Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada tahun ini hanya sebesar 12,70 persen.
Penurunan porsi EBT dipicu oleh penambahan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil dari proyek 35 gigawatt.
Melesetnya target bauran EBT juga dipicu oleh terhambatnya pembangunan pembangkit energi baru.
JAKARTA – Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana, menyatakan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer pada tahun ini bakal turun. Pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru menjadi biang keladinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 12,70 persen pada 2022. Angkanya sedikit lebih rendah dibanding realisasi bauran EBT dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara per November 2021, yang mencapai 12,73 persen. Persentase tahun ini juga terpaut jauh dibanding pada dua tahun lalu yang sudah mencapai 13,23 persen. Padahal pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rida menyatakan penurunan porsi EBT dipicu oleh penambahan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil dari proyek 35 gigawatt. “Banyak PLTU yang dioperasikan dan ada beberapa independent power producer (IPP) yang di dalamnya ada ketentuan take or pay,” ujar dia, kemarin.
Skema take or pay merupakan jaminan bagi investor pembangkit listrik yang diberikan oleh PT PLN (Persero). Perusahaan setrum negara bakal menyerap 85 persen dari kapasitas pembangkit. “Listriknya harus dibeli PLN, maka PLN harus menghidupkan PLTU tersebut dan ujungnya mendesak persentase EBT itu sendiri,” ujar Rida.
Petugas melakukan pemeriksaan rutin di gardu induk 150 kV Mampang Dua, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Hingga November 2021, sumber energi primer nasional masih didominasi oleh batu bara. Porsinya hampir 66 persen. Sementara itu, porsi EBT ditopang oleh air 6,78 persen; panas bumi 5,5 persen; biomassa 0,22 persen; serta EBT lainnya 0,1 persen.
Merujuk pada data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), realisasi bauran EBT sejak 2018 selalu jauh dari target. Dalam Rencana Umum Energi Indonesia, realisasi pembangkit EBT pada 2020 ditargetkan sebesar 13,4 persen, tapi hanya tercapai 11,2 persen. Tahun lalu, realisasi sementara bauran EBT sebesar 11,5 persen, sedangkan targetnya 14,5 persen.
Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana, menyatakan tidak tercapainya target bauran energi baru terbarukan juga dipicu oleh beberapa proyek pembangunan pembangkit EBT yang terhambat. “Beberapa proyek delay, tidak terealisasi pada 2021. Misalnya untuk panas bumi dan beberapa PLTA juga,” ujar dia.
Dadan mencatat total penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT sepanjang 2021 sebanyak 654,76 megawatt. Jumlahnya hanya 77 persen dari target 854,78 megawatt. Tahun ini, target penambahan pembangkit EBT dipatok sebesar 648 megawatt ditambah pembangkit listrik tenaga surya atap sebesar 335 megawatt.
Salah satu pembangkit energi baru terbarukan (EBT) PT PLN (Persero). Dok. PLN
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, menuturkan pemerintah seharusnya mengevaluasi ketentuan penyerapan listrik dari IPP oleh PT PLN (Persero) jika ingin mengejar target bauran energi primer pada 2025. “Kalau ada masalah take or pay, seharusnya dilakukan renegosiasi. Apalagi (ada ketentuan) harus diserap 85 persen,” kata dia.
Persoalan lainnya, menurut Fabby, saat ini PLN menghadapi penurunan permintaan listrik akibat pandemi sehingga peluang pengembangan EBT turut menyusut. Ia mengatakan pengembangan pembangkit EBT sebetulnya bisa dikerjakan dengan cepat jika pemerintah berniat, terutama dari tenaga surya.
Dia mencontohkan India yang bisa membangun 4 gigawatt PLTS dalam satu tahun dan 9 gigawatt PLTS di Vietnam dalam satu tahun. Secara paralel, pemerintah juga dinilai perlu segera mempensiunkan PLTU batu bara, terutama pembangkit-pembangkit berbahan bakar batu bara yang tidak efisien.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo