Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAYAN tua itu berdoa, ''Nada kami yang ada di nada, nadalah namamu dan kerajaanmu nada ."
Apakah arti ''nada", tak seorang pun tahu. Seperti juga tak seorang pun tahu apa arti ''Godot". Juga tak penting pula untuk dimaknakan. Dalam cerita Hemingway ini, A Clean, Well-Lighted Light (pernah diterjemahkan separuh oleh Chairil Anwar), doa orang Kristen itu berubah dengan peran Tuhan yang hilang, juga namanya, juga surganya. Our nada who art in nada, nada be thy name thy kingdom nada. Ketiadaan seakan-akan menggantikan Tuhan, atau mungkin tak menggantikan apa-apa. Akhir doa pelayan tua itu hanya berbunyi, ''Terpujilah tiada penuh tiada, tiada bersama paduka." Hail nothing full of nothing, nothing is with thee.
Nothing, kekosongan? Ketidakpercayaan kepada Tuhan sering menakutkan, sebagaimana kekosongan menimbulkan rasa cemas yang dalam. Tuan berdiri di ketinggian bukit di sebuah malam, memandang ke batas langit yang hitam dan jauh, dan tuan cenderung akan takjub, gentar, bingung, dan merasa bahwa mustahil seluruh alam semesta hanya sesuatu yang gelap.
Mungkin sebab itu atheisme bukanlah paham yang populer. Jangan-jangan sebenarnya tak pernah ada atheisme dalam artinya yang murni, sebab setiap orang cenderung menampik ketiadaan. Sebuah paradoks, memang: kesadaran manusialah yang menemukan ketiadaan, seakan-akan seekor ular kecil yang tersembunyi dan mengancam hasrat kehidupan. Tapi kita takut. Dari sinilah mungkin Tuhan hadirjuga seandainya disebut dengan sebuah nama yang tak jelas artinya.
Itu sebabnya ada sebuah lelucon. Di sebuah tembok kampus, pada suatu malam seorang mahasiswa menulis, ''Tuhan telah matibegitulah kata Nietzsche!" Esok malamnya seorang dosen menulis di bawah huruf-huruf itu, ''Nietzsche telah matibegitulah kata Tuhan!"
Dewasa ini tampak semakin banyak orang akan menyetujui kalimat kedua. Kian banyak yang dengan bersemangat hendak mengatakan bahwa Nietzsche salah. Kini tampaknya orang cenderung menganggap bahwa memilih sikap hidup yang menampik Tuhan bukanlah sebuah sikap yang gagah berani, yang bersedia mempertanggungjawabkan sendiri nilai dan aksi yang dipilih. Bagi banyak orang kini, atheisme bukanlah ekspresi keteguhan menerima sepi, melainkan pendirian yang tak hendak punya dasar pertanggungan jawab.
Tidak hanya di Indonesia. Di Amerika Serikatnegeri yang disebut sekuler dan uang logamnya bertuliskan In God We TrustTuhan dan agama kian jadi unsur penting pemasaran politik. Semua calon presiden yang naik ke atas kini menampakkan diri sebagai orang yang beribadah. Tanpa iman, tanpa agama, seakan-akan negeri itu dan dunia akan runtuh dilanda narkoba, dirundung kekerasan, diganggu ketidaksenonohan tingkah laku seorang presiden dan ganasnya pornografi di internet. Pendeknya dunia telah tidak lagi normal, ia telah jadi tempat yang berbahaya, maka lebih baik kembali kepada sesuatu yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan: Tuhan dan tradisi. Joseph Lieberman, calon wakil presiden Partai Demokrat yang beragama Yahudi, ikut berpidato, ''George Washington memperingatkan kita, jangan pernah berleha-leha dengan anggapan bahwa moralitas dapat dipertahankan tanpa agama."
Tapi benarkah? Benarkah moralitas hanya dapat dipertahankan dengan agama? Orang memang akan mempertanyakan ini, bahkan memprotes, di sebuah masa ketika George Washington sudah lama mati, ketika dunia bukan lagi dunia presiden pertama Amerika itu, ketika menjelang awal abad ke-21 atas nama agama di negeri itu seorang dokter yang menyetujui aborsi ditembak mati, ketika di Israel seorang perdana menteri yang ingin berdamai dengan Palestina dibunuh, dan ketika Salman Rushdie, yang menulis sebuah novel yang aneh dan provokatif, hampir mati oleh karena fatwa seorang ayatullah besar.
Iman dan intoleransi memang tak selamanya berjalan bergandengan, tetapi iman yang diteriakkan dalam persaingan politik akan menjadi dekat dengan kekuasaandan kita tahu bagaimana bisa berbahayanya kekuasaan. Iman juga punya bahayanya sendiri. Yakni ketika tak disadari bahwa ia tak mungkin membuat sebuah masyarakat akan mencapai penuh idealnyakarena dunia tak pernah akan jadi surga. ''Keadilan", seperti halnya ''ketertiban", adalah ''penanda yang kosong", empty signifiers, untuk memakai pengertian Ernesto Laclau. ''Kosong" di sini bukannya sama dengan kata-kata hampa, melainkan sesuatu yang tak dengan sendirinya punya isi yang positif, karena yang dimaksudkan hanya kebalikan dari batas kehidupan yang dialami dalam sejarah: ''keadilan" menandai sesuatu yang tak ada dalam suasana tak-adil yang meluas, juga ''ketertiban" menandai sesuatu yang tak ada di tengah kekacauan umum. Bagaimana bentuk keadilan dan ketertiban itu, akan bergantung pada pergulatan hegemonik dari semua partisipan proses politik. Di ujungnya, ada yang akan menang, tapi toh akhirnya tak akan unggul selama-lamanya.
Iman dan moralitas juga penanda seperti itu: makna keduanya pada akhirnya akan diisi oleh siapa yang buat sementara, dalam sejarah, memegang hegemoni. Tuhan sering dianggap berada di pihak kita, tanpa kita bertanya jika demikian siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas laku kita. Tapi imankah itu? Mungkin bukan. Barangkali pelayan tua dalam cerita Hemingway itu justru yang benar: manusia baru bisa untuk tak melibatkan Tuhan dalam sejarah yang sering meleset ketika ia berdoa, ''Hail nothing full of nothing, nothing is with thee."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo