00. Omzetnya sebulan paling di bawah Rp 5 juta. ”Kami selalu nombok,” katanya.
Di WTC, Mangga Dua Square, dan Sudirman Place, penataan gerai juga belum rapi. Di lantai ground WTC, tempat Bambang berjualan, umpamanya. Pengelola menyediakan tiga lantai bawah itu untuk pojok elektronik, makanan, dan pakaian. Kenyataannya, tak sedikit penjual barang pernak-pernik, seperti gantungan kunci. Di lantai dasar malah didominasi area permainan playstation.
Soal harga jual produk antara kios yang berdampingan juga timpang. Bambang, misalnya, menjual pakaian dengan kisaran harga Rp 10 ribu-50 ribu. Toko pakaian di sampingnya memasang tarif Rp 100 ribu ke atas. Perbedaan harga yang mencolok ini, menurut Anton Sitorus, Manajer Riset Jones Lang LaSalle, jadi salah satu penyebab WTC dan Mangga Dua Square tak diminati pembeli. ”Yang tidak sekelas tidak boleh bersebelahan,” katanya. ”Pembeli tidak akan nyaman.”
Kondisi ini, kata Anton, mirip seperti yang terjadi di Senayan Trade Center (STC), juga dengan strata title. Dari sudut lokasi, pusat belanja di kawasan Senayan, Jakarta, itu tak ada masalah. ”Tapi, karena tenant-nya tidak bisa diatur, ya, sulit,” katanya. ”Akibatnya, tak banyak pembeli yang berminat belanja di STC.”
Lucy Rumantir, Chairman Jones Lang LaSalle Indonesia, malah lebih galak. Pemilik kios dengan sistem strata dianggap memiliki ego yang tinggi. ”Mereka akan menjual barang apa saja,” katanya, ”Semaunya sendiri.” Lucy menyarankan kios-kios itu sebaiknya ditata kembali. ”Harus ada reposisi,” katanya. Penataan kios setiap lantai harus dikhususkan untuk satu jenis produk dengan harga sepadan.
Di pusat belanja dengan sistem strata title, menurut Lucy, pembeli kios merasa berhak penuh atas tempat yang telah dibeli. ”Solusinya, pengelola harus membeli kembali kios, dan ditata ulang,” ia menyarankan. Memang, dalam kasus seperti ini, pengelola harus berani mengeluarkan biaya tinggi.
Solusi lain, menurut Wendy Haryanto, Associate Director Retail Leasing Jones LaSalle, sejak awal harus ada perjanjian mengikat dengan pembeli kios untuk tidak mengubah jualan produk yang telah ditetapkan pengelola. Ini agar pembeli tak lari, pedagang tak hengkang, juga tak perlu artis sering dipanggil.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo